Kabar Damai I Jumat, 02 Juli 2021
Jakarta I kabardamai.id I Pandangan saya terkesiap ketika pertama kali membaca bagian Pengantar yang ditulis oleh Mochtar Lubis. Faktanya buku ini ialah salah satu karya Sastra Arab yang sengaja diusung oleh penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia untuk diperkenalkan lebih luas khususnya di Indonesia. Dalam Pengantar itu pula saya tertarik oleh kalimat cuplikan, “Seorang pelacur yang sukses lebih baik dari seorang suci yang sesat”. Semangat saya tergugah. Tidak sabar untuk segera melahap habis isi buku ini.
Dalam sinopsis yang dituliskan di belakang buku, nampak jelas penderitaan hidup Firdaus yang harus menjadi pelacur. Asal muasal pekerjaan lacur tersebut berawal dari ayahnya. Ayahnya harus ‘menggadaikannya’ untuk melunasi hutang keluarga kepada seorang lelaki kaya raya yang bengal dan berhidung belang. Namun, Firdaus menolak, berbekal bantuan dari ibunya, Firdaus berhasil kabur dan akhirnya menumpang hidup kepada Pamannya.
Ketika Seorang Perempuan Membaca Suguhan Nawal
Pamannya begitu baik kepada Firdaus, disekolahkannya hingga lulus pendidikan Jenjang Menengah Atas. Kini, saatnya untuk pergi ke Universitas. Firdaus ingin sekali menjadi seperti pamannya yang pintar dan dapat berkuliah di Kairo. Namun, apa daya, bibinya menolak. Alasan ekonomilah yang dipermasalahkan. Bibinya merasa tak sanggup jika harus berbagi keuangan keluarga untuk membiayai hidup Firdaus yang usianya sudah tak kecil lagi.
Lekas permasalahan itu pun membiak. Bibinya menawarkan untuk menikahkannya dengan salah satu sadagar kaya–yang padahal itu hanyalah sebuah kedok. Perkawinan dijadikan suatu media untuk mengikat seseorang dengan kepentingan busuk dan kejam (ini kesan pribadi saya). Laiknya binatang yang tak memiliki otak dan hanya mempermasalahkan perut yang lapar, status lajang Firdaus ditukarkan dengan dua ratus pon dengan jaminan masa depannya akan terjamin, baik dalam segi penghidupan, pendidikan, serta ekonomi.
Barangkali benar bahwa secara lahir Firdaus dijamin kebutuhannya, namun secara batiniah ia sangat tersiksa. Penggambarannya mengenai suatu pernikahan seketika hancur. Awal perjalanan pedih itulah yang membuat Firdaus dikenal sebagai pelacur. Lika-liku hidupnya semakin gelap dan tragis usai kabur dari lelaki tua itu–dan selebihnya mending kalian langsung baca secara lengkap di buku karya Nawal el-Saadawi ini.
Kesan Imersif yang Melibatkan Emosi Pembaca
Sekali lagi, buku ini membuat saya terangsang untuk mencari jawaban atas segala pertanyaan saya. Mari kita tulis satu persatu.
Buku ini kerap sekali membicarakan masalah perkawinan. Hal awam yang saya pahami dan masih saya percayai hingga saat ini ialah, bahwa perkawinan terjadi antara dua insan yang saling mencintai dan rela untuk berbagi kisah hidupnya serta menyatukan dua perbedaan dari segala aspek menjadi satu. Poinnya adalah cinta. Terlebih perkawinan ialah suatu ibadah. Begitu indah perkawinan–setidaknya dalam bayangan saya–dengan didasari oleh cinta dan dapat menjadi lumbung kebahagiaan bagi kedua belah pihak.
Perbedaan pola pikir akan memperkaya dan ikut mewarnai perjalanan hidup mereka. Terlebih pada nantinya sewaktu harus membesarkan keturunan. Namun, yang saya tangkap dari buku ini sedikit menggeser sudut pandang pribadi saya itu. Bahwa perkawinan merupakan suatu produk dari sikap patriarki wanita yang menukarkan kebebasan dirinya untuk diikat dan menjadi budak hidup selamanya kepada seorang lelaki. Mengapa demikian?
Baca Juga: Belajar Mencintai Allah Secara Merdeka
Fawzi, dalam buku tersebut, adalah seorang lelaki yang ingin menyelamatkan Firdaus dari dunia pelacuran dengan cara mengawininya sebagai bentuk perlindungan utuh yang akan diberikannya kepada Firdaus. Sayangnya sekali lagi, perkawinan dalam hal ini tidak didasari oleh cinta. Fawzi hanya ingin memiliki Firdaus dengan utuh tanpa bisa dibagi oleh lainnya. Utuh dalam hal ini tentu raganya. Lebih tepatnya, menikmati keindahan dan kemolekan tubuh Firdaus untuk dirinya sendiri tanpa intervensi ataupun harus berbagi dengan yang lain.
Narasi ilustratif yang ditampakkan buku ini seakan berisyarat–atau menyindir realitas–bahwa wanita yang sudah menjadi istri harus dan memang diwajibkan untuk selalu melayani suaminya tanpa memedulikan keinginan pribadinya dan mengabaikan hak pribadinya sebagai wanita. Pemikiran lain mengenai perkawinan, disuguhkan sebagai suatu bentuk penindasan bagi kaum hawa karena dipaksa untuk mengabaikan haknya namun terus dibebani oleh rentetan kewajiban tambahan sebagai istri dan atau bahkan ibu. Suatu tindak pembodohan yang merelakan seluruh jiwanya hanya demi mengabdi kepada seorang lelaki. Apalagi harus bergantung kepada segala yang dihasilkan oleh sang suami.
Meski demikian, segala macam pikiran yang saya tuangkan ini pastinya akan memiliki zona pro-kontra sendiri jika yang menjadi dasar pengelakannya adalah kewajiban seorang istri dalam sudut pandang agama.
Kemudian mengenai penggambaran lelaki yang selalu ‘terpojokkan’ atas segala perbuatan yang dilakukannya. Baik dalam tindakan korupsi, berkuasa dengan sewenang-wenang, hingga perlakuan keji dengan menjajali tubuh wanita dengan bebas demi memenuhi hasrat berahi banal mereka. Apakah belum puas dirinya akan istri yang dimilikinya? Entah sensasi apa yang para lelaki rasakan ketika menjajali setiap jengkal tubuh wanita yang berbeda sehingga rasanya tidak pernah puas untuk memiliki satu untuk selamanya.
Terakhir ialah mengenai “sanksi sosial” atas pihak-pihak yang melakukan perbuatan tidak senonoh. Anggap saja antara pemakai dan yang dipakai merupakan pihak yang terkait dalam perbuatan tidak senonoh. Dalam buku ini disebutkan bahwa sulit sekali bagi Firdaus untuk memperbaiki hidupnya. Bahkan hanya untuk sekedar menjadi tukang cuci piring di sebuah rumah makan saja tidak diperbolehkan karena label pelacur yang kadung tersemat padanya.
Jadi, kesimpulan yang dapat diambil dari kengalor-ngidulan bahasan saya di atas, yaitu tidak semua pelacur menjadi pelacur atas kemauannya sendiri. Banyak sekali alasan yang menimpa sehingga menjajakan dirinya dianggap jalan pintas yang cepat demi menutupi segala permasalahan, utamanya ekonomi. Namun, kita tetaplah manusia yang memiliki hakikat untuk bertindak dan memerlakukan manusia seperti manusia. Tidak ada suatu hal yang terjadi tanpa sebab dan tidak akan ada keputusan jika belum ada pertimbangan sekecil apapun itu.
Buku ini membukakan sisi pemikiran dan mendobrak pola pikir kita yang sudah lama mapan karena ‘terindoktrinasi’ oleh bumbu-bumbu adat-istiadat serta budaya patriarki. Di samping itu, sajian Nawal seakan hendak membawa nuansa emansipasi yang mengarah pada suatu hal lain yakni feminisme. Pola pikir tersebut dapat secara bijak dipilah untuk kemudian diterapkan di bangsa kita. Meskipun butuh penyesuaian karena, seperti yang kita ketahui, tidak semua pemikiran yang telah tertuliskan dapat diberlakukan juga. Terlebih tidak semua individu memiliki pola pikir semacam itu.
Meski identik dengan pemikiran ke-kiri-an, namun ada sejumlah bagian yang saya sepakati lantaran memang harus ada perubahan yang dilakukan. Jika nihil untuk melakukan dalam skala besar, sekurang-kurangnya mulailah dari suatu yang kecil: dengan melawan dirimu sendiri untuk menciptakan perubahan. Lalu kembang-tumbuhkan itu ke sekitar lingkungan dan menuju ‘radius’ yang lebih luas.
Tidak saya pungkiri, mungkin tulisan ini penuh sisi emosional, namun semua itu tetap tidak terlepas dari serangkaian permasalahan di negara kita. Dalam kadar paling minim, usai membaca buku ini saya berharap semoga di masa mendatang tercipta kondisi kenegaraan yang semakin memanusiakan manusia–menghargai perempuan secara setara–di atas kepemilikan harta dan kuasa.
Judul Resensi Buku : Perempuan di Titik Nol
Penulis : Nawal el-Saadawi
Kata Pengantar : Mochtar Lubis
Penerjemah : Amir Sutaarga
Tebal : 176 halaman
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun : 2017 (cetakan ke-13)