Menguak Bias Dalam Relasi Gender Keluarga

Opini24 Views

Oleh Amatul Noor

Keluarga merupakan institusi terkecil dari masyarakat dan negara yang memiliki sistem sosial sendiri. Keluarga didefinisikan sebagai orang yang tinggal bersama, memiliki hubungan darah, perkawinan dan sistem kekerabatan baik sedarah maupun tidak. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang belum menikah disebut sebagai keluarga batih.

Pembagian peran dalam budaya patriarki identik dengan laki-laki sebagai peran yang mencari nafkah dan perempuan sebagai ibu yang fokus mengurus rumah dan anak. Namun anggapan mengenai wujud keluarga, dan juga struktur keluarga itu sendiri telah mengalami perubahan besar berkenaan dengan pergantian sosial. Dahulu dalam keluarga tradisional golongan menengah, pasangan suami-istri yang hidup dalam perkawinan seumur hidup mengasuh beberapa anak dengan pembagian peran yang tegas: Sang ayah bekerja untuk mencari nafkah, sang ibu mengurus rumah tangga.

Namun pola keluarga tersebut tidak lagi merupakan cara hidup yang diikuti kebanyakan orang. Bentuk kehidupan bersama kian beragam. Perkembangan ini untuk sebagian besar terkait dengan persamaan hak dan dengan peran perempuan yang telah berubah: Kini sekitar 65 persen ibu-ibu bekerja, sedangkan keluarga menjadi lebih kecil, bahkan dengan pola relasi suami isteri yang juga mengalami pergeseran.

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, kini perempuan tidak lagi menempati posisi rendah dalam keluarga maupun dalam masyarakat sosial. Berkembangnya teori feminisme dan gender membawa perempuan keluar dari zona hitam yang mengekang dan memenjara perempuan dalam keluarga. Konsep gender tidak akan bisa dipahami secara komprehensif tanpa melihat konsep seks. Kekeliruan pemahaman dan pencampuradukan kedua konsep tersebut sebagai sesuatu yang tunggal, akan melanggengkan ketimpangan dan ketidakadilan gender (gender inequalities).

Selain itu, pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persolan ketidakadilan sosial secara lebih luas. Hal ini terjadi karena ada kaitan yang erat ketidakadilan gender  dengan struktur ketidakadilan masyarakat

Dalam kamus bahasa Inggris, sex dan gender, sama-sama diartikan sebagai “jenis kelamin”. Akan tetapi  antara keduanya mempunyai pengertian yang berbeda. Seks adalah jenis kelamin biologis yang  merupakan pensifatan  dua jenis kelamin manusia yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Seperangkat alat reproduksi yang  secara biologis melekat pada masing-masing jenis kelamin tertentu, untuk selamanya tidak dapat dipertukarkan karena bersifat given, merupakan ketentuan Tuhan atau kodrat.

Sedangkan Gender merupakan jenis kelamin sosial , yaitu  suatu sifat yang  melekat/dilekatkan pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Ciri dari sifat itu sendiri dapat dipertukarkan, dapat berubah dari waktu ke waktu, serta berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Terbentuknya perbedaan gender melalui proses yang sangat panjang, dibentuk, disosialisasikan, diperkuat dan dikonstruksi secara sosio- kultural bahkan melalui ajaran keagamaan maupun negara.

Berangkat dari pemikiran di atas, dapat disimpulkan bahwa, konsep gender adalah konsep yang digunakan untuk  mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan  dilihat dari segi sosial-budaya atau nonbiologis.

Baca juga : Hak Kebebasan Orang Islam dalam Mencintai Pemeluk Agama Lain

Dengan bahasa yang lengkap, gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan fungsi, peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan, sebagai hasil konstruksi sosiao-kultural yang tumbuh dan disepakati oleh masyarakat dengan  proses yang sangat panjang, bisa  berubah dari waktu kewaktu, tempat ke tempat, bahkan dari kelas-ke kelas sesuai perkembangan zaman. Sedangkan seks adalah jenis kelamin biologis yang melekat pada masing-masing jenis kelamin tertentu dan tidak dapat dipertukarkan karena merupakan kodrat.

Dalam konteks peran gender, perubahan pada struktur dapat dilihat melalui peran yang dimainkan oleh lakilaki dan perempuan berdasarkan pembagian kerja dan status. Status dapat dilihat dari distribusi kekayaan, pengambilan keputusan, penghasilan, kekuasaan dan prestise. Misalnya,  peran dan posisi perempuan dikaitkan dengan lingkup domestik dan berurusan dengan lingkup kerumahtangggan, sementara lakilaki urusan publik atau luar rumah (pembagian kerja dalam rumahtangga). Oleh karena itu, perempuan selalu ditempatkan  dalam peran dan posisi minoritas karena dianggab  mempunyai status lebih rendah daripada laki-laki.

Bagi perempuan, struktur tersebut masih sulit untuk  mengimbangi laki-laki, karena bagi perempuan yang ingin berkiprah di ranah publik masih harus beranggungjawab di ranah domestik ( beban ganda). Perempuan dalam hal ini tidak berdaya untuk menghindar dari ranah tersebut karena sudah menjadi persepsi budaya secara umum. Kontrol budaya yang bersifat patriarkhi menjadi penghambat adanya perubahan peran gender.

Relasi gender dalam konteks ini  adalah  konsep hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan berdasar kualitas, skill, peran  dan fungsi  dalam konvensi sosial yang bersifat dinamis mengikuti kondisi sosial yang selalu  berkembang. Sedangkan institusi keluarga adalah sebuah institusi sosial dasar yang disatukan oleh perkawinan dan yang  mempunyai komponen-komponen dengan peran sosial dan fungsi masing-masing.

Peran-peran sosial itu saling berhubungan secara timbal balik dan saling tergantung membentuk satu kesatuan rumahtangga untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi antar komponen sesuai dengan peran dan fungsinya  sangat diperlukan  agar sistem tersebut bisa berjalan. Perhatian teori struktural fungsional terhadap relasi gender dalam institusi keluarga oleh Parsons adalah sebagai reaksi dari pemikiran pemikiran tentang lunturnya fungsi keluarga karena adanya modernisasi.

Menurut Parsons, keluarga adalah ibarat hewan berdarah panas yang dapat memelihara temperatur tubuhnya  agar tetap konstan walaupun kondisi lingkungan berubah. Hal ini bukan berarti keluarga selalu bersifat statis dan tidak bisa berubah,  akan tetapi selalu beradabtasi dengan lingkungan atau dalam bahasa Parson disebut dengan dynamic equilibrium.

Dikutip dari berbagai sumber.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *