Menebar Toleransi, Berdamai dengan Diri Sendiri

Kabar Persma132 Views

Oleh: Anisa Dewi Anggri Aeni

Maraknya konflik kekerasan berbasis agama tidak bisa kita pungkiri, mulai dari prasangka, stigma negatif, fanatisme atau kepentingan-kepentingan yang menggunakan agama sebagai senjata untuk mengalahkan lawan.

Konflik-konflik yang muncul dilatarbelakangi oleh berbagai hal. Mulai dari perbedaan kepentingan, perbedaan interpretasi yang merambat pada perbedaan budaya, geograifs dan perbedaan ideologi.

Mengatasi masalah intoleransi dapat diantisipasi dengan  berbagai perspektif dan yang paling sederhana adalah dimulai dari diri sendiri. Menerima diri dengan mencintai semua-mua kekurangan dan kelebihan sebagai modal awal untuk menyalurkan nilai-nilai perdamaian.

Seseorang akan kesulitan menebar nilai toleransi kala belum berdamai dengan diri sendiri. Bagaimana bisa menyebarkan nilai-nilai perdamaian saat diri sendiri saja belum damai. Untuk bisa mengalami perdamaian dalam diri tentu saja  melalui proses yang bisa dikatakan panjang.

Selain menerima diri, memaafkan segala luka juga menjadi faktor dalam berdamai dengan diri. Tidak merasa hina dan merendahkan orang lain sebab pada dasarnya identitas utama dan yang paling pertama bahwa kita adalah manusia. Sebagai ciptaan Tuhan yang memang harus memuliakan Sang penciptanya.

Mengatasi prasangka, penghakiman yang sering dilakukan lantaran tidak adanya pemahaman yang mendalam menjadi hal yang berbahaya. Di satu sisi jika terus dibiarkan bakal menjalar dan general view akan sesuatu menjadi pemakluman dalam konteks agama misalnya. Saat melihat yang lain berbeda dari kebanyakan.

Prasangka malah dapat dikatakan sebagai sebuah penghakiman. Bila asumsi adalah dasar atau pemikiran yang paling pertama maka prasangka itu sendiri pendapat yang kurang baik sebelum diselidiki. Akibatnya memunculkan berbagai macam stereotip; prasangka yang sudah digeneralisir.

Baca Juga: Membahas Perda Toleransi, Sri Wartati: Agar Kepentingan Publik Terakomodasi dengan Baik

Konsep diri yang erat dengan pandangan terhadap lingkungan dapat diminimalisir dengan mengurangi prasangka. Pun keinginan berkompetisi kerap menimbulkan permusuhan dan penilaian negative terhadap kelompok lain. Juga konformitas; kepatuhan terhadap nilai dalam kelompok yang jelas memunculkan prasangka dan stereotip.

Ada konsepsi negatif yang digambarkan komunitas agama untuk mempergunjingkan komunitas agama sebelah entah melancarkan ujaran kebencian yang kemudian menjadi produksi wacana. Dari berita atau general view wacana itu dibangun, akibatnya jika prasangka tidak segera dikelarkan menghasilkan stereotipe,  penghakiman dalam wujud perkataan atau tindakan.

Allport dan Hunsberg menuturkan ada beberapa indikator perilaku akibat prasangka diantaranya menghindar, anti sosial, tindak kekerasan dan merendahkan yang lain Asa perasaan superioritas dimana ia merasa paling hebat dan memandang yang lain lebih rendah darinya.

Unttuk menghindari prasangkalebih jauh yang berimbas pada konflik maka perlu kiranya untuk mengantisipasi prasangka dengan cara menjlin interaksi dengan pribadi atau kelompok yang diprasangkai, klarifikasi langsung pihak-pihak terkait, menghargai keunikan pribadi suatu kelompok dalam artian perbedaan bukan dijadikan sebagai masalah utama untuk saling menghindar dan melakukan kerja nyata.

Hal sederhana yang metinya bisa dilakuakn bahkan tiap individu untuk menularkan nilai nilai perdamaian. Berdamai dengan diri adalah kunci.  Ketika tidak bisa damai dengan diri, kita tidak bisa berdamai dengan orang lain. Memulai dari diri sendiri untuk kehidupan yang ‘madani’.

 

Anisa Dewi Anggri Aeni , Alumni Lembaga Pers Mahasiswa Suaka sebagai Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *