Memahami Teologi Agama Lokal

Kabar Utama46 Views

Kabar Damai | Kamis, 24 Maret 2022

Jakarta I Kabardamai.id I Dalam bincang series ketiga dalam kanal Suara Setara, Engkus Ruswana, Penghayat Kepercayaan menyampaikan topik tentang teologi agama lokal. Series ini sekaligus menjadi bagian terakhir setelah sebelumnya dibahas tentang mengenal penghayat kepercayaan dan juga pola pendidikan bagi penghayat kepercayaan.

Diawal pemaparannya, dalam aspek teologi dan sisi terminologi, Engkus menyatakan bahwa penyebutan yang lebih nyaman yang sebaiknya disematkan kepada kelompoknya ialah Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa atau disingkat kepercayaan. Tidak disebut aliran, sedangkan komunitas atau pemeluknya disebut penghayat kepercayaan. Hal itu juga tertuang dalam UU Perundang-Undangan

Menurutnya, penyebutan aliran konotasi lebih memojokkan, seolah-olah ada induk agama dan terpecah ada aliran-aliran. Sehingga ada kepentingan politis yang nantinya dapat menyebabkan perintah kembali kepada induknya seperti yang pernah dilakukan oleh Menteri Agama pada tahun 1978 lalu. Ini juga turut didukung dengan Direktorat yang dibentuk juga bernama Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan yang Maha Esa, bukan Direktorat Aliran Kepercayaan.

Penghargaan Terhadap Alam dan Sesama Manusia

Penghayat kepercayaan sangat menjunjung tinggi alam dalam hidupnya. Menanggapi hal tersebut, Engkus mengungkapkan bahwa hal ini berangkat dari asal-usul diri sehingga ada penghargaan terhadap leluhur. Hal ini didukung pula kemudian melalui adanya kajian tentang asal-usul raga yang berasal dari empat unsur sehingga kemudian sumbernya menjadi unsur alam semesta. Alam semesta itu harus dijaga karena keberadaan kita yang ada disana dan akan kembali kesana pula.

“Kita harus merawat alam, karena alam juga merawat kita. Karena itu antara kita dan alam tidak bisa dipisahkan,” ungkapnya.

Baca Juga: Progres dan Tantangan Pendidikan Penghayat Kepercayaan

Implemetasi dari aspek diatas dituangkanlah dalam bentuk upacara-upacara adat, lagu-lagu spiritual yang terkait dalam alam. Implementasi misal dalam suatu aktivitas seperti menanam padi misalnya dilakukan upacara-upacara, itulah bentuk penghormatan kepada alam.

Kemudian, antara semua manusia berasal dari hal yang sama, empat unsur seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Hal ini berarti semua berasal dari unsur yang sama sehingga juga harus bersama-sama juga untuk merawat alam.

Ditengah terus menurunya kuantitas penghayat kini dan kaitannya dengan bagaimana penghayat melihat agama lain. Engkus menanggapi bahwa dalam penghayat, melihat kepercayaan yang lain secara inti juga sama. Ajaran mestinya sama, yang menyebabkan perbedaan ialah budaya hingga alam yang berbeda. Penghayat sangat menghargai alam karena kesadaran bahwa hidup ditopang oleh alam selain Tuhan.

Penghayat tidak pernah pula menganggap agama lain sebagai sesuatu yang berbeda, menyimpang sehingga dianggap sebagai ancaman. Hal ini juga terbukti saat agama-agama dari luar masuk maka diterima dengan baik dan bahkan didukung.

“Maka, salah satu inti ajaran dari kepercayaan ialah memandang diri orang lain sebagaimana kita memandang diri sendiri,” tuturnya.

Penghayat hingga kini juga menjadi kelompok yang terbuka, kelompok ini bahkan membebaskan anak-anaknya yang apabila ingin memeluk agama tertentu dan juga menikah sesuai dengan pilihannya. Ditanya soal tanggapannya soal kekhawatiran ditengah terus menurunnya kuantitas penghayat kini, Engkus mengungkapkan wajar jika ada kekhawatiran. Namun berdasarkan pengalaman dari tingginya stigma, marjinalisasi dan sebagainya masih banyak yang bertahan yang membuat ia yakin bahwa siklus terus terjadi.

Lebih jauh, Engkus juga menjelaskan bahwa jauh sebelum Hindu-Budha atau agama-agama masuk ke nusantara, leluhur kita sudah memiliki sistim keyakinan atau agama yang tidak lebih rendah daripada agama dari luar, ini tercermin dari perilaku, pola ajaran budi pekerti yang dituntun dan diturunkan.

“Kita harus belajar dari perilaku leluhur yang harmoni secara perilaku dan daman tidak suka berkonflik. Sehingga, jika ada perbedaan berusaha untuk diharmonikan sehingga ada akulturasi. Leluhur kita sudah menerapkan konsep baik dari dulu,” pungkasnya.

 

Penulis: Rio Pratama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *