Layangan Putus: Upaya Bebas dari Hubungan Toksik

Kabar Sinema160 Views

Oleh: Luthfi Assyaukanie

Saya jarang nonton film Indonesia. Apalagi sinetron. Hanya film-film yang direkomendasikan banyak orang yang saya tonton. Biar tidak ketinggalan kereta dan tahu apa yang sedang dibicarakan orang.

Layangan Putus salah satunya. Film ini lagi heboh dibicarakan orang. Semula saya tak tertarik menontonnya. Judulnya mengingatkan saya pada lagu dangdut atau judul sinetron murahan. Gak ada menarik-menariknya

Tapi, karena timeline medsos saya dibanjiri klip dan perbincangan seputar film itu, ya jadi terpaksa lihat juga. Setelah lihat episode pertama, jadi penasaran ingin melihat kisah selanjutnya. Hingga berlangganan WeTV untuk melihatnya sampe tuntas.

Tema cerita film ini biasa banget. Gak ada yang baru. Perselingkuhan adalah tema abadi yang sering diangkat sutradara ke layar kaca. Yang membuat serial film ini agak beda, ada Reza Rahadian dan beberapa nama besar. Saya duga, banyak orang tertarik menonton film ini juga karena aktornya.

Yang membuat saya kagum dengan film ini, selain para pemainnya yang berakting normal –tidak seperti kebanyakan sinetron yang lebaynya tak ketulungan– scene-nya beda dari kebanyakan film Indonesia. Dari awal hingga akhir film, saya melihat sebuah wajah Indonesia yang “normal”, yang seharusnya terjadi, bukan potret buram masyarakat beragama yang sumpek.

Baca Juga: Mengeksplorasi Kehidupan dan Belajar Memaknainya

Hampir di sepanjang film, saya tak melihat adanya pemandangan agama, kecuali di bagian pemakaman dan sidang perceraian. Sisanya adalah kehidupan normal, manusia sebagai tumpukan darah dan daging. Ini film yang sangat berani dan melawan tradisi film-film Indonesia yang mengeksploitasi agama.

Saya salut dengan penulis skrip dan sutradaranya, yang menjadikan film seri ini berkelas. Dialog-dialognya kuat sekali, dengan campuran Indonesia-Inggris, yang mewakili kehidupan kelas menengah, modern, dan rasional.

Biasanya, tema-tema perselingkuhan seperti itu sangat sarat dibumbui agama. Sutradara medioker akan tergoda untuk mengundang ustad atau tuhan ke dalam filmnya. Lalu, mempertontonkan adegan nasihat dan pesan-pesan menggurui.

Layangan Putus memilih cara lain bagaimana manusia mencari solusi dalam menghadapi suatu persoalan terutama persoalan dalam hubungan toksik, bagaimana tokoh utama berusaha keluar dan dengan berani melawan relasi toksik tersebut. Pesan tersebut disampaikan dengan gamblang tidak melulu lewat agama. Mestinya film-film serial Indonesia dibuat seperti ini, biar bisa dijual ke luar negeri, seperti drama Korea atau drama-drama Amerika Latin yang banyak bertebaran di Netflix.

“Kenapa Cappadocia, Mas? Why? It’s my dream, not hers.”

Penulis:  Luthfi Assyaukanie

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *