Oleh Ahmad Nurcholish
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Rasulullah Saw memiliki pribadi yang luhur. Khatam al-Anbiya’ ini menjadi teladan bagi umat manusia. Keluhuran pribadi Nabi kerap diibaratkan bagai matahari, rembulan, dan batu mutiara.
Terkait hal itu Allah pun berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang berharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab:21).
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Muhammad Ali As-Shabuni menjelaskan: “Sungguh bagi kalian orang-orang mukmin, dalam diri Rasulullah yang agung ini terdapat suri teladan yang baik. Sudah seharusnya kalian mengikuti keikhlasan, perjuangan, dan kesabarannya.
Rasulullah merupakan sosok yang luhur, yang wajib diikuti seluruh ucapan, perbuatan, dan hal-ihwalnya, karena Rasulullah tidak berucap dan berbuat berdasarkan hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu, maka wajib bagi kita mengikuti jejak dan perangainya sepanjang hidup, terutama bagi orang mukmin yang ikhlas yang mengharapkan pahala dari Allah dan takut akan siksa-Nya, serta orang mukmin yang selalu memperbanyak zikir, baik dengan lisan maupun hatinya kepada Allah.” (Shafwat al-Tafsir, Jil. I, h. 520)
Ketika Nabi hijrah dari Mekkah ke Madinah, di sana ia mendirikan negara dan memimpin masyarakat yang plural, di mana terdapat bangsa Arab yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Di Madinah Nabi tidak hanya kepala agama, tetapi juga kepala negara atau pemerintahan.
Seperti dinukil Prof. Mujamil Qomar, di Madinah Rasulullah SSaw memberikan pendidikan politik yang sangat berharga bagi para sahabatnya dan umat Islam. Nabi telah menyiapkan kader-kader meskipun tidak ada yang ditunjuk secara langsung sebagai penggantinya.
Baca Juga: Muhammadiyah dan Moderasi Islam
Empat sahabat terdekat yang memiliki hubungan emosional dengan Nabi telah siap meneruskan kepemimpinan Nabi, yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khaththab sebagai mertuanya, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib sebagai menantunya. Selain mereka, terdapat pula sahabat-sahabat lain sebagai penopang. Di sinilah kita melihat betapa cerdiknya Nabi sebagai pemimpin negara. (Strategi Pendidikan Islam, h. 16)
Di tangan Nabi, Islam tak hanya berkembang di Madinah, tetapi meluas menjamah wilayah Arab lain dan sekitarnya. Dalam kurun 20 tahun Madinah meningkat menjadi adikuasa yang mampu menaklukkan adikuasa Persia dan tahap berikutnya mengalahkan adikuasa Bizentium pada waktu itu. Pada periode-periode berikutnya Islam pun berkembang hingga Asia, Afrika, dan Eropa. Hal inilah yang mendasari Michael H. Hart menempatkan Nabi Muhammad pada urutan pertama dari seratus tokoh paling berpengaruh di dunia. Hasil riset ini ia ungkapkan dalam bukunya, The 100 a Rangking of The Most Influential Person in History.
Memberi Kabar Gembira
Rasulullah Saw mendidik masyarakat Arab Jahiliyah secara langsung, dimulai dari keluarganya, kemudian para sahabat, lalu berkembang dan meluas. Pada mulanya Nabi mendidik dengan cara sembunyi-sembunyi sampai akhirnya secara terang-terangan.
Beliau mendidik dengan cara memberi kabar gembira (basyir), baru setelah imannya kuat, ia memberi kabar yang menakutkan (nadzir). Inilah yang kalau dalam Al-Qur’an selalu disebut secara berurutan dengan istilah basyiran wa nadziran. Rasulullah mendidik mereka dengan cara-cara bijaksana dan egaliter.
Sebagaimana yang kita baca dalam berbagai literatur, pendidikan dan dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW tak semuanya mulus. Ia pun tak jarang mendapat tantangan yang sangat besar bahkan ancaman pembunuhan. Tetapi ia menghadapinya dengan penuh kebijaksanaan, sehingga berhasil mengislamkan mereka. Gustave Le Bone sebagaimana dikutip Nasaruddin Razak membandingkan peradaban yang dibangun oleh Nabi Muhammad dengan negara Perancis. Ia berkata:
“Dalam satu abad atau tiga keturunan, tidak ada bangsa-bangsa manusia dapat mengadakan perubahan yang berati. Bangsa Perancis sendiri memerlukan 30 keturunan atau 1.000 tahun baru dapat membangun masyarakatnya. Dari seluruh bangsa-bangsa dan umat, tidak ada yang bisa membangun masyarakat baru terkecuali umat Islam. Muhammad sang Rasul telah membangun masyarakat baru dalam tempo satu turunan (23 tahun), yang tidak dapat ditiru atau diperbuat oleh orang lain.” (Mujamil Qomar, 2013: 19)
Uraian tersebut menandaskan kepada kita bahwa Nabi Muhammad SAW telah berhasil membangun peradaban dalam waktu yang singkat. Tak hanya itu, beliau juga berhasil dalam bidang politik, pemerintahan, militer, dakwah, sosial, dan pendidikan yang tiada tandingannya di dunia ini. Hal ini menunjukkan bahwa rasulullah SAW telah menerapkan manajemen yang baik dalam berdakwah, termasuk di bidang pendidikan.
Tak dapat dipungkiri, Nabi dalam kapasitasnya sebagai manajer pendidikan misalnya, merupakan model manajer yang paling ideal. Namun, seperti disayangkan oleh Prof. Mujamil Qomar, mengapa umat Islam termasuk kalangan intelektual Muslim masih terpasung pada formulasi teori-teori manajemen pendidikan dari Barat.
Padahal Islam telah memiliki referensi manajemen pendidikan yang paling tepat, yaitu Nabi Muhammad SAW. manajemen yang dipraktiikkan Nabi dapat dijadikan bahan untuk mewarnai corak manajemen pendidikan Islam, khususnya di Tanah Air kita tercinta. Wallahu a’lam.
Ahmad Nurcholish, pengajar Religious Studies Universitas Prasetya Mulya, Tangerang, Pemimpin Redaksi Kabar Damai