Merawat Hidup Bersama

Mimbar Agama104 Views

Oleh Haedar Nashir

 

Kala itu di Makkah. Sekelompok orang Arab dari wilayah timur hendak menunaikan ritual ibadat di Baitullah. Kaum paganisme itu masih percaya Tuhan, meski ingkar akan risalah Islam. Sebahagian muslim berniat menghalangi mereka sebagai pembalasan atas larangan terhadap umat Islam masuk ke kota Makkah pasca Perjanjian Hudaibiyah.

Namun Rasululullah mencegah umat Islam melakukan tindakan penghadangan itu. Menurut Ibnu Katsir, saat itulah turun ayat ke-2 surat Al-Ma’idah, yang bagian frasanya mengandung larangan kepada kaum Muslimun, “… dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridhaan Tuhannya.”.

Pada bagian frasa selanjutnya, difirmankan “… Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.”.

Bila Nabi akhir zaman mengajarkan kebaikan yang utama, kenapa sebagian pengikutnya di kemudian hari menjadi tertutup, mudah curiga, dan rentan memusuhi sesama yang berbeda? Berbeda di lingkungan sendiri maupun di dunia luar.

 

Hidup Bersama

Islam mengajarkan hidup bersama yang menampikan kemuliaan perilaku. Hatta dengan golongan yang berbeda agama, suku, ras, dan golongan. Perbedaan itu jangan dipertajam dan dipertentangkan demi menjaga kehidupan kolektif yang menyatu dan menyelamatkan. Tuhan bahkan tidak berkehendak menjadikan seluruh umat manusia yang majemuk di muka bumi menjadi satu dalam keimanan (QS Yunus : 99).

Keberbedaan agama, jenis kelamin, suku bangsa, golongan, dan keragaman hidup lainnya merupakan sunatullah yang mesti diterima dan dirawat sebaik-baiknya demi kelangsungan hidup bersama. Satu sama lain dituntut untuk saling mengenal atau berta’aruf (QS Al-Hujarat: 13) serta tidak saling merendahkan, stereotipe, buruk sangka, dan sikap negatif lainnya (Al-Hujarat: 11-12). Ayat dan hadisnya mudah dihapal, tetapi tidak semudah mewujudkannya dalam praktik hidup bersama.

Umat beragama, khususnya umat Islam mesti menunjukkan uswah hasanah dalam hidup bersama di tengah keragaman. Nabi bersabda yang artinya, “Orang-orang mukmin yang berbaur dengan manusia  dan bersabar terhadap cercaan mereka itu lebih besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak berbaur dan tidak sabar terhadap cercaan mereka” (HR Ahmad). Umat Islam tidak akan luruh akidah dan keberadaannya karena membaur dengan sesama yang berbeda agama dan golongan. Buktikan umat mayoritas ini sebagai penebar rahmat bagi semesta dalam kehidupan nyata.

Merawat hidup bersama yang saling menghormati dan memuliakan dalam perbedaan tidaklah mudah. Jangankan dengan golongan yang berbeda, meski dengan sesama golongan pun selalu ada retak. Perbedaan paham keagamaan maupun urusan mu’amalah selalu terjadi seperti dalam soal politik, ekonomi, hukum, sosial, dan lainnya. Hal yang dituntut ialah kematangan sikap semua elite dan warga bangsa. Elite mesti memberi teladan, jangan ada atasnama prinsip yang sejatinya urusan mu’amalah yang ibahah (kebolehan) setiap hari menebar isu dan opini yang membuat kehidupan bersama menjadi panas dan terbakar.

Apalagi menyangkut perbedaan kepentingan. Kepentingan politik dan ekonomi sebagai representasi dari lahan dunia yang berwatak “mata al-ghurur” sering menjadi titik picu antar pihak dalam perebutan lahan hidup. Perebutan kepentingan yang berlebihan sering mengantarkan pada hukum Hobbesian, “Homo homini lopus”, layaknya srigala yang saling menerkam. Ketika konflik sosial meluas, biasanya sulit untuk dihentikan dan menimbulkan luka sosial yang mendalam seperti dalam sejumlah kasus di masa lalu.

Dunia media sosial selain bermanfaat, pada saat sama sering menjadi media penyebarluasan hoaks, kebencian, permusuhan, dan benih konflik antar sesama secara keras. Menu medsos menjadi serba panas. Sentimen keagamaan, kesukuan, ras, dan golongan tidak jarang dilibatkan dalam isu-isu panas. Dunia digiring pada makna aselinya sebagai sesuatu yang “rendah” (dana, adna), karena manusia sebagai aktor yang berhawa-nafsu ambisius menjadikannya rendahan.

Baca Juga : Keutamaan Membaca Al-Qur’an

Ketika pandemi Covid-19 melanda dunia dan bencana terjadi di berbagai sudut negeri, alhamdulillah semua warga bangsa dan khususnya umat beragama hadir berbagi untuk menyelatmatkan kehidupan bersama. Spirit gotong royong dibuktikan dalam dunia nyata. Diharapkan jiwa bersama yang inklusif dan melintasi itu terwujud dalam menghadapi perbedaan sikap keagamaan, politik, dan orientasi kemajemukan lainnya yang sering bertemali dengan perebutan kepentingan duniawai.

 

Belajar Adil

Hidup bersama sering rusak karena ulah manusia sendiri yang suka melampaui batas (ekstrem) dan tidak siap hidup dalam keragaman. Di antara penyakit hati yang sering menjadi faktor perusak hubungan antar sesama ialah benih kebencian. Benci terhadap pihak lain yang sukses, kaya, dan berkuasa. Benci terhadap mereka yang berbeda agama, suku, ras, golongan, dan pilihan politik. Benci pada keadaan yang dikapitalisasi secara subjektif untuk membangkitkan emosi publik. Semoga tidak ada yang benci terhadap agama dan umat beragama.

Bila rasa benci bersemi, maka tidak akan ada hal yang benar dan positif dari pihak yang dibenci. Ekspresi benci dapat berupa tindakan-tindakan anti, negatif, dan oposisi pada segala hal dengan sikap berlebihan. Setiap hari yang diproduksi di media sosial pun selalu masalah yang bersifat negatif, keadaan buruk, dan menyeramkan. Seolah dunia gelap semua. Pikiran dan isu orang lain yang negatif tentang keadaan dengan mudah disebarluaskan, sejatinya memancarkan sikap dirinya untuk memancing dukungan publik.

Meminjam teori interaksionis simbolik, aktor sang pembenci selalu melihat dunia luar atau pihak lain  (other) tidak ada yang baik, semua kelam dan bara panas. Sedangkan diri (self) selalu berparas baik, benar, bersih, dan suci sebagai simbol surgawi. Pandangan terhadap orang lain yang serba negatif itu merupakan looking-glass self, cermin dari wujud dirinya yang kerdil. Ada problem “deprivasi relatif” pada diri atau pihak yang selalu memproduksi dunia negatif dalam kehidupan. Sulit baginya menyaksikan dunia ini cerah, damai, indah, dan tersenyum. Pandangannya selalu nyinyir terhadap keadaan.

Allah melarang umat beriman menyemai kebencian terhadap sesama. Firman Allah,  “Jangan sampai kebencian (mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat aniaya atau melampaui batas (kepada mereka)” (QS Al-Maidah: 2). Frasa ayat  ini mengajarkan sikap adil tanpa diskriminasi. Sikap adil memancarkan tindakan proporsional, seimbang, dan tengahan. Bila sering menyuarakan keadilan, mampukah bersikap adil terhadap pihak yang tidak kita sukai?

Nabi Muhammad memberi uswah hasanah dalam mempraktikkan benih cinta dan ihsan melawan kebencian. Dikisahkan dalam Sirah Nabawiyah karya An-Nadwi tentang seorang pengemis tunanetra di sudut pasar kota Madinah yang setiap hari mencaci Nabi. Namun Nabi malah menyantuni sang pembenci dengan selalu memberikan makanan sampai beliau wafat.

Perbuatan mulia itu diteruskan oleh Abu Bakar Sidiq. Suatu saat sang pembenci Nabi memegang tangan Abu Bakar seraya bertanya, ke mana orang yang sentuhan tangannya begitu lembut itu? Abu Bakar menjawab beliau sudah wafat dan dia adalah Muhammad. Pengemis Yahudi itu menangis dan kemudian masuk Islam.

Cinta berjiwa irfani meruntuhkan tembok benci. Kebencian sering meluruhkan sikap adil. Hal baik yang datang dari orang yang dibenci sering berubah menjadi buruk, apalagi bila betul-betul buruk. Hukuman atas kesalahan orang pun mesti ditimbang dengan kebaikannya agar tetap tegak di atas keadilan. Kehidupan manusia tidaklah sempurna. Pada diri orang yang baik terbuka celah buruk. Benih kebaikan pun selalu ada pada orang yang dipandang buruk. Dunia itu kompleks dan tidak linier. Di sinilah pentingnya sikap adil untuk tegaknya hidup bersama.

Agar sikap adil tetap terjaga dengan baik, diperlukan ihsan. Ihsan adalah mutiara ruhani kebajikan yang melintas batas. Allah mengajarkan dalam Al-Quran, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS An-Nahl: 90).

Nabi akhir zaman memberi teladan utama. Dengan jiwa adil dan ihsan nan autentik runtuhlah tembok angkuh kebencian, hasad, dan permusuhan seraya terpancar cahaya peradaban mulia dalam kehidupan bersama!

 

 

Prof. Dr. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah

 

Sumber: https://muhammadiyah.or.id/merawat-hidup-bersama/

Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Halaman Republika pada Sabtu (30/1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *