Mulai Edukasi Diri Sendiri Melalui Internet

Oleh: Roro Ayu Rahmadhani

Pada masa prasejarah, manusia sudah menggunakan dan mengembangkan berbagai bentuk komunikasi dan informasi. Manusia mencoba berkomunikasi menggunakan gambar yang menceritakan pengalaman kegiatan berburu pada dinding-dinding gua, menggunakan isyarat berupa bunyi dengan menggunakan genderang, terompet, api dan asap untuk menyampaikan pesan jarak jauh. Kemudian seiring berkembangnya waktu dan juga ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi pun semakin berkembang pesat.

Pada tahun 1876, Alexander Graham Bell menciptakan teknologi telepon yang memungkinkan untuk berkomunikasi antara dua orang dalam jarak yang jauh. Telepon sudah digunakan saat Perang Dunia I dan Perang Dunia II sebagai sumber informasi untuk mengetahui posisi lawan dan meningkatkan kualitas radar. Pada 1923, televisi ditemukan oleh Jhon Logie Baird dan siaran televisi mulai diluncurkan pada 1928 dengan mengirim sinyal televisi dari London ke New York.

Kemudian pada tahun 1957, Uni Soviet berhasil menciptkana satelit buatan pertama bernama Sputnik 1 untuk kepentingan politik, militer dan ilmu pengetahuan. Penemuan satelit ini tidak terlepas dari persaingan teknologi luar angkasa pada masa Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Satelit berfungsi untuk meneruskan sinyal komunikasi telepon serta sinyal tayangan televisi di seluruh dunia.

Sebelum adanya satelit, sinyal televisi dan komunikasi hanya bisa diteruskan lurus, bahkan tidak bisa melewati gedung-gedung tinggi. Selanjutnya ada penemuan internet oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang membuat APRANET pada tahun 1969. Lalu pada 3 April 1973, Martin Cooper memperkenalkan handphone kepada dunia. Saat ini, teknologi informasi dan komunikasi sudah berkembang sangat jauh dibandingkan pada saat teknologi tersebut pertama kali di ciptakan.

Baca Juga: Pemblokiran Konten Radikalisme dan Kontra Propaganda Melalui Media Internet

Sepanjang kehidupan manusia, diskriminasi akan selalu hadir selama ada kesempatan untuk menyoroti perbedaan karakteristik individu atau kelompok. Bentuk diskriminasi dapat termasuk perlakuan dan sikap negatif yang diarahkan kepada suatu individu atau sekelompok orang berdasarkan karakteristik tertentu. Salah satu hal yang sering menjadi bahan diskriminasi adalah keberagaman seksualitas dan gender, terutama ketika itu dilandaskan dari kerangka heteronormativitas. Menurut konsep heteronormativitas yang dikemukakan oleh Michael Warner, heteronormativitas ialah sebuah pandangan di mana heteroseksualitas adalah satu-satunya bentuk orientasi seksual yang dapat diterima. Padahal pada kenyataannya, gender bukanlah sebuah patokan natural untuk menentukan orientasi seksual seseorang. Meskipun begitu, masyarakat umum masih menganggap bahwa satu-satunya bentuk hubungan normal adalah hubungan yang dapat menghasilkan keturunan. Sehingga apa yang terlihat “normal” (heteroseksualitas) akan dianggap lebih alami dan lebih bisa diterima secara moral oleh masyarakat umum, sementara homoseksualitas dipandang sebagai sebuah penyimpangan.

Di Indonesia, mayoritas masyarakatnya hingga saat ini masih memandang komunitas LGBTQ sebagai ancaman moral. Diskriminasi pun sering terjadi seperti kekerasan dan penindasan baik secara fisik, emosional, verbal, ataupun siber. Hingga saat ini, orientasi selain heteroseksualitas masih dilabeli sebagai perilaku seksual menyimpang dan sebuah penyakit yang harus “disembuhkan”. Dikutip dari KBR (2019), “Arus Pelangi mencatat bahwa dalam rentang 2006 hingga 2018 terdapat 1.840 LGBT yang menjadi korban persekusi, mulai dari perundungan, pelecehan seksual, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan hingga diskriminasi untuk mendapatkan hak pelayanan kesehatan, pendidikan dan penggunaan fasilitas publik”.

Menurut laporan lain dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), sepanjang 2017 terdapat 973 kasus pada komunitas LGBTQ, terutama transgender, menjadi korban stigma, diskriminasi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Alih-alih mendukung dan mengakui perbedaan, pemerintah Indonesia nyatanya turut ikut serta dalam penindasan.

Di dunia yang sudah canggih ini sangatlah mudah untuk mengakses berbagai macam informasi. Tetapi masih banyak orang yang belum bisa memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut sebagai wadah untuk mengedukasi diri sendiri. Kemudian dengan adanya pemahaman heteronormativitas yang telah tertanam kuat dalam seluk-beluk kehidupan sehari-hari, menyebabkan semakin sulitnya masyarakat untuk bisa menerima keberagaman khususnya keberagaman seksualitas dan ekspresi gender.

Padahal sangat jelas sekali banyak orang di luar sana yang menjadi korban atas sikap dan perilaku intoleran atau diskriminasi yang salah satunya disebabkan oleh faktor kurangnya edukasi terhadap keberagaman yang ada. Hal ini sangat memprihatinkan jika dilihat dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini yang sudah sangat maju dan dapat dengan mudah mengakses berbagai macam informasi. Di sosial media sudah banyak terpapar informasi mengenai keberagaman seksualitas dan ekspresi gender, sehingga kita bisa memulai untuk mengedukasi diri sendiri sedikit demi sedikit.

Tetapi tentu saja yang beredar di sosial media juga sering kali ditemukan berita hoax dan cenderung menebar kebencian. Hal ini menjadi tentangan tersendiri bagi masyarakat dalam memfilter konten yang ada di internet ataupun sosial media yang digunakan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar tidak termakan oleh hoax, yaitu dengan mencari sumber bacaan yang relevan dan terpercaya, berhati-hati dengan judul yang provokatif, serta berpikirlah yang logis.

Internet sudah memberikan informasi secara luas mengenai berbagai budaya yang ada di dunia, keberagaman seksualitas, gender, ras, agama, bahasa dan lain-lain. Dengan informasi yang mudah dijangkau tersebut, dapat mengedukasi masyarakat dan menumbuhkan kesadaran akan keberagaman yang ada di dunia. Sehingga hal ini dapat mencegah timbulnya sikap intoleransi dan segala jenis tindakan diskriminatif lainnya. Diawali dengan adanya kesadaran untuk mengedukasi diri sendiri melalui internet, maka sikap intoleransi di lingkungan masyarakat pun akan mulai memudar dan masyarakat bisa mulai untuk menerima keberagaman yang ada di dunia ini.

Sebagai sesama makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, kita seharusnya bisa saling merangkul dan menerima berbagai perbedaan yang ada. Bukan saling menghakimi dan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan kepada sesama. Dunia tidak akan indah jika tidak memiliki keberagaman didalamnya, justru dengan adanya perbedaan itulah yang membuat dunia semakin warna-warni dan tidak monoton.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah sepantasnya kita sadar akan keberagaman yang ada di sekitar kita. Negara bisa hancur jika masyarakat didalamnya tidak bisa saling bertoleransi terhadap sesama. Karena sejatinya, setiap manusia itu kedudukannya setara, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Walaupun warna kulit kita berbeda, tidak ada alasan untuk tidak bersatu. Dengan majunya teknologi saat ini, sudah tidak ada lagi alasan untuk tidak memulai untuk mengedukasi diri sendiri demi kehidupan yang lebih baik.

 

Oleh: Roro Ayu Rahmadhani, Siswa SMAN 1 Pontianak

Diolah dari berbagai sumber

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *