Membayangkan Islam Masa Depan

Oleh Budhy Munawar Rahman

Judul buku : Imajinasi Islam, Sebuah Rekonstruksi Islam Masa Depan

Penulis : Komaruddin Hidayat

Penerbit : Jakarta: Alvabet, 2021

Islam merupakan agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah SWT melalui utusan-Nya, Muhammad saw., yang ajaran-ajarannya terdapat dalam kitab suci al-Quran dan sunah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia.

Al-Quran turun dari Allah menjumpai Muhammad kemudian menyatu dan menginternalisasi dalam dirinya sedemikian solid, kukuh, yang pada urutannya melahirkan tradisi kenabian (sunnah) yang sangat berpengaruh pada jalannya sejarah umat Islam dan peradaban manusia. Muhammad menjadi aktor sejarah yang tak tertandingi kebesaran pengaruhnya. Muhammad yang terlahir dan tumbuh di wilayah padang pasir telah menyumbangkan model gerakan praksis dan pemikiran ketuhanan serta kemanusiaan yang terus berpijar menginspirasi dan menerangi zaman.

Ada dua periode yang dilalui Nabi, periode Makkah yaitu sejak turunnya wahyu pertama sampai dengan hijrah atau berpindahnya beliau bersama para pengikutnya ke Madinah, dan periode Madinah, yaitu sejak peristiwa hijrah sampai dengan wafatnya Nabi.

Pada periode Makkah Nabi menyampaikan misi kenabian memperkenalkan ajaran Islam yang mengajarkan ajaran tauhid. Dan pada periode Madinah, dimulailah sebuah babak baru dalam catatan sejarah Islam. Babak di mana Islam mempunyai cikal-bakal dalam kehidupan politik. Nabi Muhammad bukan hanya sebagai pemimpin agama, tetapi beliau juga mempunyai kekuasaan politik, di mana penduduk Madinah menjadi Rakyatnya.

Sisi menarik dari sistem politik yang dibangun oleh Nabi adalah bahwa dalam Negara madinah itu dibangun dengan kondisi sosial penduduknya heterogen. Etnis Arab dengan beraneka suku, dan juga berbagai jenis keyakinan, Yahudi dengan beberapa sektenya, Nasrani serta masyarakat suku paganism yang belum mempunyai agama, serta Islam sendiri. Keanekaragaman ini dapat dipersatukan dalam suatu sitem politik yang dibangun oleh Nabi.

Nabi Muhammad juga menjalin hubungan persahabatan antara umat Islam dengan penduduk non muslim. Hubungan persahabatan ini dituangkan dalam sebuah piagam yang isinya memberikan jaminan kemerdekaan beragama kepada umat Yahudi. Setiap warga Negara memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan.

Seluruh warga Negara mempunyai kewajiban yang sama untuk membela keamanan negeri dari serangan luar. Dalam bidang sosial Nabi juga meletakkan dasar persamaan antar sesama manusia. Perjanjian ini dalam pandangan ketata negaraan sekarang disebut dengan konstitusi Madinah.

 

Refleksi Subyektif Sang Penulis

Namun demikian, dalam pandangan Prof. Dr. Komarudin Hidayat, secara historis perkembangan dan gerakan keislaman pasca kejayaannya hingga abad 12, tidak berjalan menggembirakan. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya buku, “Imajinasi Islam”. Buku “Imajinasi Islam” yang ditulis oleh Prof. Komar ini—sebagaimana diakuinya—bukan hasil riset ilmiah yang sistematis, melainkan lebih merupakan refleksi subjektif penulisnya, menandai usianya ke-68 tahun, 18 Oktober 2021.

Dalam pandangan Komar, dunia Islam-Arab yang pernah berjaya sampai abad ke-12 menurun lalu beralih ke tangan imperium Usmani dan berakhir dengan meletusnya Perang Dunia I. Sejak itu dunia Islam jauh tertinggal dari Eropa dalam membangun peradaban yang pernah jadi kebanggaannya, misalnya keunggulan ilmu pengetahuan, ekonomi, dan militer. Islam yang selalu dipuji dan diyakini jadi solusi kemanusiaan, dalam pandangan Komar, justru dunia Islam saat ini belum mampu menyelesaikan problemnya sendiri.

Hal ini bertentangan dari imajinasi Komar tentang misi keislaman yang dibawa dan dipesankan Nabi Muhammad sebagai penebar cahaya dan energi peradaban bagi semesta. Dunia Islam sekarang terpecah ke dalam lorong-lorong sempit yang dipagari tembok sukuisme, dinastiisme, partaiisme, dan mazhabisme. Islam sebagai ajaran tekstual-normatif memang selalu berjarak, bahkan kadang kontradiktif, dengan Islam historis sehingga muncul istilah: Islam adalah satu, sekaligus juga beragam. Kita perlu bertanya pada diri sendiri, apakah imajinasi Islam yang kita pikirkan untuk hari ini dan esok?

Baca Juga: Islam dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia

Dalam pandangan Komar, kemunculan dan perkembangan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang bermula dari Mekkah dan Madinah merupakan keajaiban sejarah. Hanya dalam waktu dua dekade lanskap narasi masyarakat jahiliah Arab berubah secara revolusioner.

Mekkah dan Madinah menjadi sumber mata air peradaban dunia, mirip sumur zamzam yang tak pernah kering dikonsumsi oleh jutaan manusia yang datang dari berbagai penjuru dunia. Ajaran dan pemeluknya terus tumbuh berkembang sampai hari ini, menembus batas benua, tidak saja terkonsentrasi di wilayah Arab. Bahkan muncul pusat-pusat kajian dan peradaban Islam di luar wilayah Arabi, menggantikan peran Baitul Hikmah yang didirikan Khalifah al-Makmun pada Abad Pertengahan.

Komar melalui buku ini mengajak kita untuk melakukan refleksi dengan belajar dari perkembangan mikroba dan makhluk kecil bernama kecoak. Sebelum manusia hadir di muka bumi ini, mikroba sudah hidup sejak 3,5 miliar tahun lalu, sementara kecoak telah berusia 350 juta tahun. Mikroorganisme, baik virus maupun bakteri, sudah ada jauh sebelum manusia hadir dan tetap bertahan berkat perjuangan dan kemampuannya beradaptasi dengan situasi baru. Survival of the fittest. Virus itu bagaikan parasit yang hidupnya selalu mencari inang untuk berkembang.

Sedangkan bakteri lebih mandiri sebagai makhluk bernyawa. Sebagian besar bakteri memberi manfaat bagi hidup manusia. Sebagian kecil negatif, dan sebagian lagi oportunis mencari peluang yang menguntungkan untuk bisa bertahan hidup. Sesama bakteri rupanya juga saling memangsa.

Demikianlah, manusia juga terikat dengan hukum alam. Manusia dituntut mampu beradaptasi dengan situasi baru yang selalu berubah jika ingin bertahan hidup. Namun, yang sangat distingtif pada manusia bukan saja kemampuannya bertahan dan beradaptasi dalam berbagai situasi dan perubahan iklim serta kondisi alamnya sehingga jumlah populasinya terus berkembang, melainkan manusia memiliki akal budi. Dengan akal budinya manusia memproduksi berbagai idea, gagasan dan pemikiran dari zaman ke zaman secara berkesinambungan.

 

Umat Islam Semakin Kritis

Demikian pula halnya dengan ajaran Islam yang terekam dalam al-Quran dan terpateri ke dalam sunnah Nabi, keduanya berkembang terus dan melahirkan varian-varian baru. Konsep Shahab Ahmed tentang hermeneutical engagement menjelaskan dinamika penafsiran atas penafsiran teks wahyu yang terus berkembang sehingga dunia Islam memiliki wajah dan karakter yang sangat kaya dan beragam sesuai dengan konteks sosial-historisnya.

Umat Islam hari ini semakin kritis dan sadar terhadap sisi gelap sejarah Islam pasca Rasulullah. Kita yang hidup hari ini mesti berterima kasih pada warisan Islam berupa ajaran luhur Muhammad serta berbagai inovasi dan kreasi para sahabat juga ulama-ilmuwan masa lalu, termasuk pelajaran mahal dari konflik antar sesama penguasa Islam. Dengan menerima semua warisan itu apa adanya disertai sikap kritis dan komitmen untuk meneruskan warisan yang baik, kita melangkah untuk menemukan kembali imajinasi Islam yang agung dan universal.

Ratusan buku telah ditulis para ahli, baik dari kalangan sarjana muslim maupun non-muslim, untuk mencari jawaban mengapa peradaban Islam tertinggal padahal pernah berjaya jadi matahari peradaban dunia antara abad 8-12 Masehi. Berbagai disiplin ilmu sejak dari politik, sejarah, antropologi, ekonomi, ekologi, teologi, hingga filsafat dan lainnya ikut mengkaji masalah itu.

Menurut Ahmet T. Kuru dan Mustofa Akyol, sebagaimana dikutip oleh Komar, salah satu sebab yang membuat dunia Islam tertinggal dalam membangun peradaban, termasuk sains, ekonomi dan politik, adalah terjadi krisis politik berkepanjangan yang menghancurkan prestasi peradaban yang dibangun berabad-abad. Terjadi perebutan kekuasaan dengan menjadikan agama dan ulama sebagai sumber legitimasi kekuasaan. Akibatnya, dunia Islam tidak memiliki pusat riset dan pengembangan keilmuan kelas dunia yang independen.

Secara ekonomi dan politik, para ulama berada di bawah kontrol kekuasaan. Situasi ini diperburuk oleh tiadanya kelas bojuasi yang juga independen.Tanpa ulama dan kelas pedagang yang kuat dan berdiri di luar kekuasaan negara, ketika penguasa jatuh maka masyarakat ikut jatuh. Situasi ini sangat berbeda dari peran agama Protestan di Eropa ketika memasuki era modern. Negara-negara Protestan justru memberikan kontribusi bagi munculnya peradaban.

Mereka mendorong lahirnya kapitalisme awal dan munculnya berbagai lembaga keilmuan serta universitas kelas dunia di luar campur tangan negara. Sementara dunia Islam memasuki abad modern hanya menjadi konsumen.

 

Akhlak, Cinta, dan Ilmu Pengetahuan

Di sisi lain, Komar melihat bahwa ketertinggalan dunia Islam memiliki akar penyebab internal dan eksternal. Namun, penyebab eksternal posisinya sekunder, mengingat dunia Islam mewarisi peradaban yang sangat kaya dan pernah unggul di masa lalu. Beragama yang berkutat pada maqom fikih dan akidah (kalam), terlebih lagi masuk intervensi politik, pasti akan memunculkan pertengkaran terus-menerus. Bahkan, dalam sejarah pernah saling bunuh.

Perbedaan tafsir atas ayat-ayat al-Quran dan sunnah Nabi sangat beragam sehingga melahirkan banyak mazhab dalam Islam. Mestinya yang lebih ditekankan adalah akhlak, cinta, dan ilmu pengetahuan. Bukankah ketiganya sangat ditekankan dalam al-Quran?

Dan, yang tak kalah krusialnya adalah posisi dan sikap negara terhadap agama sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan sebuah agama dan para pemeluknya. Dalam masyarakat Kristiani di Eropa, setelah melalui pengalaman dan pergulatan panjang akhirnya kekuasaan negara dan agama dipisahkan.

Ide dan pengalaman ini lalu diterapkan di Amerika Serikat, mengingat banyak imigran intelektual Eropa yang hijrah ke Amerika karena menginginkan sebuah dunia baru yang bebas dari tekanan kekuasaan negara dan agama. Agama menjadi urusan pribadi, negara tidak boleh mencampuri. Namun, tidak berarti para politisi dan pejabat negara AS lalu menjadi sekuler, tidak beragama atau antiagama.

Sekularisasi yang terjadi di dunia Barat tidak lepas dari persepsi dan pemahaman mereka terhadap sosok Yesus sebagai pembawa ajaran Kristiani. Ingatan kolektif masyarakat Kristiani dan masyarakat Muslim tentang Yesus dan Muhammad sangat berbeda. Yesus mengakhiri kariernya di tiang salib.

Secara teologis itu diyakini sebagai pertolongan dan kemenangan Tuhan mengalahkan kekuatan dosa-dosa manusia. Yesus berkurban atau dikurbankan demi keselamatan manusia. Namun secara politis-historis itu menunjukkan kekalahan di hadapan musuh-musuhnya.

Penggalan kisah ini sangat berbeda dari Muhammad yang di akhir hayatnya meraih kemenangan secara politis. Mekkah dan Madinah di bawah kendalinya. Meminjam istilah Montgomery Watt, Muhammad adalah prophet and statesman. Muhammad menyebarkan ajaran ketuhanan dan sekaligus juga mewariskan komunitas politik (political community). Bibel mengajarkan pemisahan antara kekuasaan raja dan pendeta, sedangkan al-Quran tidak membuat pemisahan.

Muncul beragam penafsiran di kalangan intelektual muslim, apakah kehidupan dan karier Muhammad dalam aspek sosial-politik itu sebuah doktrin final yang mesti ditiru dan ditaati sebagaimana adanya sebagai sikap keagamaan, ataukah sesungguhnya merupakan peristiwa sejarah yang kontekstual dan kondisional? Artinya, hubungan agama dan negara adalah wilayah ijtihadi yang berkaitan dengan sejarah, bukan sebuah doktrin baku.

Dengan demikian, Muhammad sebagai Rasulullah posisinya tak tergantikan, tetapi sebagai aktor politik posisinya merupakan wilayah terbuka untuk ditafsirkan ulang sesuai tuntutan zaman. Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa dalam Islam tak ada formula baku tentang sistem pemerintahan, apakah berupa kesultanan, kekhalifahan, atau republik.

 

Karakter Khusus Bercorak Indonesia

Hanya saja, mengingat ideologi nasionalisme dan republikanisme dengan sistem demokrasi merupakan fenomena modern, sekian belas abad lamanya dunia Islam menganut sistem kesultanan (dinastiisme). Baru memasuki abad ke-20 beberapa negara menerapkan demokrasi, namun pengaruh tradisi lama yang memberikan peran besar pada ulama dan militer masih kuat sehingga kecenderungan otoritarianisme masih kuat karena tidak memiliki basis kelas menengah sipil independen.

Mungkin hanya Indonesia yang pembentukan negaranya diperjuangkan dan dikawal dari bawah oleh kekuatan masyarakat. Gerakan sosial ini pada urutannya memberikan fondasi kultural-historis bagi sistem demokrasi di Indonesia setelah merdeka. Gerakan sosial yang dimotori Muhammadiyah (1912) dan NU (1926) merupakan contoh nyata dari organisasi Islam yang konsisten membela sistem demokrasi di Indonesia.

Di zaman modern, Indonesia yang letaknya jauh dari Arab, akses ke dunia luar semakin terbuka, sehingga membentuk konfigurasi budaya Nusantara semakin plural. Islam dan budaya Arab, Tiongkok, India, semuanya tumbuh berkembang memperkaya budaya nusantara.

Oleh karenanya, ketika Islam masuk dan dipeluk masyarakat Nusantara, ekspresi dan artikulasi keberagamaannya melahirkan karakter khusus bercorak Indonesia.  Umat Islam Indonesia secara demografis paling dominan serta memiliki aset berlimpah yang tidak dimiliki umat agama lain. Dengan melihat itu semua, umat Islam memiliki peluang dan panggilan paling besar dalam berkontribusi memajukan bangsa dan negara ini. Sebaliknya, jika bangsa ini tidak maju, secara kultural, moral dan politik pasti ada yang salah dalam tubuh umat Islam.

Buku setebal 130 halaman ini terdiri dari lima bagian. Bagian pertama, membahas tentang pergumulan membangun makna. Pada bagian ini Komar melakukan analisis trilogi jenjang eksistensi dan orientasi kehidupan manusia, mengingat aktor sejarah dan aktor pemeluk agama adalah manusia. Manusia beragama untuk mendapatkan makna dan tujuan hidup dengan menghubungkan diri pada Tuhan yang diyakini sebagai yang Mahabenar (al-Haqq). Tiga jenjang eksistensi dimaksud adalah manusia sebagai natural being, cultural being, dan spiritual being.

Pada bagian kedua, Komar secara kritis membahas formasi Islam awal yang meliputi pembahasan seputar posisi sentral Muhammad, Muhammad dan al-Quran, serta tema tema pokok ajaran Islam. Bagian ketiga, Komar menguraikan perlunya pendekatan kontekstual untuk mengembangkan produk-produk nash (teks), khususnya yang berkaitan dengan tema-tema muamalah. Bagian ini meliputi, kemunculan masyarakat Islam, universalitas dan lokalitas, islam historis dan meta-historis, dan ragam format penyebaran Islam.

Bagian keempat, Islam dan Jejaring peradaban kontemporer.

Pada bagian ini Komar membahas identitas keislaman serta perkembangan Islam di Barat yang melahirkan pola hidup baru. Ketika iklim kebebasan semakin meluas yang difasilitasi oleh teknologi digital, setiap individu dan kelompok dengan mudah memperjuangkan identitasnya agar dikenal dan diakui orang lain.

Pada titik ini, Komar tertarik melihat masa depan kemanusiaan yang lebih mengedepankan agenda dan kerja sama kemanusiaan universal ketimbang konfliktual. Sebab keragaman merupakan keniscayaan historis-sosiologis dan merupakan desain Tuhan, bukan menjadi sumber amunisi peperangan yang saling menghancurkan. Bagian ini meliputi, agama dan negara, masa depan agama, imajinasi Islam, dan Islam di Indonesia.

Bagian kelima, membahas tentang masa depan Islam. Bagian ini Komar menguraikan tentang spirit dan tradisi keislaman yang hingga kini masih kuat dan terus bertahan, bahkan berkembang mengglobal. Ibarat air, agama Islam masuk dan mengalir ke semua wilayah di berbagai belahan bumi dengan jenis tanah dan tanaman yang berbeda-beda karakternya.

Jika ranah baru yang dimasukinya telah memiliki tradisi peradaban unggul, maka nilai-nilai Islam bisa mengisi dimensi tauhid, spiritualitas dan kemanusiaan untuk memperkukuhnya, sebagaimana ketika pada Abad Pertengahan umat Islam bertemu dengan peradaban Yunani, Romawi dan India, atau belakangan ini ketika Islam masuk ke dunia Barat.

Kekuatan buku ini terletak pada semangatnya untuk menjaga dan merawat prinsip-prinsip dasar Islam yang menekankan tauhid, kemanusiaan dan semangat membangun peradaban luhur sebagai wujud rahmatan lil’alamin. Pula, umat Islam harus secara proaktif mengikuti perkembangan mutakhir, termasuk dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan, perlunya memperjuangkan Islam yang beradab (civilized Islam) yang hidup berdampingan dengan peradaban dunia lain.

Karenanya, peradaban Islam harus mampu berkembang secara konsisten dan memberikan kontribusi yang bermakna untuk peradaban dunia. Berkembangnya pemeluk Islam dari hari ke hari jika tidak diikuti prestasi keilmuan dan kontribusi pada peradaban dunia, akan menjadikan dunia Islam diposisikan pada garis koordinat pinggiran yang tidak produktif, meski secara demografis besar. [BMR]

 

Dr. Budhy Munawar Rahman, Pengajar STF Driyarkara Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *