Ust. Agus Khudlori, Lc.
Tahun 2022 mrupakan tahun diharapkan sebagai awal resolusi diri, bangsa dan negara ke arah yang lebih baik dalam segala hal di tengah Era Kenormalan Baru atau New Normal.
Era New Normal menuntut kita untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru sebagai gaya hidup yang melekat dalam kehidupan sehari-hari.
Kita mulai terbiasa dengan kegiatan-kegiatan virtual dalam banyak hal, padahal itu merupakan salah satu nilai Islam yang sangat tinggi dan menjadi sunnah serta kebiasaan Nabi Muhammad Saw., para sahabat, dan orang-orang saleh.
Namun ironisnya, akhlak mulia ini mulai terkikis dari diri umat Muslim, seolah-olah sifat ini merupakan hal yang baru. Akhlak dan sifat yang dimaksud adalah altruisme atau yang dalam Islam disebut îtsâr.
Apa itu altruisme atau îtsâr? Altruisme atau îtsâr adalah suatu konsep perilaku sosial yang mengutamakan kebutuhan orang lain daripada kebutuhan diri sendiri dalam urusan duniawi.
Sifat mulia yang satu ini mungkin agak sulit kita temukan di masa kini. Padahal îtsâr adalah salah satu akhlak yang paling utama. Bahkan, îtsâr berada pada tingkatan tertinggi dalam implementasi hubungan kemanusiaan. Hal ini sangat wajar jika kita merujuk pada salah satu hadits Nabi,
“Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman sampai ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri,” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Mengapa kemudian altruisme atau îtsâr itu merupakan akhlak mulai dan bernilai tinggi di mata Allah? Karena ia tidak bisa dilakukan kecuali dengan keyakinan dan keimanan yang kuat, serta kesabaran atas kesusahan yang menimpa.
Sebagian manusia akan ada yang menganggap bahwa naluri manusia adalah mendahulukan kepentingannya sendiri dibanding kepentingan orang lain dan agak sulit dibayangkan ada seseorang yang mau mendahulukan kepentingan orang lain dibanding kepentingannya sendiri.
Baca Juga: Tahun Baru, Semangat Baru Melawan Intoleransi
Namun sungguh banyak implementasi itsar ini bisa kita temukan pada generasi sahabat Nabi yang merupakan generasi terbaik umat ini.
Para sahabat adalah contoh terbaik dalam bersikap îtsâr. Mereka adalah generasi unggulan yang pantas mendapat julukan sebaik-baik generasi, sehingga Allah Swt. benar-benar memuji sifat mereka yang sangat jarang kita temukan pada zaman kita sekarang ini. Allah Swt. memuji mereka di dalam al-Qur`an, mulai pendidikan, rapat, hingga ibadah seperti shalat Jumʼat yang kita laksanakan pada hari ini. Kita mulai terbiasa menggunakan uang elektronik, hidup bersih dengan 3 M, tidak berkerumun, dan lain-lain.
Namun demikian, betapa pun adaptasi-adaptasi itu terjadi, ada satu hal yang tidak boleh berubah di era kenormalan baru ini. Yaitu kepedulian, empati dan kesetiakawanan sosial terhadap sesama yang membutuhkan.
Di zaman modern seperti sekarang ini, di mana orang lebih mementingkan kehidupan dunia yang fana daripada kehidupan akhirat yang kekal dan abadi, ada satu akhlak sangat mulia yang mulai kita tinggalkan dan sangat jarang kita temui,
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (kaum Anshar) sebelum [kedatangan] mereka (kaum Muhajirin), mereka (kaum Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (kaum Muhajirin). Dan mereka (kaum Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (kaum Muhajirin); dan mereka mengutamakan [orang-orang Muhajirin] atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung,” [QS. al-Hasyr: 9].
Ada satu kisah paling menyentuh dari banyak kisah sahabat yang pernah diriwayatkan tentang altruisme atau îtsâr ini. Yaitu kisah tiga orang sahabat Nabi di akhir Perang Yarmuk. Dalam perang tersebut, ada tiga sahabat beliau yang terkapar dalam kondisi kritis, penuh luka dan darah. Mereka adalah al-Harits ibn Hisyam, Ikrimah ibn Abu Jahal, dan Suhail ibn Amr (dalam riwayat lain disebutkan bahwa yang ketiga bukanlah Suhail ibn Amr namun Ayyasy ibn Abi Rabiʼah).
Dengan tubuh terbujur kaku dan luka yang tak mampu lagi ditahan, Ikrimah meminta seteguk air. Dibawakanlah untuknya air minum. Namun ia melihat al-Harits yang juga terbujur lemah tak berdaya. Ia pun berkata, “Berikan air itu pada al-Harits dulu.”
Maka dibawalah air itu pada al-Harits. Namun al-Harits melihat Suhail menoleh padanya. Ia melihat Suhail sedang dalam kondisi kritis seperti dirinya atau bahkan mungkin lebih parah lagi. Al-Harits pun meminta agar Suhail lebih dahulu meneguk air segar itu. “Berikan air itu untuknya saja,” kata al-Harits.
Air itu pun dibawa pada Suhail. Namun sebelum meneguknya, Suhail sudah menemui ajal. Maka si pembawa minum itu pun kembali menuju Ikrimah dan al-Harits agar keduanya dapat meminum air. Namun terlambat, keduanya pun sudah wafat sebelum sempat meminum air tersebut meski setetes.
Betapa mulianya akhlak para sahabat Nabi. Di saat sakaratul maut pun, mereka masih mengutamakan saudara seiman daripada diri sendiri. Semoga Allah memberikan ketiganya nikmat telaga al-Kautsar di surga kelak. Dengannya, mereka tak akan lagi merasa haus selama-lamanya.
Dalam kisah yang lain sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah, suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Nabi dan berkata, “Sesungguhnya aku dalam keadaan sangat lelah dan lapar.”
Maka Nabi menanyakan kepada salah satu istrinya apakah ada makanan di rumahnya. Namun istrinya menjawab, “Demi Zat Yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air.”
Kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya tidak berbeda. Kemudian Nabi bertanya kepada para sahabat, “Siapakah yang akan menjamu tamu ini, semoga Allah merahmatinya.”
Maka berdirilah salah seorang dari kaum Anshar, yaitu Abu Thalhah seraya berkata, “Saya wahai Rasulullah.” Ia pun membawa tamu tadi menuju rumahnya kemudian ia bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim), “Apakah kamu memiliki makanan?” Istrinya menjawab, “Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak kita.”
Abu Thalhah berkata, “Berikanlah minuman kepada anak-anak kita dan tidurkanlah mereka. Nanti apabila tamuku masuk, maka matikan pelita lalu berikan makanan tersebut untuknya dan perlihatkan seolah-olah kita ikut makan.” Si tamu makan hidangan tersebut, sementara kedua suami-istri tersebut bermalam dalam keadaan tidak makan.
Keesokan harinya keduanya datang kepada Nabi, lalu Nabi bersabda, “Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian tadi malam,” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Abu Thalhah tidak kuasa menahan rasa gembiranya, maka ia segera memberikan kabar gembira tersebut kepada istrinya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka di dalam al-Qur`an yang senantiasa mereka baca,
“Dan mereka mengutamakan [orang-orang Muhajirin] atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan,” [QS. al-Hasyr: 9].
Itulah sedikit kisah dari para sahabat Nabi Saw. dalam mengimplementasikan nilai altruisme dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang pernah langsung menatap wajah Nabi, hidup bersama beliau, dan beriman kepada beliau serta dididik langsung oleh beliau begitu mudahnya menerapkan nilai altruisme dalam kehidupan mereka.
Semoga kita juga bisa melakukan apa yang telah dicontohkan oleh mereka dalam kehiduan sehari dan menunjukkan pada dunia bahwa Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, terutama di era New Normal dan tahun baru seperti sekarang ini.
Sebagaimana sama-sama kita rasakan bahwa musibah pandemi Covid-19 sangat berdampak bukan saja pada masalah kesehatan, melainkan juga masalah ekonomi, pendidikan, masalah agama, dan bahkan juga lifestyle. Oleh karena itu, marilah kita menanam benih kebajikan dengan membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan.
Bantulah mereka yang tak bisa makan, meskipun kita sendiri kekurangan. Bantulah mereka yang tak bisa membayar biaya pendidikan meskipun kita sendiri membutuhkan. Bantulah mereka yang tak punya pekerjaan, meskipun kita sendiri butuh penghasilan.
Yang menjadi kepala keluarga, hidupilah keluargamu meskipun hasil keringat sendiri belum sempat kau nikmati. Yang menjadi pemimpin, dahulukanlah kepentingan rakyat atau warga di atas kepentingan pribadi dan keluarga.
Disampaikan dalam Khutbah Salat Jumat Virtual Pubic Virtue, 31 Desember 2021