Kabar Damai | Rabu, 31 Maret 2021
Jakarta | kabardamai.id | Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam menggelar Mudzakarah Pembina Rohani Islam Masjid Kementerian/Lembaga dan BUMN.
Melansir laman resmi Kementerian Agama RI, mudzakarah ini merupakan sarana penting dalam pelaksanaan koordinasi antara program pemerintah dan Pembina Rohani Islam dan Pengelola Masjid Kementerian/Lembaga dan BUMN menuju pencapaian strategi pembangunan nasional di bidang agama.
Mudzakarah dibuka oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang diwakili Stafsus Menag Nuruzzaman.
Direktur Penais Juraidi sekaligus Ketua Panitia menyatakan Kegiatan ini digelar aelama dua hari, 30 – 31 Maret 2021.
Hadir dalam pembukaan Mudzakarah Pembina Rohani Islam Masjid Kementerian/Lembaga dan BUMN, Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin, Sesditjen Fuad Nasar dan Direktur Penais Juraidi. Mewakili Menag, Stafsus Nuruzzaman mengawali sambutannya dengan menyampaikan permohonan maaf dari Gus Menteri karena tidak bisa hadir di pembukaan Mudzakarah.
“Gus Menteri menyampaikan permohonan maaf tidak bisa hadir di pembukaan Mudzakarah karena di waktu bersamaan ada agenda yang harus dihadiri,” ujar Nuruzzaman di Jakarta, Selasa (30/03), kutip kemenag.go.id.
Nuruzzaman menambahkan, mudzakarah Pembina Rohani Islam Masjid Kementerian/Lembaga dan BUMN ini diharapkan dapat menjadi salah satu kegiatan untuk mewujudkan masjid yang mencerminkan Islam khas Indonesia. Yaitu, lanjutnya, Islam yang mengayomi dan ramah kepada semua orang, tanpa sentimen golongan dan juga masjid yang dapat memberikan kenyamanan kepada setiap jamaah dari berbagai golongan.
“Semua ini harus dimulai dari mindset para pengurus masjid untuk menciptakan iklim rumah ibadah agar lebih familier terhadap berbagai perbedaan. Beberapa contoh konkretnya adalah penyelenggaraan kajian-kajian terbuka, menelaah buku-buku yang mu’tabarah, dan menjadwalkan para da’i atau khatib yang memiliki pandangan Islam wasathiyyah,” ujarnya.
Menurutnya Ditjen Bimas Islam, satu-satunya Direktorat yang memikul amanat cukup berat, karena mengurusi permasalahan umat dari lahir sampai liang lahat.
“Kegiatan ini tidak lain adalah bentuk kepedulian Kementerian Agama terhadap masjid Kementerian/ Lembaga dan BUMN, untuk meningkatkan kualitas materi dakwah di lingkungan masjid tersebut,” tandasnya.
Hal itu, jelas Nuruzzaman, tidak akan terwujud tanpa adanya peningkatan kualitas para pengurus dan pendakwah itu sendiri.
Sejatinya, sambung Nuruzzaman fungsi masjid bukan hanya tempat untuk ibadah. Masjid juga dapat difungsikan sebagai sarana pembinaan umat.
Baca juga: Memahami Moderasi Beragama dan Apa Urgensinya?
Tanamkan Nilai-nilai Keislaman dalam Bingkai Kebangsaan
Fungsi masjid sebagai tempat ibadah tidak perlu dipertanyakan lagi, akan tetapi fungsi masjid sebagai sarana pembinaan umat memerlukan inisiatif, baik dari pengurus ataupun para pendakwah yang secara aktif memakmurkan masjid.
“Bahkan, masjid juga idealnya dapat dijadikan sarana menanamkan nilai-nilai keislaman dalam bingkai kebangsaan. Sehingga, ajaran-ajaran yang tertanam di dalam sanubari umat adalah ajaran Islam yang moderat, Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” ujarnya.
“Materi-materi yang disampaikan di dalam masjid-masjid tersebut haruslah berbasis moderasi beragama dan tidak ada sentimen golongan dan paham keagamaan sehingga dapat membuat setiap jama’ah yang masuk ke dalam masjid tersebut merasakan kenyamanan,” harap Nuruzzaman.
Sesuai jadwal akan hadir sebagai Narasumber yaitu, Dirjen Bimas Islam, Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid, dan Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Muhammad Jusuf Kalla.
Juraidi mengatakan, dengan kehadiran para narasumber tersebut ia berharap dapat memperkaya wawasan tentang perkembangan dakwah di Indonesia.
Urgensi Moderasi Beragama
Moderasi beragama diperlukan karena keragaman dalam beragama itu niscaya, tidak mungkin dihilangkan. Ide dasar moderasi adalah untuk mencari persamaan dan bukan mempertajam perbedaan.
Lukman Hakim Saefuddin ketika menjabat sebagai Menteri Agama, dalam buku Moderasi Beragama, Kementerian Agama RI, 2019, menyebut setidaknya tiga alasan utama mengapa kita perlu moderasi beragama:
Pertama, salah satu esensi kehadiran agama adalah untuk menjaga martabat manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan, termasuk menjaga untuk tidak menghilangkan nyawanya. Itu mengapa setiap agama selalu membawa misi damai dan keselamatan.
Untuk mencapai itu, agama selalu menghadirkan ajaran tentang keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan; agama juga mengajarkan bahwa menjaga nyawa manusia harus menjadi prioritas; menghilangkan satu nyawa sama artinya dengan menghilangkan nyawa keseluruhan umat manusia. Moderasi beragama menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Kedua, ribuan tahun setelah agama-agama lahir, manusia semakin bertambah dan beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, beraneka warna kulit, tersebar di berbagai negeri dan wilayah. Seiring dengan perkembangan dan persebaran umat manusia, agama juga turut berkembang dan tersebar. Karya-karya ulama terdahulu yang ditulis dalam bahasa Arab tidak lagi memadai untuk mewadahi seluruh kompleksitas persoalan kemanusiaan.
Teks-teks agama pun mengalami multitafsir, kebenaran menjadi beranak pinak; sebagian pemeluk agama tidak lagi berpegang teguh pada esensi dan hakikat ajaran agamanya, melainkan bersikap fanatik pada tafsir kebenaran versi yang disukainya, dan terkadang tafsir yang sesuai dengan kepentingan politiknya.
Maka, konflik pun tak terelakkan. Kompleksitas kehidupan manusia dan agama seperti itu terjadi di berbagai belahan dunia, tidak saja di Indonesia dan Asia, melainkan juga di berbagai belahan dunia lainnya. Konteks ini yang menyebabkan pentingnya moderasi beragama, agar peradaban manusia tidak musnah akibat konflik berlatar agama.
Ketiga, khusus dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan. Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya. Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya.
Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal, beberapa hukum agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin berkelindan dengan rukun dan damai. [ ]
Penulis: Ahmad Nurcholish
Editor: –
Sumber: kemenag.go.id
Comment