Menyambut Pengesahan RUU TPKS: Peluang Membangun Sistem Komprehensif Melindungi Anak dan Perempuan dari Kekerasan Seksual

Opini35 Views

Oleh: Anil Dawan

Jika tidak ada aral melintang perjalanan pengesahan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) akhirnya mendekati titik kulminasinya. Ibarat sebuah perjalanan, titik akhir mendekati garis finish akan segera terjadi.

Sebagaimana khalayak mencermati dan mengawal, betapa alotnya persetujuan atas pengesahan regulasi yang selama ini dibutuhkan masyarakat sebagai payung hukum untuk menjamin perlindungan dari tindak pidana kekerasan seksual.

Padahal secara faktual harus diakui bahwa regulasi ini sangat dibutuhkan dalam kondisi dimana Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual. Bertubi-tubi kejadian kekerasan tercatat tak hanya dalam rentetan angka statistik terdapat 299.911 kasus kekerasan sepanjang tahun 2021.

Belum lagi ditambah adanya pandemi, angka kekerasan itu makin melonjak naik pastinya. KPAI juga mencatat bahwa terjadi peningkatan jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual, dari 190 orang pada tahun 2019, menjadi 419 pada tahun 2020.

 

Komitmen Semua Pihak

Kesadaran kolektif memang seharusnya mengatasi kekegeraman kita yang hanya muncul saat kasus kekerasan terjadi dan hilang lenyap seketika bersama berjalannya waktu. Komitmen DPR untuk mempercepat pengesahan RUU TPKS patut diapresiasi.

Karena memang seharusnya demikian, parlemen sebagai representasi rakyat memang seharusnya memiliki keberpihakan kepada isu kekerasan seksual, terutama kepada korban. Adagium yang kerap kali menyindir kita adalah bahwa dunia ini rusak bukan hanya karena bertambahnya orang jahat, namun juga karena orang baik banyak yang diam saja.

Komitmen Presiden Jokowi Nampak kentara dengan menugaskan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Tindak Pidana Seksual adalah sinyal jelas komitmen Pemerintah terkait urgensi isu kekerasan seksual.

Baca Juga: Aksi Nyata MPI Dalam Mendukung Literasi Anak-Anak Papua

Tindakan untuk melakukan inventarisasi masalah atas draft RUU yang disiapkan harus menyasar pada pokok-pokok substansi dan berlangsung lebih cepat sehingga kepastian hukum dan perlindungan korban dapat dikedepankan.

Komitmen pemerintah ini mesti gayung bersambut dengan suara-suara kenabian dari Lembaga agama, suara bijaksana dari Lembaga Masyarakat dan Adat yang patut menyuarakan suara kenabiannya mewakili suara para korban. Upaya lebih besar juga perlu dirangkai dalam sinergi dan kolaborasi dengan semua pemangku kepentingan dalam skema triple helix yang melibatkan semua.

Gerakan Pikiran, Hati dan Karya

Dalam pengalaman memfasilitasi pelatihan Perlindungan Anak untuk Tokoh Agama, saya mengidentifikasikan bahwa dalam merespon kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terdiri dari 4 tipe  atau kategori yaitu: yaitu tipe predator (yaitu pelaku kekerasan), tipe protektor (yaitu pelindung), tipe pengamat (yaitu hanya melihat, mendengar dan tidak berbuat apa-apa, hanya berkomentar atau mengamati), dan tipe korban (yaitu mereka yang menjadi korban kekerasan).

Para predator ini ironisnya adalah orang-orang yang seharusnya melindungi, justru kadang dari lingkungan terdekat. Wataknya adalah agresif dan memiliki kelicikan seperti serigala mengintai mangsa dengan segala cara. Sementara para protektor memiliki watak berjibaku, berjuang, tanpa segan berkorban para korban kekerasan. Sedangkan para korban memilki suasana hati yang diliputi dengan ketakutan, perasaan bersalah karena kadang dipersalahkan dianggap “tidak dianggap mampu menjaga diri”.

Suara para korban ini kadang lirih merintih, dalam tangis dan ratap yang kadang tiada dipedulikan. Sementara itu, Para pengamat hanya bertindak mengomentari, dan apatis terhadap kasus-kasus kekerasan yang ada. Mereka ada diruang aman dan nyaman tanpa mau terlibat dalam upaya untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seksual.

4 Tipe ini patut direfleksikan oleh semua pihak, ada diposisi manakah dan peran apakah yang akan dimainkan dalam keterlibatannya dalam perjuangan untuk pengesahan RUU TPKS.

Pengesahan RUU TPKS patut diarahkan sebagai peluang bersama untuk membangun system perlindungan dalam lingkaran yang melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seksual. Penanganan dan keberpihakan kepada para korban adalah upaya menyelamatkan mereka dari keterpurukan dan hancurnya masa depan.

Sedangkan para protektor perlu terus didukung dan dikapasitasi untuk memiliki pengetahuan, keterampilan dan sekaligus pikiran yang cerdas, hati yang peka dan tanggap serta tangan dan kaki yang responsif membangun system perlindungan dan pencegahan yang menyeluruh.

Semoga tidak ada korban-korban kekerasan lagi di masa yang akan datang. Gerakan hati, pikiran dan karya kiranya menjadi booster/penguat dalam upaya mengawal RUU TPKS pada pengesahan dan implementasinya. Semoga.

 

Dr. Anil Dawan M.Th (Manajer Faith and Development) Wahana Visi Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *