Kabar Damai | Senin, 06 April 2022
NTT I Kabardamai.id I Video Jurnal Perempuan berbincang dengan Aleta Baun, pejuang lingkungan perempuan dari NTT yang pada tahun 2013 lalu mendapatkan penghargaan Goldman Environment Prize dan Yap Thiam Hien Award pada 2016.
Dalam pemaparannya, ia mengungkapkan keterkaitan perempuan dengan adat dan juga alam. Menurutnya, perempuan hidup tidak jauh dari kekayaan alam, perempuan yang mengurus pangan, air bersih, hingga kayu api sehingga kehidupan perempuan yang ada di kampung langsung bersentuhan dengan kekayaan alam.
“Ketika alam tidak ada, perempuan mengalami kehilangan aktivitas karena perempuan yang mengatur konsumsi dalam keluarga,” ungkapnya.
Lebih jauh, perihal pergerakannya pada isu lingkungan ia menjelaskan bahwa gunung batu Nausus dan Anjaf adalah gunung batu yang menampung sumber mata air. Dibawah gunung batu terdapat mata air yang mensuply sampai empat puluh desa yang ada disepanjang aliran sungai dan dibawah aliran sungai tersebut ada hampir lebih dari empat puluh ribu hektar sawah yang dikelola oleh masyarakat.
Gunung batu itu dipertahankan karena memiliki pori-pori. Ketika ada hujan turun dan menetes pada pohon, mengalir dari dahan kayu dan masuk ke celah batu sehingga dibatu tersebut ada tempat untuk menampung air untuk mensuply kepada masyarakat dan makhluk hidup.
Baca Juga: Wujud Toleransi, Warga Katolik Wakafkan Tanah untuk Sekolah Muhammadiyah NTT
Perempuan terlibat dan ambil andil dalam ikut berjuang karena didalam batu tersebut ada tempat untuk menampung sumber mata air, sumber mata air itu tidak pernah kering dan mengalir sepanjang waktu. Ketika batu itu dipotong oleh perusahaan pasti masyarakat akan mengalami kekurangan air.
“Yang akan mengalami kekuarangan air tersebut adalah adalah kaum perempuan, karena perempuan sangat membutuhkan sumber mata air karena perempuan yang mengurus konsumsi, mengurus rumah tangga, anak dan pertanian yang sangat bersentuhan langsung dengan kebutuhan perempuan,” jelasnya.
Saat itu, perempuan merasa akan mengalami kekurangan jika sampai batu tersebut hilang. Itu yang menjadi kekhawatiran kaum perempuan sehingga perempuan ikut berjuang untuk melawan tambang.
Terlebih dalam hidup dikampung, masyarakat membutuhkan lahan yang disana ada sumber mata air, kayu api, sayur-sayuran dan buah. Namun jika sampai ada tambang, tentu itu akan hilang, tanah juga akan hilang apalagi sumber mata air yang juga akan hilang.
Dalam berjuang dalam komunitas adat, gender sempat menjadi halangan dalam komunitas karena perempuan yang maju sebagai pemimpin. Awalnya, ia mengatakan bahwa banyak laki-laki yang tidak menerima kerja-kerjanya untuk memimpin karena anggapan pekerjaan perempuan adalah dirumah sehingga perempuan tidak akan dapat memimpin dalam pergerakan yang ada.
“Tapi bagaimana perempuan harus meyakinkan bahwa perempuan bisa, itu menjadi tantangan yang besar karena awalnya saya tidak diterima oleh tokoh adat, tapi saya menunjukkan bahwa perempuan bisa dan hebat,” terangnya.
Setelah berhasil dalam menutup praktik tambang di desanya, ia mengungkapkan barulah laki-laki dan masyarakat mengakui bahwa perempuan juga hebat dan bisa memimpin.
“Darisana mereka katakana bahwa perempuan tulus dalam kepemimpinan, juga perempuan jujur dalam kepemimpinan,” tambahnya.
Terakhir, ia menyatakan bahwa tulus dan ikhlas serta setia dalam pergerakan harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan bersama.
“Jika kita berani untuk melawan, mendampingi dengan tulus dan setia saya fikir itu adalah hal positif,” pungkasnya.
Penulis: Rio Pratama