Krisis Ekologis dan Krisis Spiritual: Memahami Sekilas Wajah Miris Modernitas

Opini114 Views

Oleh: Nabih Rijal Makarim

Dewasa ini, umat manusia tengah mengalami suatu masa di mana persoalan yang menyelimutinya telah mencapai titik puncak krisis multidimensional: lingkungan, budaya, politik, ekonomi, hukum, sosial, dan lain-lain.

Asumsi demikian tentu berangkat dari fakta bahwa dinamika perkembangan zaman telah begitu intens dan masif, efeknya bukan saja terjadi peningkatan kualitas teknologi informasi, tetapi hal tersebut nyatanya berbanding lurus dengan semakin kompleksnya permasalahan yang selalu membayang-bayangi umat manusia.

Dalam konteks kemajuan, kita semua telah memiliki prestasi peradaban di berbagai bidang kehidupan, misalnya teknologi komunikasi. Kita sering menyambutnya dengan memberi label “modernitas”—bahwa saat ini sendi zaman telah mengalami pergeseran dari budaya tradisional ke rasional (modern).

Dalam konteks kemunduran, salah satu hal yang miris adalah terkait krisis lingkungan yang sedikit banyaknya telah dan selalu dirusak oleh teknologi itu sendiri. 

Modern, Modernitas, dan Modernisasi

Proses modernisasi yang telah berlangsung ini memang faktanya selalu memberikan efek ganda (janus face): baik-buruk, positif-negatif, dan lain sebagainya. Implikasi baik maupun positifnya, teknologi sudah begitu canggih sehingga mampu memudahkan berbagai pekerjaan manusia.

Jarak antarmanusia sudah tidak lagi menjadi hambatan untuk saling berkomunikasi.

Ponsel pintar (smartphone) telah berhasil melampaui sekat-sekat geografis yang sebelumnya menjadi alasan untuk tidak bisa berinteraksi secara efisien dari lokus manusia yang berkejauhan.

Baca juga: Negara Indonesia dan Agama Pancasila!

Akses terhadap informasi dari ujung dunia sudah menjadi makanan sehari-hari. Implikasi buruk maupun negatifnya, ada banyak begitu informasi palsu (hoax) yang menjamur secara bebas di ruang-ruang maya.

Polarisasi sosial begitu mudah terjadi hanya dengan lewat media sosial. Namun demikian, dalam konteks yang lebih filosofis, gejala modernisasi ini setidaknya mengindikasikan terjadinya kemerosotan spiritual.

Modernitas sudah begitu sombongnya dengan selalu menuhankan rasionalitas manusia dan kejayaan sains. Hal tersebut sangatlah buruk karena menyebabkan sumur spiritualitas menjadi kering serta hampa.

Sesungguhnya, kemajuan visi rasionalisme manusia yang tanpa dibarengi dengan pendalaman penetrasi spiritualisme akan menciptakan dunia yang gersang terhadap esensi kehidupan manusia itu sendiri.

Ibaratnya, elemen spiritual manusia dapat menjadi aparatus untuk memonitori dan mengontrol berbagai tindakan rasional manusia. Jika tidak ada alat pengendalinya, maka manusia akan menjadi makhluk yang rakus dan eksploitatif (anthropocene).

Dalam dimensi ekologis, hal demikian terbukti ketika logika ekonomi kapitalisme yang monopolistik (hegemonik) menjadi paradigma elite oligarki, ada banyak sekali lingkungan global yang telah dieksploitasi demi kepentingan pribadi maupun kelompoknya.

Praktik tersebut tentu berdasarkan pada kalkulasi rasional tanpa ada panduan spiritual yang mendalam.

Seorang pemikir keagamaan terkemuka, Seyyed Hossein Nasr, dalam Problematika Krisis Spiritual Manusia Kontemporer (2022) dengan sangat tegas memberi refleksi terhadap konstelasi kehidupan saat ini, “Perasaan dominasi atas alam dan konsepsi materialistis tentang alam pada manusia modern terpadukan, terutama, dengan nafsu dan rasa keserakahan sehingga menjadikan tuntutan yang semakin besar terhadap lingkungan” (hlm. 29).

Dengan begitu, manusia ipso facto kerap kali menjadi akar dari semua masalah yang ada di bumi, terkhusus terkait lingkungan.

Spiritualisme adalah Kunci

Hemat penulis, percikan-percikan spiritual akan selalu menjadi lentera moral yang dapat memandu berbagai aktivitas keseharian manusia dalam bermasyarakat. Dengan menempuh jalur spiritual, manusia dapat merenungi secara matang atas relasi simbiosisnya dengan lingkungan sekitar (alam).

Di samping itu, dengan diaktifkannya kembali tradisi spiritualisme dalam kerangka zaman modern, maka kode kehidupan umat manusia hanyalah cinta kasih pada semuanya, termasuk aspek ekologis. Dalam konteks yang lebih luas, idealnya perlu ada kolaborasi etis antara rasionalitas dengan spiritualitas manusia.

Di satu sisi, kita dapat memajukan berbagai sendi-sendi kehidupan material menjadi lebih canggih dan futuristik, tetapi di sisi lain kemajuan juga perlu dihadirkan dalam aspek metafisikal agar dapat terhindar dari prahara kehidupan yang dibuat oleh manusia itu sendiri.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *