Oleh Amatul Noor
Konsep Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang penciptaan kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan.
Model ini menjadi faktor penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia – seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainnya – ditayangkan melalui berbagai media dengan model-model yang ideal, disinilah batas antara simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk sehingga menciptakan hippereality dimana yang nyata dan yang tidak nyata menjadi tidak jelas.
Kebudayaan industri menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan entertainment, antara entertainment dan ekses-ekses politik. Masyarakat tidak sadar akan pengaruh simulasi dan tanda(signs/simulacra), hal ini membuat mereka kerap kali berani dan ingin – mencoba hal yang baru yang ditawarkan oleh keadaan simulasi – membeli, memilih, bekerja dan macam sebagainya.
Teori ekonomi Marx, yang mengandung “nilai guna” digunakan oleh Baudrillard dalam menelaah teori produksi dan didasarkan pada semiotik yang menekankan pada “nilai tanda”.
Jean Baudrillard membantah bahwa kebudayaan posmodern kita adalah dunia tanda-tanda yang membuat hal yang fundamental – mengacu pada kenyataan – menjadi kabur atau tidak jelas.
Pembahasan tentang dunia media sejak lama menjadi pembahasan yang menarik ketika mulai adanya dunia ‘modern’. Simulasi ialah istilah yang digunakan Baudrillard untuk menerangkan hubungan-hubungan produksi, komunikasi dalam masyarakat kapitalis-konsumer Barat, yang dicirikan oleh ‘over-produksi’, ‘over-komunikasi’ dan ‘over-konsumsi’- melalui media massa, iklan, fashion, supermarket, industri hiburan, turisme dan sebagainya. Akan tetapi, istilah simulasi yang digunakan baudillard, secara tersirat juga menunjuk kepada pengalaman ‘ruang’ dan pengalaman totalitas hidup didalam dunia ‘simulasi’ kapitalisme mutakhir barat.
Dengan demikian pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan matakhir masyarakat kapitalis Barat itu sendiri yang juga disebut masyarakat post-industri atau masyarakat konsumer (Yasraf 1999 : 83).
Kritik terhadap realitas
Seperti yang dikatakan Baudrillard bahwa simulasi sebagai model produksi ‘penampakan’ dalam masyarakat konsumer tidak lagi berkaitan dengan duplikasi ‘ada’(being) atau substansi dari sesuatu yang diduplikasi, melainkan penciptaan melalui model-model sesuatu yang nyata tanpa ada asal usul atau realitas, hyper-realitas”.
Baudillard mengatakan era simulasi dan hiprrealitas sebagai bagian dari fase pencitraan yang berturut-turut. Pencitraan yang dilakukan oleh mr.Taransky tentang seorang wanita yang cantik anggun yang akan menjadi sosok yang dicitrakan sempurna, dan akan menjadi rujukan tentang penggambaran seorang wanita yang cantik akan menuju pada simone. Dan pada perkembangannya sekarang untuk daerah Asia, wanita cantik itu seperti yang diwacanakan wanita Korea mirip dengan sosok boneka barbie. Putih, cantik, rambut lurus dan tinggi semampai.
Barbie yang menjadi rujukan beberapa wanita yang terobsesi cantik, dan diwacakan cantik yang ideal seperti barbie adalah karya orang yang awalnya hanya sebagai permainan anak perempuan yang menyukai permainan boneka. Tetapi sekarang itu menjadi tren. Referensi dari duplikasi tidak lagi apa yang ada ‘realitas’ melainkan realitas yang tidak ada ‘fantasi’. Fantasi yang disimulasikan menjadi seolah-olah nyata.
Simone pun juga seperti itu. Perbedaan antara realitas dan fantasi sudah tidak ada. Hal yang tidak mungkin menjadi tampak itualah simulation. Kesempurnaan yang dicitrakan melalui media tentang seorang wanita idaman seluruh umat manusia yang sebenarnya tidak nyata tampak menjadi ada karena simulasi.
Bagi Baudrillard melalui konsep simulasi, hal itu tidak lebih sebagai arena manipulasi citra dan konstruksi imajinasi atas kuasa tanda dalam masyarakat post industrial dewasa ini. Dengan contoh yang sederhana Baudrillard meilustrasikan dunia simulasi menyerupai analogi peta. Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari suatu wilayah, maka dalam mekanisme simulasi yang terjadi malah sebaliknya. Peta mendahului (melampaui) wilayah. Realitas sosial, budaya,ekonomi bahkan politik, dirujuk berlandaskan bangunan model-model yang telah dibuat sebelumnya.
Dalam dunia simulasi, keliru jika menganggap realitas adalah kenyataan yang otentik, justru model dan tampilan itulah diyakini sebagai kenyataan (Baudrillard, 1987: 17). Ambil contoh sebagian masyarkat dewasa ini terpukau pada Boy Band Korea, Indonesian idol, Boneka Barbie, tokoh Superman, iklan televisi, Sinetron atau Mickey Mouse. Hingga merambah pada dunia miniature, misalnya Disneyland, Trans studio dan Taman Mini indonesia Indah, turut menuguhkan imajinasi dunia hiburan yang semu, namun diyakini sebagai kenyataan tanpa tanding itu, adalah model-model acuan nilai, representasi dan makna sosial budaya masyarakat dewasa ini.
Baca juga : Beauty Privilege, Media dan Insecurity
Baudrillard mengembangkan sebuah teori mengenai komoditas-tanda (commodity-sign) yang didalam teori itu dia menunjukkan pada cara komoditas menjadi suatu tanda dalam pengertian saussuream, yang artinya berubah-ubah, tergantung pada posisinya dalam serangkaian penanda yang bersifat self-refrensial.
Baudillard juga mengesampingkan logika itu dan dia lebih memperhatikan pada banyaknya informasi yang diberikan oleh media saat ini mengkonfrontasikan kita pada imaje dan simulasi yang mempesona yang tidak ada akhirnya, sehingga “TV adalah dunia”.
Dalam simulations Baudrillard menegaskan bahwa dalam hiperrealitas ini yang nyata dengan yang imajiner kabur dan pesona estetis ada dimana-mana sehingga ‘suatu parodi yang tanpa tujuan terdapat dimana-mana, dengan simulasi teknis, semangat kesenangan estetik yang tidak terbatas. Dimana semua media yang ada dicerita film itu menunjukkan media pun ikut dalam sebuah permainan simulasi.
Dunia simulasi kontemporer segala sesuatunya hancur menjadi segala sesuatu yang lain; segala sesuatu meledak kedalam (imploding). Menurut Baudrillard ledakan sebagai “pemyusutan kedalam masing-masing yang lain, peringkasan yang luar biasa, penghancuran dua aras tradisional kedalam aras yang lain”. ‘manakala segala sesuatunya adalah simulasi, segala sesuatunya bisa larut kedalam massa simulasi yang sangat besar lagi tunggal.
Misalnya, dalam kasus talk show sekarang ini, telivisi larut ke dalam kehidupan dan kehidupan larut ke dalam televisi. Apa yan terjadi dalam tayangan televisi tentu saja simulasi. Bahkan kehidupan it sendiri menjadi sebuah simulasi, apa yang seringkali dilihat dalam telivisi. Dan, dalam sebuah dunia simulasi total, “manipulasi mutlak” menjadi hal yang tidak mustahil.”
Dunia hiperrealitas tanda sekarang ini tidak lagi merujuk pada segala sesuatu, di mana perbedaan antara nyata dan yang imajiner tidak ada lagi, dimana realitas serta merta terkontaminasi oleh simulakrum.”