Kabar Damai | Senin, 25 April 2022
Jakarta I Kabardamai.id I Suaib Prawono, Koordinator Wilayah GUSDURian Sulawesi dalam program Ngaji Ramadan menjelaskan tentang bagaimana Islam memandang konsep Al-Khair dan Al-Ma’ruf. Hal tersebut juga kemudian ia jelaskan dalam perspektif bapak toleransi yaitu Gusdur.
Diawal pemaparannya, ia menjelaskan bahwa bagi Gusdur kearifan lokal bukanlah sesuatu yang hampa bahkan syarat dengan nilai-nilai. Bahkan, agama dapat berkembang diseluruh penjuru nusantara karena bertumpu atau menggunakan tradisi yang ada pada kehidupan masyarakat sehingga tidak mengerankan ketika Islam dapat menyebar ke seluruh antero nusantara karena prinsip Islam yang ada di nusantara bukan paham tafsir keagamaan yang memusuhi tradisi atau kebudayaan lokal.M
Lebih jauh, menurutnya hal ini karena Islam yang ada di nusantara adalah corak keagamaan yang mengakomodasi nilai-nilai kearifan lokal. Darisini kemudian terjadi perjumpaan antara nilai-nilai universal agama dan tradisi lokal atau dengan kata lain dikenal dengan perjumpaan antara Al-Khair wal Ma’ruf.
Al-Khair adalah sesuatu yang mutlak dan bersifat universal, sementara Al-Ma’ruf yang kemudian sering dimaknai dengan tradisi atau kehidupan kearifan yang berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat.
Baca Juga: Islam Indonesia – Islam Watasiyah
Perjumpaan antara Al-Khair dan Al-Ma’ruf kemudian menciptakan corak baru atau wujud keberagamaan baru dalam kehidupan masyarakat, yaitu dapat ditemukan dalam statement yang disampaikan oleh Gusdur yang mengatakan bahwa tetap dapat beragama dengan baik tanpa harus tercabut dari identitas kultural.
Artinya, beragama tidak harus menjadi orang Arab terlebih dahulu. Beragama Islam tetap dapat mengekspresikan nilai-nilai keberagamaan dengan tetap mengacu pada kultur dan tradisi kehidupan yang berkembang dalam masyarakat.
Terkait dengan pembacaan Gusdur dalam nilai-nilai kearifan lokal sangat luas, terlebih bahwa Gusdur adalah seorang pembaca yang cukup gila bagi sebagian muridnya.
Gusdur ketika mencoba memaknai tulisan-tulisan sejarawan dan antropolog Sulawesi sampai pada kesimpulan bahwa orang Bugis Makassar tidak takut meninggalkan anak dan istrinya berbulan-bulan melaut dan tidak khawatir istrinya akan selingkuh dan anaknya mati kelaparan karena ia sangat yakin bahwa anak dan istrinya dilindungi oleh budaya siri’ yang menjadi pagar pelindung mereka.
Ini yang kemudian menjadi titik temu bahwasanya dalam Islam dikenal dengan malu adalah bagian dari iman. Pada titik ini, dapat ditemukan bagaimana Islam yaitu konsep tentang Al-Khair dan Al-Ma’ruf mengalami perjumpaan sehingga menemukan dan mampu mendapatkan wujud atau corak keberagamaan yang baru.
Terakhir, tradisi ini dalam pandangan Gusdur tetap diakomodasi dan dilakukan dialog selama tradisi ini tidak bertentangan atau nilai-nilai akidah yang dipahami sebagai orang yang beragama Islam.
Penulis: Rio Pratama