Meluruskan Kembali Konsep Jihad

Oleh: Ibnu Arsib Ritonga

Abul-A’la al-Maududi adalah seorang tokoh pembaharu dan tokoh revolusioner Islam yang lahir di anak benua Indi pada 2 September 1903 dan wafat (Sayyid) di usia 76 tahun pada tanggal 22 September 1979. Sayyid al-Maududi adalah pendiri sekaligus perumus kebijakan organisasi Jama’ati-i Islami (Partai Islam) di India dan salah satu tokoh kemerdekaan Pakistan.

Sejak kecil ia dikenal sangat jenius, sehingga membuat banyak orang berdecak kagum atas kepintarannya hingga ia tumbuh besar menjadi tokoh pemikir Islam revolusioner di India bahkan di dunia. Sehingga Smith misalnya, menyebutnya sebagai “pemikir paling sistematis dalam Islam modern” yang berhasil menggabungkan suatu sistem gagasan yang mengagumkan.

Pernah suatu kejadian pada tahun 1954, ia dituntut hukuman mati karena protesnya atas kasus Ahmadiyah dan tuntutannya agar pemerintah menjadikan Ahmadiyah sebagai minoritas non-Muslim. Namun akhirnya ia bebas setahun kemudian setelah pengadilan menyatakan tuduhan itu tak cukup bukti.

Secara umum, ia dikenal memiliki penguasaan komprehensif terhadap aspek-aspek teoritis Islam di Pakistan. Namun al-Maududi tidak pernah memformulasikan ide-ide pemikirannya atau gagasan-gagasannya dan praksisnya dalam sebuah dokumen utama.

Untuk mengetahui struktur pemikiran yang dikembangkannya, kita harus mempelajari buku-bukunya, pamflet-pamflenya, dan pidato-pidato yang selama bertahun-tahun ia hasilkan.

Ide-ide pemikirannya, yang disebarkan lewat tulisan-tulisannya menjadi faktor utama dalam mengarahkan perkembangan Islam modern di anak benua India.

Selama pemerintahan Jenderal Zia-ul Haq ide-ide pemikiran al-Maududi menjadi kekuatan ideologi penting di Republik Islam Pakistan. Rezim Zia-ul Haq dalam praktiknya banyak dibantu dan diberi nasihat oleh orang-orang dari lapisan Jama’at-i Islam yang dibentuk Sayyid al-Maududi untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam dan juga berupaya lebih memperluasnya dengan tetap memegang ajaran Islam yang sesuai Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW.

Sayyid al-Maududi dikenal sebagai seorang fundamentalis. Ia disebut sebagai fundamentalis bukan neo-tradisionalis. Tekadnya adalah memahami Islam harus langsung dari sumber utamanya (fundamental) dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, ketimbang dari ajaran yang warisankan dan diterima secara taqlid (ketaatan membuta terhadap interpretasi yang dikembangkan oleh seorang ulama terdahulu), serta doktrin dan praktik-praktik kaum Sunni ortodoks yang didasarkan kepada konsensus.

Al-Maududi menyeru kaum Muslim untuk melakukan ijtihad-penalaran yang independen. Tentunya hal ini dalam konsep jihad dan perjuangan Islam revolusioner yang sering ia dakwahkan.

Al-Maududi konsep tentang jihad

Pada tahun 1926, berbagai kerusakan komunal terjadi di kawasan anak benua India menyusul kegagalan gerakan ahimsa (pertahan pasif) di India yang dipelopori oleh Mahatma Gandhi dan juga kegagalan yang dialami gerakan Khilafat. Swami Shardanand, pemimpin kaum Sudhi (suatu gerakan revivalis Hindu ekstrimis) mati dibunuh seorang Muslim.

Sebelum pembunuhan atas dirinya, Swami mendesak orang-orang Islam yang semula beragama Hindu kembali ke agama asalnya. Ia juga mencela figurnya Nabi Muhammad SAW dengan istilah-istilah yang menurut kaum Muslim sangat melecehkan dan menghina.

Dalam pembelaannya di depan sidang pengadilan, pembunuhnya mengatakan bahwa yang dilakukannya adalah membunuh seorang kafir jahat dengan tujuan menjaga keridhaan Allah SWT.

Menurut dia pula, menjadi kewajiban religius atas seluruh kaum Muslim untuk mengakhiri hidup orang kafir seperti Swami.

Kasus ini segera menjadi kontroversi agama dan kontroversi politik. Kalangan pers Hindu merespon dengan mengatakan bahwa Islam adalah agama kekerasan, sama seperti kaum orientalis mengatakan seperti itu.

Sementara Gandhi sendiri berkomentar bahwa “Islam telah menunjukkan diri sebagai sebuah gerakan yang kekuatan utamanya sejak dulu hingga sekarang adalah pedang”.

Baca Juga: Surat Wasiat Jihadis dan Ideologi Islamis

Menanggapi kasus tadi, dilaksanakanlah suatu rapat umum kaum Muslim yang bertujuan menyangkal segenap tuduhan tersebut. Pemimpin gerakan Khilafat, Maulana Muhammad ‘Ali, mengungkap harapannya akan adanya seseorang Muslim yang mengupas atau membahas konsep jihad secara komprehensif.

Al-Maududi yang waktu itu merupakan pengikut muda Muhammad ‘Ali dan saat itu bekerja sebagai penyunting untuk Al-Jami’at, sebuah surat kabar yang diterbitkan oleh Jami’at-ul ‘Ulama-i Hindi, hadir dalam rapat tersebut.

Ia memutuskan untuk menjawab tuduhan yang dilontarkan kepada umat Islam waktu itu dengan menerbitkan serangkaian artikel mengenai jihad Islam. Kumpulan artikel tersebut diterbitkan sebagai buku dengan judul Al-Jihad fi Al-Islam pada tahun 1927.

Konsep jihad yang dikembangkan al-Maududi terkandung dalam dua karya pentingnya. Salah satunya adalah Al-Jihad fi Al-Islam yang telah disebutkan di atas tadi.

Kedua adalah yang lebih kecil dengan ia beri judul Jihad-i fi Sabilillah. Kedua karya ini dumulai dengan catatan apologis (pembelaan). Bagian pendahuluan pada buku yang pertama dimulai dengan sebuah pernyataan Gandhi yang mengatakan bahwa “Islam lahir dalam atmosfir yang kekuatan terpentingnya sejak dulu hingga sekarang adalah pedang”.

Ia kemudian melanjutkan dengan mengatakan bahwa tujuannya menulis buku tentang konsep jihad terutama adalah untuk menyangkal pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Mahatma Gandhi.

Menurut al-Maududi, sudah sejak lama dan sudah menjadi kebiasaan orang-orang Eropa atau penulis-penulis Barat (kaum orientalis) mengidentikkan term jihad dengan istilah “perang suci” (Holy War) hingga akhirnya jihad menjadi sinonim perang yang dilandaskan oleh fanatisme.

Karena mereka (kaum orientalis) sering mengartikannya dengan bahasa mereka, mereka sering memberikan penafsiran yang negatif dan mengomentarinya secara tidak tepat dan cenderung dipaksakan.

Diskursus kaum orientalis ini bahkan sampai membuat pandangan konsep jihad sebagai istilah yang mengedepankan watak dan perilaku jahat, perang fisik, dan pertumpahan darah dan juga menimbulkan stigma bahwa Islam adalah agama kekerasan.

Mereka sangat lihai dan licik dalam mengolah argumentasi dan mengaburkan realitas yang ada.

Al-Maududi sangat menyangkal bahwa Islam adalah agama yang menyukai kekerasan. Dalam menyangkal tuduhan bahwa Islam sejak mulanya agama kekerasan, dia memulai argumennya dengan membahas soal hak alamiah.

Menurutnya, semua peradaban manusia atas dasar penghormatan terhadap hak hidup orang lain. Inilah yang paling dasar bagi hak-hak manusia dalam peradaban.

Pandangan universal ini sangat dikuatkan dalam agama Islam. Hal ini dikuatkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang menjadi landasan utama pendapatnya.

Jihad, menurut al-Maududi pada dasarnya perjuangan yang dilakukan kaum Muslim untuk mewujudkan gagasan ideal yang senantiasa dicita-citakan umat Islam.

Kata harb (perang) tidak lagi dipakai karena ia biasa dinisbahkan kepada perang untuk tujuan memenuhi kebutuhan material individu atau kolektif dalam suatu masyarakat.

Menurut kamus bahasa Arab, kata jihad artinya berjuang, dan karenanya kata itu bisa menjelaskan mengenai perjaungan yang dilakukan di jalan Allah untuk mengimplementasikan kehendak Allah di muka bumi ini. Al-Maududi sering mengutip ayat Al-Qur’an surah Annisa ayat 76 yang terjemahannya berbunyi “Orang-orang yang beriman di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut”.

Dengan demikian, dalam pandangan al-Maududi, Islam tidak mengajarkan pasifisme karena tanpa kekerasan yang dilembagakan, pelanggaran hukum, penindasan, dan korupsi akan tetap bertahan.

Pelaku-pelaku yang melanggar hukum, penindas rakyat dan koruptor harus diperangi karena sudah mematikan manusia, dan mereka itu adalah thaghut. Al-Maududi menyangkal adanya pemaksaan masuk Islam dalam konsep jihad fi Sabilillah akan tetapi jihad melawan thaghut.

Al-Maududi membagi jihad ke dalam dua jenis: untuk pertahanan dan untuk tujuan korektif atau reformatif. Jihad jenis pertama adalah perang untuk melindungi Islam dan pengikut-pengikutnya dari serangan musuh atau kekuatan-kekuatan perusak yang mengganggu Dar al-Islam (wilayah-wilayah Islam dan non-Muslim yang berada di dalam kedaulatan Islam).

Sementara jihad kedua, bisa ditujukan untuk melawan siapapun yang menyebabkan tirani bagi kaum Muslim yang tinggal di negeri mereka.

Sejalan dengan fiqh, al-Maududi juga menguraikan dimensi lain dari jihad, yakni berhubungan langsung dengan upaya perbaikan diri dari pencapaian keadilan.

Ia membagi jihad jenis ini ke dalam dua cabang, yakni al-amr bi al-ma’ruf (menyeru kepada kebajikan), dan al-nahy ‘an al-munkar (mencegah keburukan).

Secara keseluruhan, al-Maududi berpendapat ada tiga persyaratan bagi jihad defensif:

  1. Tirani. Al-Maududi mengemukakan bahwa Islam memberikan dukungan penuh bagi setiap Muslim untuk melakukan jihad melawan segala bentuk tirani. Dia mengutip dari perintah Allah SWT dalam QS. 22:39-40.
  2. Menjaga kebenaran adalah syarat kedua yang mengharuskan kaum Muslim untuk menyatakakan jihad terhadap orang-orang kafir yang menghalangi syiar kebenaran Tuhan di dunia. Syarat ini harus ditafsirkan dalam maknanya yang paling longgar.
  3. Pelanggaran perjanjian. Menurut al-Maududi, umat Islam harus berjihad melawan orang-orang yang telah menghianati perjanjian. Tentunya yang dimaksud beliau adalah seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an: 8: 56-58.

Konsep jihad yang telah dijelaskan al-Maududi adalah bertujuan untuk mewujudkan Dar al-Islam dengan jalan yang sering disebutnya revolusi Islam dengan bertauhidkan kepada Allah SWT dan melawan thaghut, bukan seperti konsep jihad yang persefsikan kaum-kaum barat (orientalis). Jihad harus dilakukan secara ikhlas demi mendapatkan balasan dari Allah dalam rangka merengkuh keridhaan-Nya.

Kesimpulan

Jihad adalah istilah yang biasa digunakan oleh umat Islam untuk menandai perlawanan terhadap nafs dan terhadap musuh-musuh Islam, bukan seperti konsep menurut kaum-kaum Barat (orientalis).

Dalam pengertian luasnya, jihad tidak tidak selalu berarti peperangan atau pertempuran, karena jihad yang dilakukan di jalan Allah bisa bersifat anti-kekerasan.

Pada intinya, jihad ditujukan untuk menyucikan hati (dalam pengertian spritual) setiap individu Muslim dan tatanan sosial agar sejalan dengan syari’ah.

Konsep al-Maududi mengenai jihad banyak bersumber dari Al-Qu’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Baginya, jihad terutama dipahami sebagai revolusi untuk membawa dunia ke arah yang sesuai dengan cita-cita Islam.

Ia menentang penggunaan jihad untuk memaksa kaum kafir untuk memeluk Islam. Jihad sebagai revolusi Islam harus dilakukan dengan damai melalui proses bertahap yang pada akhirnya akan mengarah pada terwujudnya Dar al-Islam yang universal.

Di atas semuanya itu, tujuan jihad dalam pandangan al-Maududi adalah tranformasi total seluruh masyarakat dalam proses revolusi Islam. Tujuannya adalah untuk menciptakan perubahan menyeluruh dalam mentalitas masyarakat dan perilaku sosial.

Al-Maududi sadar akan pentingnya kehidupan sosial, ia menyatakan bahwa setiap perubahan mendasar dalam norma-norma hidup yang konvensional. Al-Maududi lewat pendekatannya yang fundamentalis yang dikembangkannya percaya bahwa cara hidup Islam adalah satu-satunya penyelamat untuk manusia kontemporer.

Dalam masa-masa kacau yang terjadi sepanjang abad ini (kasus pembantaian Islam di Rohingnya-Myanmar, di Islam Patani-Thailand, di Turki, di Palestina dan di tempat lain), pemikiran al-Maududi jelas memiliki daya tarik yang kuat bagi kaum Muslim yang mendapati modernitas atau juga pada post-modernitas saat ini. Pemikirannya dapat dijadikan solusi dengan tidak juga menutup solusi dari ide-ide pemikiran lain yang sifatnya konstruktif.[]

Kepustakaan

  1. Azra, Azyumardi. 1996. Pergolakan Politik Islam. Jakarta: Penerbit Paramadina
  2. Muctharom, Mahmud H (penj). 2009. Penggetar Iman di Medan Jihad. Yogyakarta: Uswah

Ibnu Arsib Ritonga adalah mahasiswa UISU Medan dan pengelola Good Cadre Group.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *