Mengenal Filsafat Islam, Tokoh dan Pemikirannya (Bagian II)

Religipedia138 Views

Oleh Ahmad Nurcholish

Pengertian Filsafat Islam

Ada sejumlah pengertian yang dinisbatkan pada filsafat Islam. Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar (2012: 15) misalnya, menjelaskan bahwa filsafat Islam adalah perkembangan pemikiran umat Islam dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia dan alam semesta yang disinari ajaran Islam. Ada sejumlah definisi pula yang dirangkum oleh para penulis Muslim, di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Ibrahim Madkur, filsafat Islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat.
  2. Ahmad Fu’at Al-Ahwaniy, filsafat Islam adalah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.
  3. Muhammad ‘Athif Al-‘Iraqy, filsafat Islam secara umum di dalamnya tercakup di dalamnya ilmu kalam, ilmu ushul fiqih, ilmu tasawuf, da ilmu pengetahuan lainnya yang diciptakan oleh intelektual Islam. Pengertiannya secara khusus, ialah pokok-pokok atau dasar-dasar pemikiran filosofis yang dikemukakan para filosof Muslim.

Sebagai sebuat ilmu, filsafat Islam juga memiliki karakteristik sendiri yang berbeda dengan filsafat umum lainnya, misalnya filsafat Yunani. Secara sederhana karakteristik filsafat Islam dapat dirangkum menjadi tiga.

  1. Filsafat Islam membahas masalah yang sudah pernah dibahas dalam filsafat Yunani dan lainnya, seperti ketuhanan, alam, dan roh. Akan tetapi, selain cara penyelesaian dalam filsafat Islam berbeda dengan filsafat lain, para filosof Muslim juga mengembangkan dan menambahkan ke dalamnya hasl-hasil pemikiran mereka sendiri. Sebagaimana bidang lainnya (teknik), dilsafat sebagai induk ilmu pengetahuan diperdalam dan disempurnakan oleh generasi yang datang sesudahnya.
  2. Filsafat Islam membahas masalah yang belum pernah dibahas oleh filsafat sebelumnya seperti filsafat kenabian (al-nazhariyyat al-nubuwwat).
  3. Dalam filsafat Islam terdapat pemaduan antara agama dan filsafat, antara akidah dan hikmah, antara wahyu dan akal. Bentuk ini banyak terlihat dalam pemikiran filosof Muslim, seperti al-Madinat al-Fadhilat (Negara Utama) dalam filsafat Al-Farabi: bahwa yang menjadi kepala Negara adalah nabi atau filosof. Begitu pula pendapat Al-Farabi pada Nadhariyyat al-Nubuwwat (filsafat kenabian): bahwa nabi dan filosof sama-sama menerima kebenaran dari sumber agama, yakni Akal Aktif (Akal X) yang juga disebut Malaikat Jibril. Akan tetapi, berbeda dari segi teknik, filosof melalui Akal Perolehan (mustafad) dengan latihan-latihan, sedangkan nabi dengan akal had yang memiliki daya yang kuat (al-qudsiyyat) jauh kekuatannya melebihi Akal Perolehan filosof. (Ibid., 14).

Dengan demikian jelaslah bahwa filsafat Islam merupakan hasil pemikiran umat Islam secara keseluruhan. Pemikiran umat Islam ini merupakan buah dari dorongan ajaran Al-Qur’an dan hadits. Kedudukan akal yang tinggi dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut bertemu dengan peranan akal yang besar dan ilmu pengetahuan yang berkembang maju dalam peradaban umat lain, terutama peradaban Yunani, Persia, dan India. Dengan kata lain, umat Islam merupakan pewaris tradisi peradaban ketiga bangsa tersebut, yang sebelumnya telah mewarisi pula peradaban bangsa sekitarnya seperti Babilonia, Mesir, Ibrani, dan lainnya. (Nurcholish Madjid, 1991: 16).

Baca Juga: Mengenal Filsafat Islam, Tokoh dan Pemikirannya

Tokoh dan Pemikiran

  • Al-Kindi (801 – 865M)

Nama lengkapnya adalah Abdul Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Ash-Shabah bin ‘Imran bin Isma’il bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qeis al-Kindi. Ia berasal dari Kabilah Kindah, termasuk kabilah terpandang di kalangan masyarakat Arab da bermukim di daerah Yaman dan Hijaz. (Ahmad Fuad Al-Ahmawi, 2008: 64). Ia lahir di Kuffah tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, Al-Asy’as ibnu Qais, adalah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang gugur sebagai syuhada bersama Sa’ad ibnu Abi Waqqas dalam poeperangan antara kaum Muslimin dengan Persia di Irak. Ayahnya, Ishaq ibnu Al-Shabbah, adalah Gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (775-785) dan Al-Rasyid (786-809 M). (Zar, 38)

Al-Kindi mempelajari berbagai cabang ilmu keagamaan seperti hukum syariat dalam ilmu Kalam. Ia turut menyumbangkan pemikirannya secara efektif dalam memasukkan filsafat dalam khazanah pengetahuan Islam. Ia menerjemahkan beberapa buku filsafat Suryani yang dikuasainya dengan baik dan meperbaiki penerjemahan buku-buku lain, seperti Theologia (Ar-Rububiyyah atau ketuhanan) yang diterjemahkan oleh Ibn Na’imah al-Himshi. (Ahmawi, 65)

Ia merupakan orang pertama yang merintis jalan menyesuaiakan filsafat Yunani dengan prinsp-prinsip ajaran Islam sehingga lahirlah filsafat Islam. Ia juga telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis terhadap Al-Qur’an, sehingga menghasilkan persesuaian antara wahyu dan akal dan antara filsafat dan agama. Lebih lanjut ia kemukakan bahwa pemaduan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alas an: (1) Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat; (2) Wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian; dan (3) Menurut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama. (Zar, 47)

Jika kita petakan, pada garis berasnya pemikiran filsafat Al-Kindi, ada tiga pokok utama, yakni: Filsafat Ketuhanan, Alam, Filsafat Jiwa.

Tentang ketuhanan, al-Kindi membahasnya antara lain dalam Fi al-Falsafat al-Ula dan Fi Wahdaniyyat Allah wa Tanahi Jirm al’Alam. Dari uraian-uraian yang tertuang dalam tulisan-tulisan tersebut dapat kita simak bahwa pandangan Al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran Islam dan bertentangan dengan pendapat Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada. Ia mustahil tidak ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. Wujud-Nya tidak berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya. Ia adalah Maha Esa yang idak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam berbagai aspek.

Menurut Al-Kindi, benda-benda yang ada di alam ini, mempunyai dua hakikat: hakikat sebagai juz’i (al-haqiqat juz’iyyat) yang disebut ‘aniah dan hakikat sebagai kulli (alhaqiqat kulliyat), dan ini disebut mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus (jins) dan species (nau’). (Nasution, 9)

Tentang alam, dalam risalahnya yang berjudul al-Ibaat ‘an al’illat al-Fa’ilat al-Qaribat fi kawn wa al-Fasad, pendapat Al-Kindi sejalan dengan Aristoteles bahwa benda di alam ini dapat dikatakan wujud yang actual apabila terhimbun empat ‘illat, yakni:

  1. al’Ushuriyyat (materi benda);
  2. al-Shuriyyat (bentuk benda);
  3. al-Fa’ilat (pembuat benda, agent);
  4. al-Tamamiyyat (manfaat benda). (Zar, 54-55)

Selanjutnya, Al-Kindi membagi ‘illat al-Fa’ilat menjadi qaribat (dekat) dan ba’idat (jauh). ‘Illat yang dekat ada yang bertalian dengan alam dan ada pula yang bertalian dengan Allah. Sedangkan ‘illat yang jauh hanya bertalian dengan Allah. Jika dicontohkan dengan sebatang kapur tulis, pabrik yang memproduksi kapur disebut ‘illat yang dekat dan manusia yang menciptakan pabrik disebut ‘illat yang jauh berasal dari alam (ba’idat thabi’iy). Namun, pada hakikatnya yang menciptakan pencipta pabrik (manusia) tersebut adalah ‘illat ba’idat Ilahiy (sebab yang jauh dari Tuhan), yakni Allah. (Ibid.)

Sementara tentang jiwa, Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa manusa sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi ialah badan dan bentuk ialah jiwa manusia. Hubungan jiwa dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi. Pendapat Al-Kindi tentang jiwa lebih dekat pada pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah accident, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa, Namun, ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea.

Al-Kindi, dalam tulisannya, sebagaimana dinukil Harun Nasution (1983: 9), menjelaskan bahwa jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu (al-quwwat al-syahwaniyyah) yang terdapat di perut, daya marah (al-quwwat al-ghadabiyyat) yang berada di dada, dan daya pikir (al-quwwat al-‘aqliyyat) yang berpusat di kepala. Bersambung.. [ ]

 

Ahmad Nurcholish, pengajar Religious Studies, deputi direktur ICRP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *