Bagaimana Natal bisa dirayakan di tengah musim dingin pada 25 Desember atau 6 Januari? Skeptisisme mengenai penentuan tanggal 25 Desember dimulai sejak reformasi gereja Protestan pada abad keenambelas, yang menginspirasi orang-orang Protestan, khususnya akademisi Kalvinis untuk menyerang dasar historis perayaan Natal. History of Religions Theory (HRT) dan Calculation Theory (CT) adalah dua kubu yang berseberangan dalam hal ini.
Hermann Usener (1834-1905) berpendapat bahwa perayaan Natal merupakan warisan dari sinkretisasi dengan perayaan penyembah matahari. Titik baliknya adalah pada tahun 274, ketika Kaisar Aurelian menjadikan dewa matahari, Sol Invictus menjadi dewa pelindung kekaisaran Romawi dan menempatkan 25 Desember sebagai hari raya.
Steve Hijmans, dalam tulisannya Sol Invictus, the Winter Solstice, and the Origins of Christmas menunjukkan bahwa tidak ada bukti kuat hubungan antara perayaan dewa matahari dengan Natal.
Thomas J. Talley (1986) dan Thomas C. Schmidt (2015) yang mewakili CT, berpendapat bahwa Yesus dikandung Maria pada sekitar 25 Maret maka kelahiran-Nya adalah pada 25 Desember. Talley menunjukkan bahwa pada sekitar tahun 311, Donatist sudah memasukkan hal ini dalam liturgi mereka. Schmidt menggunakan tulisan St. Hippolytus pada sekitar tahun 235, yang menunjukkan bahwa Hippolytus menuliskan bahwa kelahiran Yesus adalah pada 25 Desember.
Argumen lain mengatakan bahwa Donatist sudah merayakan Natal pada tahun 243. Bahkan, dalam tradisi Gereja Katolik Roma, Natal sudah dirayakan jauh sebelum itu, yaitu sejak tahun 136 oleh Bapa Suci Telesforus. Perayaan ini lebih awal dibandingkan tahun 274 dan tidak menunjukkan Natal merupakan reaksi atas tradisi pagan.
Penulis: Isac Abimanyu