Oleh: Ai Siti Rahayu
Indonesia sebagai negara majemuk menyimpan begitu banyak kekayaan. Salah satu bentuk kekayaan yang sangat bernilai adalah kekayaan budaya di setiap suku bangsa di dalamnya. Kekayaan budaya yang beragam tersebut pada dasarnya menjadi modal berharga bagi bangsa ini untuk tetap tegak berdiri, juga sebagai modal dasar untuk menciptakan kehidupan yang selaras, harmonis, dan damai.
Sebab tradisi, budaya, dan pelbagai nilai-nilai luhur yang dipegang erat tersebut sarat nilai-nilai persaudaraan, kebersamaan, dan semangat saling menghargai.
Hal yang perlu diselami dari kekayaan budaya di Nusantara adalah terkait kearifan lokal di dalamnya. Kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain.
Artinya, kearifan lokal menjadi bagian penting dalam perjalanan kehidupan suatu kelompok, suku, atau etnis tertentu. Kearifan lokal ini hidup di tengah masyarakat dan menjadi pijakan hidup, termasuk dalam berinteraksi dengan kelompok lain.
Salah satu nilai yang terpancar dari banyak kearifan lokal di Nusantara adalah nilai-nilai penghormatan terhadap sesama. Banyak suku, etnis, atau kelompok di Tanah Air yang cenderung terbuka dan menghormati perbedaan.
Mereka menyikapi perbedaan yang dibawa kelompok lain dengan ramah, bijak, dan selalu mengupayakan dan mengedepankan kerukunan dan keharmonisan.
Di masyarakat Lampung misalnya, tertanam falsafah hidup fiil pasenggiri, yang salah satu unsurnya adalah “nemui nyimah” yang berarti bersikap santun dan terbuka kepada orang lain. Sikap terbuka ini menjadi salah satu karakter masyarakat Lampung sehingga mudah menerima pendatang.
Citra sebagai masyarakat adat yang terbuka ini kemudian mengkristal dalam konsep atau semboyan provinsi Lampung, yang berbunyi “Sang Bumi Ruwa Jurai”.
Baca Juga: Pentingnya Nilai-nilai Karakter yang Cerminkan Keindonesiaan dan Kearifan Lokal
Semboyan tersebut menyimpan makna kesatuan hidup dua akar budaya berbeda dari masyarakat Lampung, yakni masyarakat adat Lampung Sebatin dan Pepadun. Di zaman sekarang, pengertian Sang Bumi Ruwa Jurai ini diperluas menjadi masyarakat Lampung asli (suku Lampung) dan masyarakat Lampung pendatang.
Semangat persatuan dan persaudaraan yang diabadikan dalam semboyan tersebut bertujuan agar kehidupan sosial masyarakat Lampung yang terdiri dari penduduk asli dan pendatang bisa menjadi sebuah lingkungan sosial yang hidup rukun, berdampingan, dan bekerja sama.
Menyikapi konflik
Di tengah kehidupan sosial, di mana setiap orang atau kelompok memiliki kepentingan dan keinginan masing-masing, tentu sering terjadi pertentangan. Pertentangan ini merupakan hal yang wajar dan menjadi bagian dari dinamika kehidupan.
Terkait hal ini, masyarakat tradisional sejak dulu telah memiliki kearifan dan kebijaksanaan dalam menyikapi setiap pertentangan yang terjadi di masyarakat agar tak berkembang menjadi konflik dan pertikaian yang merusak keharmonisan bersama secara luas.
Di masyarakat Jawa misalnya, sejak dulu telah mengembangkan norma-norma kearifan lokal untuk selalu mencegah terjadinya emosi-emosi yang bisa menimbulkan konflik. Sekurang-kurangnya, masyarakat Jawa selalu berusaha mencegah agar emosi tak pecah secara terbuka.
Norma-norma tersebut dapat dirangkum dalam tuntutan untuk selalu mawas diri dan menguasai emosi-emosi (Magnis-Suseno: 2001). Masyarakat Jawa tradisional selalu mengutamakan kehati-hatian dan berusaha mengendalikan emosi setiap kali di hadapkan pada pertentangan dan konflik.
Alih-alih melampiaskan amarah, masyarakat Jawa lebih mengedepankan sikap introspeksi diri. Kita mengenal falsafah Jawa yang berbunyi, Ojo podho nyacat wong liyo, ngilo githo’e dewe, yang artinya kurang lebih “jangan mencela orang lain, berkacalah pada tengkuk sendiri”.
Hal ini tak lepas dari kecenderungan orang yang mudah melihat kesalahan orang lain ketimbang diri sendiri, yang sering berujung pertikaian, saling menghina, sebagaimana banyak terlihat di masyarakat kita belakangan ini. Sikap mawas diri, hati-hati menjaga perasaan orang lain dan selalu berkaca pada diri sendiri ini merupakan nilai dasar untuk menciptakan kehidupan bersama yang harmonis.
Ketika sifat-sifat tersebut sudah tertanam dalam diri seseorang, ia tak akan mudah melakukan tindakan yang bisa melukai perasaan sesama dan mengancam keharmonisan bersama. Ketika terjadi pertentangan, sikap yang diketengahkan adalah dialog. Di dalam masyarakat Jawa, kita mengenal istilah rembug yang artinya musyawarah atau dialog.
Ini merupakan strategi menghindari konflik dengan cara musyawarah bersama yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat atau perwakilan warga. Ketika keputusan sudah diambil, semua pihak harus menerima dan mentaati. Prinsip rembug mengajari orang untuk menekan ego dan keinginan yang bersifat individual atau kelompok dan lebih mengutamakan kepentingan bersama yang lebih luas.
Kearifan lokal tak hanya terkandung dalam semboyan suatu daerah atau pitutur bijak yang ada di masyarakat, namun juga dalam pelbagai benda tradisional. Dalam masyarakat adat Bugis, dikenal “badik” atau senjata tradisional.
Sastrawan D. Zawawi (2013), sebagaimana dikutip Darwis Muhdina (2015) menyebutkan bahwa badik memiliki dua sisi pemaknaan. Selain sebagai benda fisik yang berfungsi sebagai senjata, badik juga berfungsi sebagai sumber nilai yang menjadi pijakan setiap sikap dan tindakan masyarakat Bugis Makassar, terutama ketika berinteraksi dengan sesama manusia.
Dulu, badik memang banyak digunakan untuk kepentingan pertarungan atau perkelahian. Namun, lanjut Zawawi, makna badik kini direkonstruksi menjadi nilai moral. Badik, adalah sebuah benda. Tapi, ruhnya adalah siri’, yakni kearifan lokal tentang harga diri dan rasa malu. Seseorang yang mampu memahami makna badik secara nilai, akan menjadikannya sebagai sumber kebaikan dan tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum adat. Sedangkan, ruh siri’ yang lebih dalam adalah ati macinnong (hati jernih). Orang berhati jernih tak memiliki kebencian pada orang lain, menjauhi fitnah, permusuhan, dan pertengkaran.
Beberapa kearifan lokal tersebut sekadar contoh. Tentu, masih ada begitu banyak kearifan lokal yang tersebar di pelbagai daerah di Tanah Air. Jika kita pahami, kita akan sadar bahwa masyarakat sejak dahulu sudah memiliki pelbagai kebijaksanaan hidup, terutama terkait bagaimana membangun kehidupan yang harmonis dengan sesama.
Di tengah fenomena pertikaian, saling menghina, saling hujat, dan budaya menjatuhkan orang lain yang telah menjangkiti sebagian masyarakat kita dewasa ini, nilai-nilai kebijaksanaan hidup yang terkandung dalam pelbagai kearifan lokal tersebut mestinya bisa kembali digali, dirawat, dan kita kuatkan bersama.
Nilai-nilai yang terkandung dalam pelbagai kearifan lokal seperti kejernihan hati, penghormatan terhadap sesama, mawas diri, mengorbankan ego pribadi untuk kepentingan bersama, serta keterbukaan terhadap dialog dan musyawarah, merupakan nilai-nilai mendasar yang bisa menguatkan tali persaudaraan antar sesama manusia. Jika terus dirawat, nilai-nilai tersebut akan menjadi akar yang kuat untuk membangun kehidupan bersama yang aman, harmonis, dan damai.
Penulis: Ai Siti Rahayu
Comment