Landasan Filosofis Kebebasan Beragama di Indonesia

Peaceditorial152 Views

Kabar Damai, 07 Mei 2021

Jauh sebelum Indonesia merdeka hamparan kepulauan di Nusantara ini merupakan pulau-pulau yang dihuni oleh masyarakat beragam suku, etnis, dan juga agama atau keyakinan. Berdirinya Negara-bangsa yang terwujud dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan perwujudan dari kehidupan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda dan beraneka ragam itu.

Untuk itu pula lah Bhinneka Tunggal Ika menjadi prinsip kunci kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Air kita ini. Pendirian Negara-bangsa ini meleburkan identitas-identitas kultural yang ada di masyarakat dalam sebuah kesatuan besar. Dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Ir. Soekarno, Presiden pertama RI, menegaskan hal ini:

“Kita tidak mendirikan Negara untuk satu orang, satu golongan, tetapi semua untuk semua, satu buat semua, semua buat satu, dan agar Negara menjadi kuat perlu permusyawaratan perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat terbaik untuk memelihara agama. Dengan mufakat kita perbaiki semua hal yang bersangkut paut agama. Golongan agama dapat memanfaatkan dasar ini untuk memperjuangkan kepentingannya.”

Baca Juga: Puasa, dari Ritualisme ke Emansipatoris

Dalam pidato tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam buku pedoman Pemerintah Daerah dalam Perlindungan Hak Beragama atau Berkeyakinan (Agoes Djazoeli, dkk., 2015: 33-34), Presiden Soekarno menegaskan bahwa pendirian Indonesia merupakan kebutuhan seluruh komponen bangsa dan setiap orang berhak untuk memperjuangkan kepentingannya, termasuk dalam hal agama.

Untuk itu pula, sebagai perpanjangan tangan dari setiap komponen rakyat Indonesia, Negara (baca: Pemerintah) harus mampu memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan mendasar warga Negara di bidang agama dan keyakinan, yang juga merupakan mandate kemerdekaan bangsa Indonesia.

Dengan mengkontruksi Negara sebagai “semua buat semua”, urai buku pedoman tersebut, para pendiri bangsa mendefinisikan Negara sebagai sebuah kerangka universal yang menyangkut berbagai system nilai yang particular termasuk agama, kelas social, etnis dan golongan.

Dengan meletakkan Negara sebagai ‘pemersatu’, Soekarno memandang kondisi kemajemukan sebagai semacam ‘kondisi alamiah’ yang secara generic mendasari semua masyarakat sebelum sebuah negara bangsa dibangun.

Mohammad Hatta yang menjadi Wakil Presiden jnuga mengungkapkan hal senada. Secara implisit, ia menandaskan bahwa Indonesia bukan Negara agama, sehingga pendirian bangsa Indonesia harus mampu mengakomodasi identitas-identitas kultural dan antropologis segenap komponen bangsa yang telah lama tumbuh dan berkembang.

Pandangan kedua ploklamator bangsa dalam Sidang BPUPKI ini menunjukkan bahwa kerukunan, rasa kebangsaan dan persatuan dalam berbangsa hanya bisa tumbuh dan terbina jika setiap entitas particular agama bersukarela mendahulukan konsep bangsa dan rasa kemanusiaan.

Di dalam diri Hatta, sebagaimana dinukil dalam buku pedoman (h. 34), sikap mendahulukan bangsa dan kemanusiaan merupakan refleksi dari sikap religious yang terdalam, sehingga dengan mendahulukan kebangsaan dan kemanusiaan, agama bukan dilemahkan atau donomorduakan melainkan justru diperkokoh dan dimanifestasikan dalam etika social yang keokret. Sikap, pandangan dan kesadaran menerima keragaman menjadi bagian penting dari semangat kebangsaan dimunculkan oleh para pendiri Republik ini.

Oleh karena itu, penting bagi setiap penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk memahami landasan ideal, landasan konstitusional dan landasan konseptual kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia untuk menjadi acuan dasar dalam pengelolaan hak beragama dan berkeyakinan.

Pertama, landasan ideal. Pancasila merupakan landasan ideal dalam menjalankan kehidupan nasional dan menjadi landasan dasar bagi seluruh komponen bangsa untuk mencapai cita-citanya. Di dalamnya tercantum tujuan dasar Indonesia , yaitu melindungi segenap tumpah-darah bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Kedua, landasan Konstitusional. UUD 1945 merupakan landasan konstitusional bangsa dan Negara Indonesia. Seluruh produk hokum dan perundang-undangan yang mengatur pelbagai permasalahan nasional dan penyelenggaraan Negara di tingkat pusat dan daerah tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 sebagai dasar hukum formal tertinggi di Negera Republik Indonesia.

Pasal 28E UUD menjamin hak setiap orang bebas memeluk dan beribadat menurut agamanya. Agama merupakan hak asasi setiap orang, karena UUD menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurit agama dan kepercayaannya itu.

Ketiga, landasan konseptual. Wawasan nusantara adalah landasan visional atau konseptual bangsa Indonesia dalam menciptakan dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, termasuk kaitannya hak beragama atau berkeyakinan.

Hal ini mengandung cara pandang dan sikap beragama Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba majemuk, seperti keragaman agama, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. [ ]

Ahmad Nurcholish, Pemimpin Redaksi Kabar Damai, Deputy Direktur ICRP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *