Kabar Damai | Jumat, 13 Mei 2023
Lampung | Kabardamai.id |Ahmad Nurcholis, Ustadz yang juga merupakan Deputi Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) memberikan materi khusus mengenai pemikiran dan riwayat feminisme Gus Dur.
Hal ini disampaikan dalam dialog di gereja Kristus Tanjung Karang, di kota Bandar Lampung dalam agenda Peace Train Indonesia (PTI) ke 15, pada Kamis 11 Mei 2023.
Ia menerangkan bahwa terdapat sejumlah asas yang menopang feminisme dalam islam berdasarkan pemikiran Gus Dur. Yang pertama, Tuhan menciptakan manusia untuk menjaga alam semesta, baik laki-laki maupun perempuan.
Asas kedua, manusia adalah ciptaan tuhan yang paling baik. Jika hal ini dimaknai, maka ini berarti laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Sehingga, seseorang tak bisa merendahkan atau melecehkan orang lain hanya berdasarkan gender semata.
Asas ketiga, manusia memiliki kapasitas intelektual untuk memecahkan masalah kemanusiaan, termasuk masalah-masalah sosial seperti ketimpangan gender.
“Masalah kemanusiaan ini dalam masalah perempuan itu (berbentuk) diskriminasi dan domestifikasi. Ini yang marak di tengah masyarakat kita, yakni menempatkan perempuan di kelas kedua terutama di daerah-daerah,” jelas Ahmad Nurcholish.
Ia kemudian menceritakan riwayat pergerakan feminisme selama hidup Gus Dur. Menurutnya, saat masih hidup, Gus Dur banyak memengaruhi pemikiran istrinya, Sinta Nuriyah mengenai pergerakan-pergerakan kaum wanita.
“Ketika beliau masih hidup beliau sangat serius mendorong istrinya, Ibu Sinta yang bergerak di isu yang sama, sehingga ibu Sinta terinspirasi,” lanjut pria yang akrab disapa Cak Nur.
Contoh kebesaran hati Gus Dur terhadap kepemimpinan perempuan lainnya adalah ketika ia membela Megawati Soekarnoputri naik menjadi Presiden menggantikannya, meskipun Gus Dur harus rela dilengserkan secara politis.
Saat itu, banyak rakyat yang meragukan kapasitas Megawatasi menjadi Presiden hanya karena Megawati seorang perempuan. Namun, Gus Dur percaya bahwa perempuan tak hanya setara dengan laki-laki, namun juga mampu menjadi seorang pemimpin.
“Ketika banyak yang kontra, justru Gus Dur lah yang pertama membela megawati, dia kesampingan dulu perasaan tidak enak politiknya,” pungkasnya.
Penulis: Arif Sanjaya
Editor: Amatul Noor