Oleh Nabih Rijal Makarim
Indonesia adalah negara-bangsa (nation-state) yang paripurna. Dengan segenap aneka ragam entitas keunikan dan keindahan yang berada di tanah airnya, negara Indonesia diimajinasikan sebagai sebuah negeri “untaian zamrud khatulistiwa” yang merefleksikan kumpulan kebinekaan budaya yang hidup di Bumi Pertiwi.
Manakala kita lebih jauh lagi dalam menghayatinya, bangsa Indonesia, dengan meminjam istilah Benedict Anderson (2008), sebagai suatu “komunitas terbayang” (imagined communities) yang terdiri dari berbagai identitas kolektif—agama, bahasa, bangsa, ras, budaya, dan etnis—yang saling bertaut satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu, sejatinya Tanah Air ini adalah kuala persilangan budaya (cross-culture) dari beragam peradaban yang pernah menghuni dunia.
Keberagaman yang hidup di Indonesia tidak hanya berhenti hanya sebagai sebuah aset kebangsaan semata, tetapi juga mencerminkan “daya magis” dari perjalanan panjang masyarakat Indonesia dalam mengarungi berbagai babak zaman yang ada.
Oleh karena itu, tidak heran jika Indonesia sebagai sebuah medium persenyawaan dari berbagai kebudayaan lintas peradaban selalu mengalami problem dalam bingkai kebinekaan. Dalam konteks modern, memang benar bahwa realitas keberagaman selalu dibayang-bayangi sebagai sebuah ancaman, di samping peluang.
Akan tetapi, dinamika historis bangsa Indonesia menampilkan versi sejarah yang cukup cemerlang, keberagaman yang hidup dalam rahim Indonesia justru menjadi sebuah keunggulan dan keunikan tersendiri, salah satunya adalah lahirnya ideologi Pancasila.
Sebagai sebuah filosofi politik (political philosophy) bangsa dan negara Indonesia, Pancasila hadir untuk menjadi tali pengikat yang mampu merangkum berbagai ideologi yang ada (common denominator). Hal demikian tidak mungkin terlepas dari kenyataan bahwa terdapat keragaman pemikiran dari para pendiri bangsa (founding parents) yang melatarbelakangi terbentuknya “kontrak sosial” ala Indonesia, yakni Pancasila.
Dalam tataran mikro, kita bisa menakar sejauh mana keterlibatan variasi lintas ideologi yang terkandung dalam sila per sila Pancasila.
Pada sila ke-1, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, cukup jelas sangat beririsan dengan atmosfer agama. Sila ke-2, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, tentu bersinggungan dengan etika humanisme. Sila ke-3, “Persatuan Indonesia”, berkorelasi kuat dengan semangat nasionalisme. Sila ke-4, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”, terkoneksi secara konsepsional dengan ide demokrasi. Sedangkan, sila ke-5, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, koheren dengan gagasan sosialisme.
Integrasionalisme Vs. Sekulerisme
Terlepas dari berbagai ajaran ideologis yang membentuk Pancasila, hemat penulis, sila pertama Pancasila sangat menarik apabila dikaji dari sisi historisitas, rasionalitas, hingga aktualitasnya. Secara sederhana, rumusan sila ke-1 merekam memori pergulatan para perancang Pancasila dalam menentukan arah kiblat bangsa.
Setidaknya terdapat dua mazhab besar yang terpolarisasi secara intelektual dalam konteks pemahatan wajah sila ke-1 itu sendiri: antara mazhab nasional-sekuler dan mazhab agama-integrasi.
Apabila ditarik dalam konteks makro, sebetulnya diskursus yang diangkat menjurus pada persoalan relasi agama dan negara. Menariknya, rumusan sila ke-1 Pancasila sekarang mampu mengatasi dua arus mazhab paradigma di atas yang berbenturan secara diametral.
Pertama-tama, kita perlu membedah konsepsi “integrasionalisme” atau paham negara agama. Franz Magnis-Suseno dalam Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern mendefinisikan negara agama sebagai “negara yang diatur dan diselenggarakan menurut hukum agama” (2019: 416).
Baca juga: Generasi Muda, Generasi Bangsa, Generasi Pancasila
Dewasa ini, dalam tatanan normatif, terdapat beberapa negara yang menerapkan hukum-hukum yang berdasarkan doktrin agama. Konfigurasi politik dan hukum di negara tersebut tentunya berlandaskan pada teks-teks Ilahi.
Akan tetapi, pada tatanan operasionalnya, negara agama tidak cocok apabila diimplementasikan ke dalam sebuah komunitas kebangsaan yang cenderung plural maupun heterogen secara sosiokultural. Sebagaimana yang diingatkan oleh Magnis-suseno, negara agama akan menciptakan sebuah kondisi agama tunggal eksklusif yang menjadi basis pijakan otoritas pemerintahan ataupun kekuasaannya.
Oleh karena itu, akan menjadi bumerang sejarah apabila Indonesia merupakan negara yang berbasis pada agama tertentu.
Paham sekulerisme, atau negara sekuler, secara definitif umumnya dipahami sebagai politik pemisahan antara institusi agama dan institusi negara.
Konsekuensi logisnya, institusi agama mempunyai domainnya sendiri, dalam hal ini urusan privat, dalam mempraktikan maupun menyebarkan ritualisme keagamaannya. Sedangkan, institusi negara berfokus pada perkara pembenahan dan pengaturan di wilayah publik melalui produk kebijakan.
Namun demikian, ternyata hipokrisi negara bekerja dalam sistem politik sekulerisme, di mana negara dengan segenap otoritasnya ternyata turut mengintervensi kehidupan privat warga negara, sebagaimana yang terjadi di Prancis terkait kebijakan pengharaman cadar (BBC, 2013). Di samping itu, faktanya mayoritas masyarakat Indonesia beragama sehingga paradigma sekulerisme akan sulit menjadi dasar haluan negara.
Sila ke-1: Diferensiasi dan Toleransi Kembar
Dalam artikel yang terbit di tahun 2000, “Religion, Democracy, and the ‘Twin Tolerations’”, dengan sangat fasih Alfred Stepan mendeskripsikan sebuah tesis mengenai “toleransi kembar” sebagai perpanjangan konsep dari apa yang disebut “pembedaan”—diferensiasi fungsional atas agama dan negara.
Menurut Stepan, daripada wacana ilmiah maupun kenyataan di lapangan kehidupan terus-menerus menyoal dan bersengketa mengenai relasi agama dan negara, akan lebih baik manakala antara lembaga agama dan negara saling menoleransi dalam domain tertentu, sembari tetap mempertahankan independensinya.
Walaupun berbeda secara institusional, antara keduanya memiliki keterlibatan yang kuat dalam proses memperadabkan masyarakat sipil (civil society). Negara dengan tugasnya mendistribusikan keadilan secara merata, memberikan pelayanan publik kepada warga negara, dan menyejahterakan kehidupan semua.
Sebaliknya, komunitas agama mampu secara aktif, kreatif, serta inklusif dalam menebarkan ajaran maupun ajakan moralnya yang bersandar pada rasionalitas publik (public reason), membersihkan rongga-rongga kerohanian sesama, dan ikut andil untuk meremajakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pelajaran terpenting yang bis akita refleksikan bersama adalah bahwa setiap gagasan yang berbenturan, boleh jadi mempunyai kesamaan esensi yang dapat dikombinasikan sehingga mampu memperkaya khazanah kemanusiaan ke depan.
Pancasila, khususnya sila ke-1, adalah bukti konkret mengenai bagaimana dua mazhab ideologis dapat disintesiskan ke dalam suatu rumusan yang mendamaikan. Lebih dari itu, kita tentunya berharap bangsa dan negara Indonesia ke depan dapat berlayar dengan selamat menuju puncak-puncak kebahagiaan bersama.
Penulis: Nabih Rijal Makarim