Luka di Mamala dan Morela

Kabar Utama34 Views

Oleh: Afwa Anisa

 

Indonesia merupakan satu diantara negara yang paling banyak memiliki suku bangsa dan etnis di dunia. Suku-suku serta etnis tersebut terdiri atas berbagai latar belakang budaya yang memberikan warna keberagaman bagi Indonesia. Namun, perbedaan juga dapat menimbulkan miskomunikasi yang dapat berujung kepada konflik berskala kecil hingga besar. Salah satu kasus konflik antar antar suku dan etnis yang pernah terjadi adalah konflik antara  Desa Mamala dan Desa Morela di Pronvinsi Maluku.

Konflik tersebut merupakan konflik berkelanjutan yang telah terjadi selama 10 tahun dan berakhir dengan aksi damai pada tahun 2016. Pemicunya beragam, dimulai dari hal-hal kecil seperti selisih pendapat maupun saling senggol. Dampak dari konflik ini juga beragam. Kerusakan fasilitas umum, kerusakan rumah warga, korban jiwa dan korban luka – luka, merupakan kerugian yang dirasakan oleh masyarakat Desa Mamala dan Morela.

Pada bulan November tahun 2005, terjadi bentrok antar warga yang mengakibatkan rumah-ramah warga terbakar, seorang warga tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Bentrok akhirnya dapat dihentikan setelah polisi tiba. Bentrok ini diduga terjadi akibat sengketa tapal batas antar dua desa tersebut. Sejumlah warga dari Desa Mamala dan Morela mengaku menginginkan konflik ini segera berakhir dan berdamai. Tak hanya warga asli dari kedua desa tersebut, warga yang merupakan keturunan campuran kedua desa juga aktif dalam menyuarakan seruan damai kepada warga setempat.

Upaya damai akhirnya ditempuh pemerintah. Upaya – upaya damai yang dilakukan untuk meredam konflik ini tergolong unik. Program pertama yang dilaksanakan adalah program “Emas Hijau” yang berupa proses pelatihan budidaya perikanan laut dan perkebunan di Batalyon Infanteri 733 Para Raider.  Dalam program ini, sejumlah perwakilan dari desa-desa yang terlibat konflik dilibatkan. Targetnya, perwakilan dari desa-desa ini bisa tidur berdampingan. Bahkan ember dan gayung disiapkan hanya satu. Tujuannya agar kedua belah pihak dapat membengun komunikasi yang baik dan damai.

Selain program pembudidayaan perikanan laut dan perkebunan, program-program lain juga dilaksanakan. Salah satunya, program umroh bagi korban konflik kedua desa. Kedua desa ini sebenarnya memiliki berbagai kesamaan salah satunya agama yang dianut mayoritas penduduknya. Mayoritas penduduk Desa Mamala dan Morela merupakan muslim, oleh karena itu berbagai program keagamaan dilaksanakan oleh pemerintah agar tercipta perdamiannya antar desa.

Baca Juga: Mempertahankan Idealisme dan Narasi Kedamaian di Tengah Situasi Politik Menuju 2024

Selain melalui program keagamaan, pemerintah juga melakukan pendekatan terhadap aspirasi rakyat. Pangdam mengirim utusan dari rumah ke rumah untuk mengumulkan aspirasi masyarakat. Hampir semua warga di dua desa tersebut ternyata menginginkan perdamaian dan segera mengakhiri permusuhan yang terjadi berlarut-larut. Pemerintah berharap dengan adanya program – program damai, hubungan antar masyarakat akan terbina dengan baik secara alami.

Puncak dari acara damai ini terjadi pada April tahun 2016, dimana kedua desa sepekat untuk mengakhiri permusuhan. Dalam kesepakatan perdamaian yang diinisiasi dan dimediasi Pangdam XVI/Pattimura, Mayjen Doni Monardo itu, dibacakan butir-butir perdamaian. Perjanjian damai diikuti dengan program-program yang ditujukan untuk menjawab permasalahan yang selama ini menjadi pemicu timbulnya konflik.

Program-program tersebut meliputi penegakkan hukum yang transparan dan profesional seperti peredaran minuman keras, pemberdayaan masyarakat desa, peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan kejuruan bagi warga kedua desa dengan potensinnya masing-masing. Selain program-prgram tersebut, supermasi hukum juga akan ditegakkan. Pemerintah desa mengaku siap untuk bertindak tegas terhadap warganya yang melakukan tindak pidana.

Aksi damai yang dilaksanakan berhasil memperbaiki hubungan antar Desa Mamala dan Merola. Perdamaian ini berlanjut hingga tahun tahun berikutnya. Hal ini dibuktikan dengan dilaksanakannya acara untuk menyambut bulan Ramadhan bagi masyarakat kedua desa. Acara tersebut terdiri dari, buka puasa bersama, sholat bersama dan sahur bersama. Lebih dari seribu warga negeri (desa) Mamala dan Morela  berkumpul di bawah tenda yang dibangun tepat di perbatasan antara kedua negeri. Tenda sepanjang sekitar 75 meter dibangun secara gotong-royong oleh masyarakat dua desa bersama anggota TNI dan Kepolisian. Suasana tersebut menandai babak baru perdamaian dua desa Muslim yang terlibat konflik, saling mencurigai, dan bermusuhan.

Acara ini tergolong unik karena menggabungkan dua unsur desa yange berbeda dengan sangat baik. Contohnya, sholat Magrib dilakukan di Morela, namun sholat Isya dan tarawih serta witir dilakukan di masjid Mamala. Panglima Kodam Pattimura juga mengajak undangan untuk tidur di tenda yang sudah disiapkan. Sekaligus sahur bersama di lokasi perbatasan dua desa. Selain diadakannya acara menyambut Ramadhan. Kedua desa ini juga merayakan hari raya Idul Fitri bersama, melaui acara adat Baku Pukul sebagai puncak perayaan Idul Fitri.

Kedamaian yang tercipta anatara dua desa ini menjadi bukti bahwa, adanya kesempatan untuk mengatasi konflik-konflik yang terjadi di dalam masyarakat dengan jalan damai. Hal in tentu saja tidak terlepas dari peran-peran sejumlah pihak. Masyarakat desa setempat, memiliki kesadaran untuk berubah dan mengakhiri konflik yang berkelanjutan. Pemerintah sebagai pihak netral juga memiliki kewajiban sebagai perantara bagi desa-desa yang sedang berkonflik, seperti organisasi-organisasi dunia yang memiliki peran mengatasi konflik internasional dan membawa perdamaian dunia. Jika unsur-unsur yang terlibat dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka perdamaian antar daerah berhasil dicapai.

Dari konflik ini pelajaran yang dapat diraih adalah, sebagai warga negara hendaknya memiliki kesadaran akan potensi munculnya konflik. Masyarakat hendaknya sadar akan dampak dari konflik yang terjadi disekitarnya. Jika terdapat indikasi terjadinya konflik di sekitar, pemerintah dan masyarakat harus segara melakukan upaya perdamaian untuk mencagah konflik berkepanjangan. Selain kesadaran akan hadirnya konflik di sekitar masyarakat, kesadaran akan hakikat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa, dan etnis juga diperlukan. Pemahaman ini meliputi pemahaman mengenai keberagaman budaya di Indonesia, yang menjadikan Indonesia kaya akan pola kehidupan masyarakat. Pola kehidupan ini perlu dihragai oleh masyarakat-masyarakat yang berasal dari latar kebudayaan lain, begitu pula sebaliknya. Dengan memahami mengapa perbedaan kebudayaan dapat terjadi di masyarakat maka, konflik yang berlatarkan miskomunikasi antar budaya dapat dihindari.

 

Oleh: Afwa Anisa, Siswi SMAN 1 Pontianak

 

Sumber:

  1. https://ambon.antaranews.com/berita/33982/perdamaian-negeri-mamala-morela-melalui-proses-panjang
  2. https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/07/19/oakej2385-menutup-luka-rusuh-ambon-damai-morella-mamala-part2
  3. https://www.liputan6.com/news/read/113052/warga-mamala-morela-perang
  4. https://kumparan.com/kumparannews/tangan-dingin-pangdam-pattimura-tuntaskan-konflik-morella-mamala/full

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *