Kabar Damai | Selasa, 24 Mei 2022
Jakarta I Kabardamai.id I Kanal youtube Berita KBR menuliskan bahwa berbagai bentuk diskriminasi dan pengucilan dialami oleh kelompok minoritas seksual dan gender yang umumnya dikenal dengan LGBT. Dahulu, homoseksual dianggap sebagagi penyakit kejiwaan yang namun WHO pada 17 Mei 1990 menyatakan telah mengeluarkan homoseksual dari kategori penyakit kejiwaan tersebut.
Dalam satu dekade, peristiwa tersebut diperingati sebagai IDAHOBIT (International Day Against Homophobia, Transphobia dan Biphobia) yang menjadi langkah medapatkan perhatian publik guna memperluas kesadaran dan menghapus diskriminasi terhadap LGBT.
Dalam takshow Ruang Publik KBR, Maulidia, Dewan Nasional YIFoS Indonesia, Nurdiansyah dari Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) serta Lenny Sugiharto, Presidium Jaringan Transgender Indonesia memaparkan tentang perayaan IDAHOBIT tersebut.
Perihal IDAHOBIT tahun 2022, Nurdiansyah mengungkapkan tidak ada perayaan spesifik pada tahun ini namun didalam internal SINDIKASI terus melakukan berbagai cara soal keberagaman seksual dan gender dengan membangun ruang-ruang yang inklusif. Terlebih, SINDIKASI adalah serikat pekerja yang berbasis anggota sehingga selalu mendorong dan mengutamakan ruang inklusi tersebut hadir dalam organisasi serta menjalin jejaring untuk sama-sama menguatan solidaritas, termasuk bersama dengan LGBTIQ didalamnya.
Sementara itu, Maulidia dari YIFos menyatakan hal yang sama. Tidak ada perayaan pada IDAHOBIT tahun ini. YIFoS merayakan IDAHOBIT dengan cara mengedukasi dan tetap bekerjasama untuk menghapuskan kebencian terhadap LGBTIQ.
Begitupula dengan Lenny dari Jaringan Transgender Indonesia yang merayakannya dengan renungan bersama dan terus melakukan aksi dan edukasi kepada masyarakat tentang hal-hal yang dianggap tabu tentang LGBT.
Pesan Kunci IDAHOBIT 2022
Ditanya apakah ada pesan kunci dalam IDAHOBIT pada tahun 2022 ini, Dian menyatakan bahwa pesan kuncinya adalah dengan memperkuat solidaritas teruatama kepada teman-teman queer. Selain itu, juga melakukan solidaritas dengan para aktivis lain seperti para pegiat lingkungan, feminis dan lainnya. Selain itu juga memperkuat sistem dukungan diera yang semakin menantang sehingga perlu membangun, memaknai serta mewujudkan apa yang dibayangkan dengan ruang aman serta inklusif.
Begitupula dengan Maulidia, menurutnya sesuai dengan tema IDAHOBIT membuat harusnya pesan kunci tidak hanya menjadi edukasi kepada ally namun juga menguatkan kelompok dari akar rumput untuk mengenali haknya.
“Karena banyak sekali yang berfikir salah dan lupa pada dirinya sendiri dan tidak mengenali dirinya sendiri,” ujarnya.
Baca Juga: Persepsi Anak Muda Terhadap Minoritas Gender Masih Rendah
Beberapa waktu terakhir, fenomena LGBT kerap dianggap sebagai hal yang selalu dipermasalahkan dan dikambinghitamkan. Sebagai contoh dengan adanya youtuber yang harus melakukan takedown video dan melakukan permintaan maaf kepada masyarakat karena melakukan podcast tentang topik LGBT.
Menanggapi hal tersebut, Dian menyatakan bahwa hal tersebut sangat memprihatinkan. Namun tidak harus membuat untuk berkecil hati. Ini tidak terjadi di Indonesia karena dalam ranah global, konservatisme dan fundamentalisme terus menguat.
Ia juga menghubungkan hal ini dengan situasi di Indonesia khususnya siklus pemilu yang dianggap mahal dan juga populis, didalam praktiknya banyak pejabat pemerintahan yang melaukan ujaran kebencian terhadap kelompok LGBT untuk menggalang dukungan. Hal ini dapat dilihat sebagai isu atau istilah LGBT dikambinghitamkan.
“Hal ini tidak saja mengorbankan kita tapi juga Indonesia yang penuh akan kultur keberagaman yang plural juga dinodai. Karena keberagaman tidak hanya suku dan ras tapi juga berbicara tentang seksualitas didalamnya,” jelasnya.
Persepsi Keliru Terhadap LGBT
Phobia terhadap LGBT terjadi secara global tidak hanya di Indonesia, menanggapinya Lidia menuturkan bahwa LGBT dimata masyarakat, negara dan pemuka agama sebagai kelompok yang menularkan penyakit, pedofil, predator dan kemudian menularkan orientasi seksual yang menyimpang.
Padahal, justru hal tersebut dibangun oleh media, pemuka agama hingga pejabat negara. Banyak sekali jurnalis yang masih homophobia dan kemudian membuat berita tidak sesuai dengan fakta seperti menggunakan padanan kata yang merugikan LGBT.
“Yang harus diluruskan bahwa LGBT tidak sadis, tidak menularkan penyakit,” tegasnya.
Perihal homophobia ini pula, Lenny menanggapi bahwa isu LGBT di Indonesia saat ini secara kondisi naik dan turun situasinya, tergantung daripada petinggi atau media. Padahal, sebagai pelaku dari kelompok minoritas pada dasarnya merasakan hal yang biasa saja.
“Persekusi dan lain sebagainya biasanya memang ada, namun saat melapor kasusnya putus ditengah jalan,” tuturnya.
Lidia kembali menimpali, dari diskriminasi terhadap LBGT, framing media dan tokoh sangat besar pengaruhnya. Hal ini karena media, tokoh agama hingga pejabat kerap dijadikan role model dan dipercayai oleh banyak orang yang ada sehingga bias terjadi.
YIFoS dalam riset dan FGD, kata Lidia, seratus persen yang terlibat dalam penelitian menyatakan bahwa ada diskriminasi diruang keagamaan, ceramah keagaam memang dilakukan ditempat ibadah, sayangnya jika berbicara tentang LGBT maka narasinya akan diskriminatif seperti LGBT dibenci Tuhan, LGBT pengaruh zaman, sesuatu yang menular dan harus disembuhkan dan lain sebagainya. Sehingga ceramah yang ada menjadi suatu sumber kekerasan terhadap kelompok LGBT.
Dalam rangka mencegah kekerasan dan diskriminasi, Lenny dan JTI menyatakan melakukan advokasi guna meningkatkan dan memberikan pemahaman kepada lebih banyak orang, serta mengkaji kebijakan-kebijakan yang ada dimana didalamnya merugikan.
Dalam rangka menumbuhkan kepedulian terhadap kelompok minoritas, menurut Lidia penting adanya perjumpaan. Hal ini dapat dijadikan sebagai sarana mengenal dan peduli, terlebih dalam masyarakat banyak yang hanya mendengar tanpa mengenal sehingga membuatnya berprasangka.
“Ketika sudah melakukan perjumpaan, stigma diharapkan dapat terpental,” ucap Lidia.
Penulis: Rio Pratama