Kolaborasi Pentahelix: Solusi atas Darurat Kekerasan Seksual di Indonesia

Opini33 Views

Oleh Nabih Rijal Makarim

Dewasa ini, konstelasi masyarakat Indonesia tengah dihadapi oleh berbagai persoalan yang multidimensional: politik, hukum, sosial, dan lain-lain. Dalam konteks politik, kita melihat saat ini pragmatisme dan intrik yang tidak sehat telah merusak sendi-sendi moral dalam proses politik nasional maupun regional. Di sisi lain, dalam dimensi hukum, prinsip keadilan yang menjadi fundamen hukum selalu dilacurkan oleh kepentingan transaksional yang terjadi antarpenegak hukum (law enforcer). Sedangkan, dalam lanskap sosial, tampaknya hasrat Hobbesian telah mewabah sehingga berbagai moralitas sosial telah tergerus oleh beragam tindak-tanduk manusia yang negatif—terutama persoalan kekerasan seksual (sexual violence).

Kekerasan Seksual: Wajah Miris Masyarakat Indonesia

Secara definitif, dengan merujuk pada laman resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.” Secara sosiohistoris, latar belakang lahirnya rumusan definisi formal dari pemerintah bukan saja untuk menyeragamkan persepsi kita tentang makna sesungguhnya dari kekerasan seksual. Akan tetapi, dulu hingga kini kuantitas dan kualitas kasus kekerasan seksual di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan periode 2012-2021 mengidentifikasi setidaknya telah ada sekitar 46.762 laporan kasus kekerasan seksual.

Secara sosio-antropologis, intensifikasi kasus kekerasan seksual di Indonesia semakin diperparah ketika hegemoni budaya patriarkis yang cenderung mengeksploitasi dan menindas semakin dominan. Hal demikian secara tersirat telah dijelaskan oleh frasa “ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender”. Sudah menjadi rahasia umum, struktur dan kultur sosial di Indonesia masih belum bersahabat dengan prinsip keadilan ataupun kesetaraan gender (gender equality). Oleh karena itu, realitas ketimpangan gender seolah-olah menjadi celah bagi tumbuhnya iklim kekerasan seksual. Diperlukan suatu solusi yang konkret, komprehensif, realistis, dan efektif dalam rangka mencegah dan menanggulangi tindakan kekerasan seksual. Benar, bahwa zaman modern saat ini dibutuhkan upaya sinergis dan kolaboratif dari berbagai pihak untuk menyolusikan suatu persoalan bersama, khususnya kekerasan seksual. Hemat penulis, model kolaborasi pentahelix dapat menjadi solusi alternatif yang efektif.

Baca Juga : Ekofenimisme : Perempuan Penjaga Bumi

Model Kolaborasi Pentahelix dan Kekerasan Seksual

Pada dasarnya, model kolaborasi pentahelix melibatkan lima pihak dalam menyolusikan suatu problem: akademisi (academic), pengusaha (business), komunitas (community), pemerintah (government), dan media—yang kerap disingkat ABCGM. Menariknya, model kolaborasi ini umumnya digunakan untuk menciptakan ekosistem kreativitas dan inovasi dalam pengembangan ekonomi pariwisata. Akan tetapi, penulis melihat bahwa pendekatan kerja sama di atas dapat digunakan secara makro, utamanya terkait kekerasan seksual. Pada titik ini, apabila kita coba elaborasi lebih lanjut, terdapat diferensiasi peran di antara lima pilar kerja sama pentahelix.

Dalam bingkai penanganan kekerasan seksual, akademisi dapat berperan untuk merumuskan konsepsi kekerasan seksual dan memonitori sejauh mana perkembangan konsep dan praktik kekerasan seksual. Pengusaha mampu menjadi penyangga untuk memberikan modal finansial dalam rangka mendukung penanganan kekerasan seksual. Komunitas bisa mengambil peran dalam memberdayakan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menciptakan aktor-aktor penggerak perubahan. Pemerintah sebagai pemangku kepentingan tentunya dapat mereorientasi dan memproduksi kebijakan yang berfokus pada penyelesaian kekerasan seksual. Sedangkan, media mampu “mengendalikan” opini publik (public opinion) agar tumbuh persepsi yang benar dan kesadaran yang lurus terhadap masalah kekerasan seksual.

Quo Vadis Indonesia di Masa Depan?

Indonesia diharapkan menjadi bangsa besar yang berkemajuan. Segala bentuk permasalahan, khususnya kekerasan seksual, sudah menjadi persoalan bersama yang mesti kita solusikan secara kolektif. Sudah saatnya kita mengambil peran dalam rangka memajukan bangsa dan negara Indonesia. Yakin!

Penulis : Nabih Rijal Makarim, Mahasiswa Uiniversitas Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *