Menilik Filosofi Pakaian dan Adat Suku Baduy Banten

Kabar Utama204 Views

Kabar Damai I Selasa, 17 Agustus 2021

Jakarta I kabardamai.id I Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri agenda Sidang Tahunan MPR 2021 pada Senin, 16 Agustus 2021. Jokowi tampak bersahaja mengenakan pakaian adat suku Baduy, suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi dan budaya.

Jokowi tiba mengenakan pakaian lengkap adat suku Baduy berwarna hitam dengan ikat kepala biru bercorak batik serta masker hitam. Bukan itu saja, Jokowi juga memakai tas yang terbuat dari anyaman dan sandal kulit berwarna hitam.

Melansir dari indonesiakaya.com, pakaian adat suku Baduy ternyata terbuat dari bahan yang didapat di alam sekitar, yaitu Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Hal ini dikarenakan pegunungan yang memiliki hasil alam yang berlimpah dan telah menjadi tempat tinggal Suku Baduy sejak bertahun-tahun.

Pada bagian atas terdapat telekung atau ikat kepala dari suku Baduy yang merupakan hasil tenun masyarakat Baduy. Ikat kepala atau yang disebut juga sebagai koncer atau roma ini dibedakan dengan warna putih dan biru tua.

Baca Juga: Belajar dari Sultan Pertama Pontianak, Terbuka Kepada Semua Suku dan Agama

Warna biru tua bercorak batik menjadi ikat kepala yang digunakan suku Baduy Luar,” tulis indonesiakaya.com, seperti dikutip Bisnis.com, Senin, 16 Agustus 2021.

Adapun, pakaian yang dikenakan Presiden Jokowi disebut dengan jamang sangsang. Pakaian ini didesain berlengan panjang tanpa menggunakan kerah. Kapas yang telah menjadi benang selanjutnya ditenun oleh kaum perempuan suku Baduy hingga menjadi bahan.

Presiden Jokowi juga mengenakan aksesori lainnya sebagai tambahan dari pakaian adat suku Baduy, yakni tas yang terbuat dari kulit kayu pohon terep.

“Tas yang disebut koja atau jarog ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari suku Baduy. Karena tas ini berfungsi sebagai tempat menyimpan perlengkapan yang dibutuhkan suku yang mendiami wilayah Banten,” tulisnya.

Berikut istilah dan fungsi pada baju adat suku Baduy seperti dilansir dari akun Twitter resmi Kantor Staf Presiden @KSPgoid:

  1. Telekung Ikat kepala, kadang disebut koncer atau roma. Telekung merupakan hasil tenun masyarakat Baduy.
  2. Kutung Baju putih berlengan panjang tanpa keras juga disebut jamang sangsang.
  3. Beubeu Ikat pinggang berupa selendang kecil.
  4. Samping Aros Sarung warna nila bergaris putih dipakai sebatas dengkul.

Mengenal Suku Baduy dari Banten

Dirangkum dari laman Indonesia.go.id, asal muasal sebutan “Baduy” adalah pemberian dari para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).

Kemungkinan lain asal sebutan Baduy adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.

Selain itu, Suku Baduy juga dikenal dengan Urang Kanekes atau Orang Kanekes. Orang Kanekes merupakan kelompok etnis masyarakat adat suku Banten di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.

Populasi Urang Kanekes ini diperkirakan 26.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang mengisolasi diri mereka dari dunia luar.

Sehingga, mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.

Suku Baduy Luar dan Baduy Dalam

Sementara dirangkum dari laman resmi Dinas Pariwisata Provinsi Banten, Suku Baduy sendiri terdiri dari 2 macam, yakni  suku Baduy Luar dan suku Baduy Dalam.

Secara penampilan, suku Baduy Dalam memakai baju dan ikat kepala serba putih. Sedangkan Suku Baduy Luar memakai pakaian hitam dan ikat kepala berwarna biru.

Dilihat dari jumlah penduduknya, masyarakat Baduy Luar atau urang penamping memiliki kelompok besar berjumlah ribuan orang yang menempati puluhan kampung di bagian utara Kanekes seperti daerah kaduketuk, cikaju, gajeboh, kadukolot, Cisagu, dsb.

Sementara di bagian selatan yang terletak di pedalaman hutan ditempati masyarakat Baduy Dalam atau Urang Dangka yang hanya berpenduduk ratusan jiwa serta tersebar di tiga daerah, yaitu kampong Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana.

Hingga saat ini masyarakat Baduy Dalam masih memegang kuat konsep pikukuh (aturan adat yang isi terpentingnya mengenai keapaadaan) secara mutlak dalam kesehariannya sehingga banyak pantangan yang masih sangat ketat diberlakukan

Hal ini berbeda dengan cara hidup masyarakat Baduy Luar yang secara garis besar sudah sedikit terkontaminasi budaya modern.

Masyarakat Baduy Luar juga mengenali teknologi berupa alat-alat elektronik, walaupun sesuai pantangan adat yang berlaku mereka sama sekali tidak mempergunakannya, dan bahkan menolak penggunaan listrik.

Namun, hingga kini masyarakat Baduy tidak mempergunakan transportasi apapun dan hanya berjalan kaki untuk berpergian.

Mereka juga memilih tidak menggunakan alas kaki, tidak bepergian lebih dari 7 hari ke luar Baduy, membangun segala kebutuhan seperti rumah, jembatan, dsb, dengan bantuan alam, memanfaatkan alam, dan untuk alam, serta memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papannya sendiri dengan menenun atau bercocok tanam.

5 Hal Positif dari Suku Baduy Dalam

Banyak yang terkesima dengan cara hidup masyarakat Baduy yang sangat menjaga alam tempat mereka menggantungkan hidup. Mereka juga menjaga lingkungan perkampungannya dengan baik agar selalu bersih. Apa lagi yang bisa kita pelajari dari Suku Baduy Dalam ini? Berikut lima hal yang dirangkum dari tulisan Yudi Rahmatullah di suara.com, yang bisa kita lihat dari cara mereka menjaga lingkungan.

  1. Menjaga Alam Dengan Baik

Untuk menuju Kampung Wisata Marenggo, kamu harus hiking yang dimulai dari Terminal Ciboleger. Hal yang pertama kali terlihat ketika kamu akan memasuki kampung ini adalah air sungainya yang sangat jernih. Ditambah lagi, tidak adanya sampah plastik menjadikan sungai ini semakin bersih dan enak dilihat.

Penggunaan kemasan berbahan plastik yang berlebihan memang dilarang di Kampung Marenggo yang ditinggali Suku Baduy Dalam ini. Para wisatawan yang membawa kemasan berbahan plastik ke kampung ini, harus membawanya kembali ke luar perkampungan ketika akan pulang. Hal ini agar Kampung Wisata Marenggo tidak tercemari oleh sampah-sampah yang membahayakan alam tersebut.

Makanya, saat akan memasuki perkampungan awal Baduy, di gapura Ciboleger bertuliskan “Bawa Kembali Sampah ke Luar Baduy”.

  1. Tidak Menggunakan Produk Berbahan Kimia

Untuk memasak, orang Suku Baduy Dalam hanya membumbui masaknnya dengan garam atau gula. Tidak terlalu banyak menambahkan penyedap rasa ataupun bumbu-bumbu lainnya, apalagi bumbu-bumbu tersebut dikemas dengan menggunakan bungkus plastik.

Penggunaan peralatan mandi pun tidak menggunakan sabun, pasta gigi, sampo, dan sejenisnya. Mereka mandi dengan bahan-bahan alami yang bersifat membersihkan dan tentunya tidak mencemari lingkungan, seperti tanaman kecombrang sebagai pengganti sabun dan sampo, serta mengganti sikat gigi dengan sabut kelapa.

Untuk mencuci pakaian, mereka hanya mengucek dan membilasnya saja dengan air sungai. Jadi, tidak ada yang namanya deterjen di sini. Sedangkan, untuk mencuci peralatan rumah tangga cukup menggosoknya dengan menggunakan sabut kelapa dan abu gosok.

Makanya, sungai yang menjadi sumber air utama sangat bersih, tidak tercemar oleh bahan-bahan yang mengandung zat kimia yang dapat mengotori air sungai atau menjadikan rasa dan aroma air menjadi tidak enak untuk dikonsumsi.

  1. Memanfaatkan Sumber Daya Alam

Rangka rumah panggung Suku Baduy terbuat dari kayu, lantai dan dindingnya terbuat dari bambu, dan atap yang menaungi rumah tersebut terbuat dari susunan daun kelapa. Semuanya diambil dari hasil alam sekitar.

Bukan hanya rumahnya, tapi peralatan lain juga diambil dari sumber-sumber yang tersedia di alam, seperti tas atau jinjingan yang sering mereka gunakan untuk menyimpan barang terbuat dari akar, batang, dan kulit pohon.

Bahkan, pakaian khas laki-laki dan perempuan Suku Baduy Dalam terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang dan kemudian ditenun menjadi pakaian dan sarung. Pakaian khas laki-laki Suku Baduy bernama Jamang Sangsang, sedangkan untuk perempuan hanya menggunakan baju model kebaya dan kain.

  1. Tidak Menggunakan Alat Tranpsortasi dan Teknologi

Itulah kenapa, kamu akan sering melihat orang-orang Suku Baduy Dalam dengan ciri khas baju putih dan sarung loreng hitam ini berjalan di sekitar Banten bahkan sampai ke luar kota, seperti Jakarta. Karena, mereka memang hanya mengandalkan kaki untuk melakukan perjalanan. Tidak digunakannya alat transportasi menjadi aturan hidup yang mereka jalani.

Begitupun dengan alat komunikasi, seperti handphone, mereka dilarang untuk menggunakannya. Bahkan, ketika kamu menginap di rumah Suku Baduy Dalam di Kampung Marenggo, penggunaan kamera tidak diijinkan. Tetapi, mereka tidak menutup diri bagi siapa saja yang ingin berfoto atau membagikan cara hidupnya ketika berada di perkampungan Baduy Luar.

  1. Padi Huma Sebagai Makanan Pokok

Bercocok tanam adalah cara utama Suku Baduy untuk memenuhi kebutuhan pangan. Mereka menanam padi huma di ladang. Padi huma berbeda dengan padi sawah, karena tidak membutuhkan pengairan. Padi huma yang mereka hasilkan ini tidak dijual, melainkan disimpan di lumbung padi atau biasa disebut Leuit.

Selain padi huma, mereka juga menanam singkong, pisang, cabai, sayur-sayuran dan tanaman lainnya untuk sebagai sumber pangan tambahan. Cara menanam tanaman ini sama seperti menanam padi huma, yaitu dengan cara berpindah-pindah agar lahan tetap subur.

Walaupun cara membuka lahan dengan cara tebang dan bakar. Tapi hal ini telah mereka pikirkan agar tidak merusak alam. Dan, ternyata sisa-sisa pembakaran ladang tersebut bisa dijadikan pupuk organik yang dipercaya dapat menyuburkan lahan pertanian.

Itulah 5 hal positif yang dapat kamu pelajari dari cara hidup Suku Baduy Dalam. Sebenarnya ada banyak hal yang dapat kamu pelajari dengan mengunjungi atau menginap di Kampung Wisata Marenggo ini. Kamu akan mendapatkan banyak pelajaran hidup yang sangat berharga. Bahkan, banyak wisatawan yang datang dan menginap berkali-kali untuk lebih mengetahui hal-hal positif lainnya yang selalu mereka lakukan. [ ]

 

Editor: Ahmad Nurcholish

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *