Oleh: Reyhan Davin Ardhionova
Tidak dapat dipungkiri lagi, hampir semua wilayah (termasuk kota) di Indonesia adalah wilayah dengan masyarakat multikultur. Para transmigran tentu lebih jelas motivasinya, yaitu mendapatkan tanah dan pekerjaan yang lebih baik di luar Jawa dan Bali.
Namun, kelompok etnis diaspora yang terdiri dari beberapa kelompok etnis tentu memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Para pendatang tersebut (transmigran, diaspora, dan migrasi lainnya) mau tidak mau harus melakukan kontak budaya dengan masyarakat setempat. Berdasarkan teori kultur dominan.
Kelompok etnis tertentu menjadi dominan di wilayah teritorialnya. Beberapa provinsi yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah lima provinsi di Jawa (Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Jawa Barat), Bali, Gorontalo, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, dan Nangroe Aceh Darusalam.
Kelompok etnis tertentu menjadi dominan di luar wilayah teritorialnya. Untuk kategori ini hanya terjadi di propinsi Lampung, dimana orang Jawa menjadi mayoritas (61,89%) diikuti dengan orang asli Lampung justru menjadi minoritas.
Beberapa etnis memiliki jumlah yang berimbang, dapat dikateorikan lagi menjadi: Perimbangan jumlah etnis dengan jumlah etnis asli lebih besar. Kategori ini kebanyakan berasal dari etnis diaspora seperti Batak, Bugis, Melayu, Minahasa, dan Buton di wilayah teritorialnya.
Selain itu, etnis Banten juga paling banyak jumlahnya meskipun tidak dominan. Beberapa propinsi yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah: Banten, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Faktor yang membuat perbedaan-perbedaan itu terutama berasal dari ilmu-ilmu perilaku manusia (Behavioral Sciences) seperti sosiologi, antropologi dan psikologi. Ilmu-ilmu sosial tersebut mempelajari dan menjelaskan kepada kita tentang bagaimana orang-orang berprilaku, mengapa mereka berprilaku demikian, dan apa hubungan antara prilaku manusia dengan lingkungannya. Penyebab tersebut telah menimbulkan banyak konflik di dalam masayarakat.
Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan, dan pembunuhan. Konflik tersebut muncul karena adanya ketidakseimbangan hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hubungan sosial, ekonomi, maupun dalam hubungan kekuasaan.
Baca Juga: Belajar Keragaman Sejak Dini Bersama Cerlang
Konflik di atas tidak hanya merugikan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat konflik tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi itu dapat menghambat pembangunan nasional yang sedang berlangsung.
Indonesia merupakan salah satu bangsa yang paling plural di dunia dengan lebih dari 500 etnik dan menggunakan lebih dari 250 bahasa. Karenanya, sebagaimana bangsa multietnik lainnya, persoalan-persoalan mengenai pengintegrasian berbagai etnik kedalam kerangka persatuan nasional selalu menjadi tema penting.
Ironisnya, setelah sekian puluh tahun kemerdekaan, pertikaian antar etnik tetap saja terjadi. Sementara pembauran antar etnik intens berlangsung terutama di daerah-daerah urban, konflik antar etnik terus terjadi. Di satu sisi di galakkan upaya untuk meningkatkan nasionalisme guna mengurangi etnosentrisme, di sisi lain tumbuh subur pemujaan etnik.
Memiliki ratusan etnik dengan budaya berlainan, yang bahkan beberapa di antaranya sangat kontras, potensi kearah konflik sangatlah besar. Ketika Koentjaraningrat mendefinisikan nilai budaya sebagai suatu rangkaian konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang di anggap penting dan remeh dalam hidup, sehingga berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku, yang tidak lain mengenai sikap dan cara berfikir tertentu pada warga masyarakat, sekaligus ia menyatakan inilah masalah terbesar dalam persatuan antar etnik (Koentjaraningrat, 1971).
Nilai budaya inilah yang berperan dalam mengendalikan kehidupan kelompok etnik tertentu, memberi ciri khas pada kebudayaan etnik, dan dijadikan patokan dalam menentukan sikap dan perilaku setiap anggota kelompok etnik. Nilai budaya-nilai budaya yang berbeda pada tiap etnik akan menimbulkan sikap dan cara berfikir yang berbeda pula.
Demikian juga dalam perilaku yang di ambil meskipun dalam masalah yang sama. Perbedaan ini potensial menimbulkan konflik terutama pada masalah-masalah yang datang dengan adanya interaksi antar etnik.
Upaya Menghindari Konfilk
Berbagai cara dan upaya agar jangan sampai terjadi konflik sangat penting dilakukan. Misalnya membuat Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi etnis dan ras hendaknya tidak hanya memfokuskan perhatian pada diskriminasi seperti yang terjadi pada etnis Papua.
Setiap manusia mempuyai kedudukan yang sama dihadapan Tuhan karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Pada dasarnya, manusia diciptakan dalam kelompok ras atau etnis yang berbeda-beda yang merupakan hak absolut dan tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa.
Dengandemikian, manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian dari ras atau etnis tertentu. Adanya perbedaan ras dan etnis tidak berakibat menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antar-kelompok ras dan etnis dalam masyarakat dan negara.
Selain itu, membangun sikap anti diskriminasi etnis dilakukan oleh pihak sekolah merupakan salah satu langkah penting yang dikaji dalam poin bahasan ini adalah bagaimana membangun sikap saling menghargai antar etnis yang dimulai melalui institusi sekolah.
Untuk mendukung langkah-langkah guru dalam membangun sikap anti diskriminasi etnis, peran sekolah juga sangat menentukan dalam hal ini. Beberapa langkah penting yang sebaiknya dilakukan pihak sekolah agar siswa dapat secara langsung belajar meningkatkan sensitifitasnya untuk bersikap menghargai etnis lain di sekolah.
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut.
Penulis: Reyhan Davin Ardhionova, Milenial Pontianak