Memupuk Damai dalam Narasi

Opini244 Views

Oleh: Ai Siti Rahayu

 

Media menjadi alat edukasi dalam mengakses informasi, ia memiliki wewenang untuk menyampaikan gagasan-gagasan. Secara tidak langsung media turut menyumbang pola pikir kepada masyarakat.

Sayangnya, jarang media secara spesifik mengangkat isu keberagaman yang cover all sides. Media mainstream atau media arus utama menyuguhkan informasi terkait konflik SARA misalnya dengan mencari benang merah.

Bukan menawarkan solusi atau menyajikan dengan tidak menghakimi pihak manapun. Indepensi dari jurnalisnyapun dipertanyakan. Sebagai seorang jurnalis ketika di lapangan tentu segala macam latar belakang harus dilepaskan  berada dalam posisi netral.

Jurnalis punya andil besar dalam meredam sengketa SARA, bukan malah membiaskan berita yang berdampak pada munculnya emosi massal. Tidak diberinya ruang dan kesempatan pada minoritas untuk menggemakan suaranya  atau justru memposisikan mayoritas sebagai pihak yang tak bersalah.

Dari sisi kebahasaan media bentuk jamak dari medium. Umpamanya air dalam gelas maka mediumya adalah gelas dan pesanya berupa air. Hawe Setiawan selaku budayawan dan kolumnis memaparkan dalam sebuah diskusi bertajuk

“Konsolidasi Media untuk Penguatan Toleransi dan Keberagaman” bahwa  message is something within medium. Contoh lain adalah buku, ia juga medium dimana yang dikatakan  pesan terletak pada tulisan.

Baca Juga: Perempuan dan Praktik Jurnalisme Damai

Tulisan sendiri merupakan medium bagi suara sementara suara  merupakan medium dari pikiran yang kacau. Sederhananya pesan yang dimaksud dalam medium terletak pada medianya.

Di era sekarang media makin menetukan pola kehidupan sehari-hari, segala apapun dimediasi.  Semisal makan, tidak akan sempurna sebelum mengunggah. Aku berpikir maka aku ada bergeser menjadi aku mengunggah maka aku ada. Satu sisi penggunaan media yang berlebihan sisi lain tercipta peluang untuk memanfaatkan media sebesar-besarnya.

Kalau ditilik lebih lanjut kekacauan dan  konflik  yang melingkupi  masyarakat meletakan media menjadi medan terpenting, selain sebagai pilar demokrasi keempat. Itu yang perlu  dicatat, penggunaan istilah information worldwar bukan hal yang mendidik publik.

Contohnya dalam kasus kebebasan beragama, mestinya fokus terpenting adalah sejauh mana media menentukan keberhasilan dan kesuksesan untuk mewujudkan perdamaian.

Untuk mewujudkan jurnalisme damai Johan Galtung sudah memformulasikanya. Ia  membedah beberapa prinsip untuk mempelajari jurnalisme damai. Salah satu yang disampaikan adalah suatu dikotomi berupa  bagan yang dapat dilihat dari beberapa pendekatan yang berbeda.

Antara praktik jurnalistik yang diorientasikan pada perdamaian atau praktik jurnalitik yang fokus pada konflik, secara sadar atau tidak sadar diarahkan pada pertengkaran.

Jean Baudlriard dalam The Gulf War Did Not Take Place dalam perang tidak semua citraan yang ditampilkan oleh media merupakan representasi dari realitas kekejaman perang yang sesungguhnya. Citra kekejaman itu dapat diciptakan simulasinya di sebuah studio televisi atau di sebuah tempat (Pseudo place ) melalui teknologi yang canggih.

Jurnalisme damai lebih beorientasi pada perdamaian atas konflik yang tengah terjadi ,dalam hal ini pihak yang berkonflik bukan hanya dua, sebut saja A dan B. Tetapi lebih jamak bahkan di posisi A sendiri ada A1, A2 atau A3.

Itu yang menggambarkan perbedaan jurnalisme damai mengamati hal-hal yang lebih kompleks secara komprehensif. Juga beroientasi pada kebenaran, melihat akar konflik, struktur serta peta secara rinci.

Sedang, Jurnalisme perang atau istilah familiarnya war journalism meliput suatu bentrok dengan semangatisme, melihat inti dari permasalahan hanya dari satu sisi. Analoginya ketika melaporkan sebuah pertandingan olahraga yang selalu ada dua pihak, loser and winner mereka bertikai kemudian menanti pemenang.

Orientasinyapun pada hal yang bersifat propaganda, tidak turut serta meredam konflik.

Memupuk Damai dalam Narasi

Semakin sering berlatih mempruduksi narasi, semakin mengetahui bagian mana saja yang bakal dipangkas. Ketika kembali ke jurnalistik yang memang mengedepankan angle, karena angle adalah sudut pandang maka membedakanyapun akan beragam.

Sialnya seringkali manusia kehilangan kesanggupan dan kekuatan yang jelas dan nampak dalam kehidupan sehari-hari. Padahal banyak hal menarik tapi luput begitu saja dari media arus utama.

Salah satu jalan menggali narasi adalah memilih dari segi kekuataan yang akan dilaporkan. Zaman sekarang menggali angle adalah PR bersama. Muncul permasalahan lain lagi dari sisi pembaca, terkait critical thinking.

Membaca kritis atau membaca analisis masih jarang dilakukan oleh khalayak. Sehingga dibanding mengawasi, edukasi masih menjadi senjata yang ampuh untuk mendidik publik. Meskipun dengan proses yang tidak sebentar tetapi hasilnya akan menerap di pikiran dan tindakan

Pikiran kata Herry Nurdi dalam buku Living Islam seperti parasut penerjun. Dia bekerja dengan sempurna ketika sang penerjun atau pemilik pikiran itu sendiri mau membukanya. Kian besar pikiran manusia terbuka kian besar pula manfaat dan sudut pandang yang bisa diambil olehnya. Kian terbuka pikiran manusia kian besar pula sumbangan dan kontribusi yang akan diberikanya.

Kenyataan sekarang media justru acuh trehadap penayangan yang berbau perdamaian, media kerap menampilkan sudut pandang konflik. Itulah yang memunculkan bad news is good news. 

Semestinya media memberi edukasi berupa tayangan atau pemberitaan yang mengarah pada toleransi agar mampu meminimalisir konflik-konflik yang belakangan ini sering muncul menggegerkan publik. Tentu saja dalam hal ini adalah sumbangish terhadap perdamaian, minimal tidak intoleran sejak dalam pikiran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *