Ku Temui Tuhan di Belakang Rumah

Opini, Sastra816 Views

Oleh Muhamad Dopir

Sudah lama saya menyukai tanaman hias. Tiap kali lewat depan rumah milik siapa pun, saya kerap penasaran tanaman apa yang ditanam si empunya di teras. Ada spirit kehidupan yang terpancar dari pemandangan sederhana di beranda rumah, melalui tanaman yang tumbuh dan dirawat oleh penghuni rumah.

Dasar penakut, saya tak pernah berani memelihara tanaman sendiri di rumah. Pasalnya, jika saya jumpai di rumah tertentu ada tanaman yang mati, tanah di potnya kering, saya sering membatin, “teganya si pemilik rumah, membiarkan tanaman itu kering lalu mati. Kau nikmati indahnya, tapi malas merawatnya. Sering pula, setelah mati membuang begitu saja lantas menggantinya dengan yang baru”.

Saking takut tak bisa merawat, tak sempat-sempat terlintas untuk memelihara sendiri di rumah. Pasti saya akan dihantui rasa bersalah jika ada tanaman yang mati.

Baca Juga: Melebur Bersama Tuhan dengan Tarian

Suatu kali, satu kepingan hikmah pandemi saya nikmati. Seorang teman mengajak saya menemui petani yang menggarap hutan sosial di Guci, kaki gunung Slamet. Selain sayur, di lahan garapannya tersaji pula tanaman hias yang beragam sekaligus beraneka warna. Dalam hati kecil, sedikit keberanian tumbuh. Saya ingin memelihara tanaman di rumah walau sebatang atau dua saja.

Lecutan keberanian itu muncul, bukan hanya karena nafsu merengkuh indahnya warnawarni bunga, tapi juga lantaran kata-kata pak tani yang bersahaja ini sungguh menyentuh.

“Di sini, bukannya kami tak khawatir, kalau lah korona menyambangi kami, pasti kalian yang membawanya. Tapi kalau itu garis takdir, tak masalah. Sepenuh hidup saya ini sangat dekat dengan sumber kehidupan, air melimpah, oksigen tak kurang. Andai makhluk renik itu menyerang jua, apalah artinya kemalangan kecil itu dibanding rejeki lahir batin yang sudah saya nikmati”.

Beliau merasa dekat sekali dengan Tuhan, Sang sumber kehidupan, melalui air yang mengalir, udara segar, tanaman yang tumbuh, pemandangan yang memanjakan mata, orang yang berkunjung, serangga yang membangun rumah, hewan liar yang melintas dan banyak lagi yang ia sebutkan. Saya tak ingat semuanya.

Keinginan kecil saya bersambut, saya dibolehkan membawa sebanyak yang saya mau jika ingin menanam di rumah. Akhirnya saya memilih tiga jenis, itu pun beberapa helai saja. Tak tahu juga nama tanamannya. Saya masih dihinggapi ragu. Yang pasti, saya mau juga menghayati pengalaman spiritual, dekat dengan Sang sumber kehidupan melalui tanaman yang sedikit ini. Karena tak begitu suka dengan media pot, saya menyemainya di teras depan yang menyisakan tanah tak seberapa luas, hanya dua kali setengah meter persegi.

Sempat merasa lucu sendiri, tanaman yang cuma beberapa batang itu tampak tak ada sedap-sedapnya dipandang. Saya berangan, kalau saja rimbun pasti enak dilihat. Pantas, sewaktu menanam, orang yang lewat seolah mengatai saya dengan sorot pandangnya. Tapi saya menghibur diri, menyaksikan ia tumbuh, itu keindahan dari sisi yang lain. Saya menikmatinya.

Dan benar, sambil menyesap kopi pagi atau malam, sembari menyiraminya, denyut bertumbuhnya tanaman itu menjalar juga ke saya. Bagi yang memuja empirisme atau tak suka mengaitkannya dengan hadirnya Tuhan, proses tumbuhnya tanaman itu merupakan proses biologi, proses kimiawi, dan proses fisika yang wajar saja. Sekaligus itu sebab pertama kehidupan si tanaman. Kata imam Al Ghazali, sebab pertama adalah Tuhan. Ada kehendak Sang sumber kehidupan di sana. Dan saya setuju.

Seiring waktu, tanaman ini beranjak kuat dan tumbuh cabang yang banyak. Cabangcabang itu saya petik lalu ditanam lagi. Hidup. Saya merasa senang, akhirnya bisa juga merawat tanaman hias. Saya menanam beberapa tangkai cabang di belakang rumah. Juga dengan luas yang mungil. Dan sukses pula. Tanaman yang saya semai tumbuh subur dan segar.

Seminggu ini, tanaman saya yang di belakang rumah tampak kerontang,walau tak kering. Tinggal batang dan cabang tanpa daun yang berwarna merah keunguan, satunya lagi tak cuma daun, bunganya yang merah muda dan oranye juga raib. Persis terlihat seperti tulang tanpa daging. Bahkan ada pula batang yang tampak kacau dan patah. Rupanya ayam tetangga yang tak pernah saya undang, pelaku perusakan itu. Beruntung tanaman itu tidak mati.

Semula saya marah, pernah melempar kerikil kecil pada ayam yang sedang mencokok tanaman saya dengan lahap. Selang waktu, saya jadi tak enak hati dengan ayam yang sempat saya lempar batu kecil. Bukankah itu proses alam yang wajar belaka. Bagian dari rantai makanan. Ada kehendak Tuhan di sana. Kenapa saya marah.

Bukankah itu berarti pengingkaran. Ingin menikmati spiritualitas tapi mengkhianati nilai-nilainya. Mana bisa. Tanaman itu meski tinggal batangnya, tetap saya jaga, saya sirami. Kalau ada ayam yang masih menghampiri saya usir sewajarnya, tidak dengan kasar. Tapi kalau tak tahu, apa boleh buat. Biarlah ayam itu menikmatinya, juga sewajarnya.

Dalam nurani saya mengatakan, “Tuhan, saya merasakan hadirMu di sini, di belakang rumah, di taman sempit tapi meluaskan hati. Saat Kau kirim angin lembut menerpa daun sang kembang, saat Kau antar ayam mematuk daun yang segar, dan ketika Engkau getarkan batangnya tumbuh kuat dan bercabang.

Menurut saya, pengalaman spiritual itu adalah penghayatan cinta. Cinta yang kudus, yang tetap berkilau indah tanpa menyertakan nafsu, apalagi ego. Tindakan saya Mengusir ayam yang memakan daun tanaman dengan cara kasar itu bukan cinta, sekadar cinta semu yang memuja kesenangan, memuja keberhasilan menanam, memuja indahnya tanaman bukan memuja Tuhan.

Pengalaman spiritual bagi saya, seharusnya melahirkan sikap lembut, empati dan rendah hati. Bukan kemarahan. Terlebih merasa sah berhak marah karena diri telah dekat dengan Tuhan, dekat dengan kebenaran. Bukankah itu kesombongan.

Hari-hari ini, marah semacam itu sangat terasa. Membagikan kabar palsu itu bentuk kemarahan. Bepergian yang tak mendesak, berkerumun tanpa melakukan protokol kesehatan juga ekspresi kemarahan. Bahkan, berjamaah di masjid dalam situasi yang getir karena wabah yang meluas, sesungguhnya rupa kemarahan.

Ada baiknya kita menghikmahi kesulitan ini dengan cara pandang kebaikan. Kesendirian tak selalu bermakna susah. Bukankah banyak karya besar lahir ketika kesendirian menjadi teman.

Nasihat Gede Prama ini patut kita resapi, “penyakit adalah malaikat kecil yang dikirim Tuhan justru untuk keselamatan. Dengan berpikir jernih, penyakit menawarkan perubahan positif. Yang biasanya abai soal makanan, sekarang lebih bijak memilih yang menyehatkan.

Kesibukan kerap melebarkan jarak dengan keluarga, dengan sakit kedekatan dengan keluarga tak harus dijadwalkan. Target pencapaian sering juga menerabas waktu istirahat, melalui sakit istirahat lebih sempurna”. Tuhan memang begitu dekat. Kadang justru kita yang melupakan. Terlampau keruh oleh ilusi masa depan atau sakit oleh bayangan masa lalu.

Hari ini merupakan perayaan idul adha. Saya tak ingin menghadap Tuhan di masjid, saya ingin bertemu Dia di sini, di teras belakang, di taman mungil dengan tanaman tanpa daun. Sembari menikmati kopi pagi, saya hendak menasihati diri, “Tuhan, ada-Mu terasa dekat. Tanaman ini tetap Kau beri nyawa walau sudah tercabik. Tapi saya yakin, tanaman itu tak mendendam. Saya tak berangkat ke masjid untuk sholat idul adha, tapi bukan tak suka menghadapmu. Saya yakin Engkau mau ku temui di sini, di belakang rumah, di taman sederhana, pohon yang sederhana. Semoga Engkau berkenan “.

Duka silih berganti. Di tengah keganasan pandemi ini, kabar duka tak kunjung mereda. Sirine ambulance tak saja melambatkan laju kendaraan lain. Tapi juga menghentikan langkah, menjeda percakapan yang berlangsung untuk sekadar mengingat betapa banyak yang Tuhan panggil di masa-masa seperti ini.

Saya sendiri tak kuasa menahan sedih, seorang sahabat semasa SMA, semalam dipanggil-Nya. Lama tak jumpa, pernah merencanakan bertemu tapi belum ada kesempatan.

Hari ini ia pergi selamanya.Sahabat saya yang lain, dokter dan perawat tak kurang dukanya. Menyelamatkan nyawa adalah prioritas. Memilih pasien mana yang harus mendapatkan oksigen sementara persediaannya terbatas, itu sungguh menyakitkan. Mereka melayani masyarakat melampaui jam kerjanya.

Mungkin salah satu doanya, “ya Tuhan, Dzat yang menggerakkan hati, sadarkanlah mereka, berkumpul, berkerumun, berjamaah itu terlampau bahaya di masa sulit ini. Virus bisa menyerang tanpa ampun dan lekas. Gerakkanlah hati mereka, bahwa diam di rumah dengan, tak mengurangi hidmat untuk mendekap-Mu”.

Dan doa saya, “semoga Engkau berkenan ya Tuhan, ku temui di sini, di belakang rumah, di taman mungil dengan tanaman yang tetap teguh bertumbuh. Walau terkoyak, tercabik, ia berkorban melayani ayam yang lapar. Semoga para tenaga kesahatan juga tetap Kau teguhkan kesabaran dan ketabahan, dan dengan itu ia merasakan CintaMu. Amin”

Muhamad Dopir, Guru Bineka YCG, Pengajar di Pondok Pesantren Nihadlul Qulub,

Pemalang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *