Menjadi Fundamentalis Positif

Opini2693 Views

Oleh: Abu Alerscha Rafassya Nur

 

“Fundamentalisme Islam tidak serta-merta dapat didefinisikan sebagai

gerakan berjenggot, berjubah, dan bercadar yang getol menuntut

penerapan syariat dan pendirian negara Islam.”

(Hasan Hanafi, 2009)

 

Di Barat istilah fundamentalisme Islam  begitu populer untuk mengidentifikasi kebangkitan dan reformasi islam. Tapi apakah istilah tersebut tepat untuk merepresentasikan gerakan politik tertentu dalam sejarah Islam?

“Fundamentalisme” dalam bahasa Arab, secara harfiah adalah “usuliyyah” yang artinya: dasar-dasar dalam fiqih (kaidah-kaidah penentuan hukum) dan usul al-din (pokok-pokok agama). Jadi sejatinya, secara harfiah istilah “usuliyyah” tidak dapat mewakili sebuah gerakan politik dan keagamaan tertentu dalam Islam. Namun demikian, tetap saja istilah fundamentalisme Islam kerap diidentikan dengan gerakan revivalisme yang mengusung jargon ni’ma al-salaf wa bi’sa al-khalaf (sebaik-baiknya generasi adalah generasi pendahulu, sedangkan sejelek-jelaknya generasi adalah gerenari belakangan). Dengan demikian, revivalisme merupakan gerakan yang disokong oleh ramantisme kejayaan masa lalu dan mengidolakan ajaran-ajaran klasik yang diwariskan oleh generasi awal dalam sejarah Islam.

Baca Juga : Muhammadiyah Banten Dukung PMP Diajarkan Sejak Usia Dini

Dalam sejarahnya, seperti dinukil Irwan Masduqi, gerbong revivalisme telah dipromotori oleh Ahmad bin Hambal (w. 241 H), Al-Syaukani (w. 250 H),  Ibn Taimiyah (w. 728 H), Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751), Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (w. 1206 H), tarekat al-Mahdiyah, dan tarekat Al-Sanusiyah. Pada era modern , revivalisme kembali digelorakan oleh para reformis ternama seperti Jamaluddin al-Afghani (w. 1879), Muhammad Abduh (w. 1905), Rasyid Rida (w. 1935), Al-Kawakibi (w. 1902), Ibn Badis (w. 1940), Basyir al-Ibrahimi (w. 1965), Abd al-Qadir al-Jazairi (w. 1883, Tahir bin ‘Asyur (w. 1973), dan lain-lain. (Irwan Masduqi, BerIslam secara Toleran, 2011, h. 83)

Melihat sejumlah tokoh-tokoh legendaris tersebut, Masduqi (ibid.) mencatat, bahwa dalam penilaian Hasan Hanafi fundamentalisme dan revivalisme bukanlah semata-mata gerakan konservatif, regresif, dan antimodernitas, sebab di antara tokoh-tokoh tersebut juga ada pemikir-pemikir modern tercerahkan yang menopang pandangan-pandangan progresif dan modern bagi kebangkitan kembali Islam. Sebagian mereka, banyak yang mengajak umat Islam mengapresiasi nilai-nilai kebebasan dan sistem demokrasi seraya menolak fanatisme dan eksklusifisme. Mereka adalah para pemikir yang tercerahkan sekaligus mencerahkan, rasional, memiliki kapasitas intelektual yang luas, dan terbuka terhadap peradaban modern. Selain itu, mereka juga berani menghadapi tantangan kontemporer, dan produktif menulis isu-isu toleransi, upaya membangun perdamaian dan sebagainya.

Hasan Hanafi, Profesor dan ketua Departemen Filsafat di Universitas Kairo  ini menggarisbawahi bahwa  fundamentalisme tidak selalu identik dengan gerakan regresif yang kerap menggunakan cara-cara kekerasan untuk melawan sistem sekuler. Fundamentalisme juga merepresentasikan para tokoh yang kerap mengkampanyekan kesadaran agama, kesadaran politik, dan nasionalisme melalui cara-cara yang santun dan beradab. Mereka sama sekali tidak menggunakan cara-cara kekerasan yang memang tidak pernah dicontohkan oleh pembawa risalah Islam, yakni Rasulullah Saw.

Dalam pandangan Hasan Hanafi, fundamentalisme Islam sebagai sebuah ideologi, sebagaimana diungkap Masduqi (ibid., h. 88-89), mempunyai sisi positif dan negatif. Sisi positifnya: Pertama, terkait erat dengan gerakan perlawanan terhadap impmerialisme; kedua, dakwahnya mampu menyentuh kalangan pebisnis, petani, dan pelajar; ketiga, struktur organisasinya mampu bekerja efektif; keempat, tolong-menolong antar-jemaah; kelima, memiliki semangat patriotisme dalam perang membela palistina; keenam, terbuka dalam menerima pengalaman dari peradaban lainh tanpa harus mengorbankan autentisitas tradisinya sendiri; ketujuh, mempunyai program untuk mewujudkan  keadilan sosial, kesetaraan, kebebasan, kesatuan, kedamaian, dan independen dari intervensi asing yang acap-kali merugikan.

Sisi positif dari fundamentalisme tersebut kemudian lambat-laun mengalami erosi. Inilah yang disayangkan Hasan Hanafi. Sebuah kenyataan pahit di mana fundamentalisme Islam pada akhirnya mengambil bentuk yang ekstrim dan radikal yang ditandai dengan kemunculan Jamaah Jihadi. Jamaah ini menganut teologi “hakimiyah” dan jihad. Teologi hakimiyah (mulai berkembang sejak era Sayyid Qutb (w. 1966)) merupakan keyakinan bahwa kedaulatan hanya di tangan Allah. Maka, hukum positif (UU, ideologi negara, peraturan pemerintah, dll. yang tidak mengacu pada syariat Islam) dinilai sebagai sistem kafir yang harus dienyahkan dan diganti dengan hukum Allah.

Nampaknya, teologi “hakimiyyah” inilah yang belakangan menelusup di Tanah Air yang dibawa oleh para aktivis organisasi transnasional. Tak hanya membawa ajaran teologinya, mereka juga membentuk organisasi serupa sebagai payung himpun sekaligus kendaraan untuk mewujudkan perjuangan mereka dalam menerapkan syariat dan negara Islam. Sejumlah organisasi seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Jamaah Islamiyah Indonesia, Hisbut-Tahrir Indonesia, Jamaah Ansharut-Tauhid, dan Fron Pembela Islam adalah di antara wadah “kepanjangan tangan” atau paling tidak terinspirasi dari gerakan-gerakan fundamentalis dari negara-negara asalnya di Timur Tengah sana.

Yang disayangkan Hasan Hanafi adalah, kaum fundamentalis berusaha mencari justifikasi dari khazanah Islam Klasik (turats) untuk melegitimasi perang melawan sistem sekuler yang dianggap kafir . tak hanya itu, fundamentalisme Islam kemudian bergeser ke arah radikalisme. Inilah yang bagi Hasan Hanafi, menilai fundamentalisme Islam telah mencoreng citra Islam yang pada dasarnya adalah agama perdamaian. Intelektual Muslim yang pernah mengaku sebagai “anak dari fundamentalisme Islam” ini berkali-kali menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme atas nama Islam tidak dapat dibenarkan, sebab kata “Islam” diambil dari akar kata yang sama dengan “salam” yang artinya damai.

Oleh karena itu, kekerasan, apapun bentuknya, apalagi mengatasnamakan agama sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam. Nabi Muhammad pun tak pernah mencontohkannya. Sebaliknya, beliau senantiasa menunjukkan akhlak al-karimah-nya baik kepada sesama Muslim dan juga kepada penganut non-Islam. Bahkan tak segan-segan Rasulullah mempersilahkan tetamunya yang beragama Kristen dari Najran untuk beribadah (kebaktian) di mesjid Nabawi ketika mereka kunjungan ke Madinah.

Dengan demikian Islam bukanlah agama intoleran, melainkan agama toleran yang mengedepankan  damai. Inilah yang ditandaskan oleh Hasan Hanafi dalam bukunya, Islam in the Modern World: Tradition, Revolution and Culture. Ia menulis: Islam, the name of the religion, is derived from the same root as ‘salam’, wich means peace. Islam, therefore, is a religion of peace. [ ]

 

Abu Alrescha Rafassya Nur, peminat studi agama dan perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *