Oleh: Lodriko Geovandi Sinaga
Suku Batak adalah salah satu suku yang sangat dikenal di Indonesia bahkan mancanegara. Keberagaman adat, budaya dan tradisi yang masih melekat dan terjaga bagi sebagian masyarakatnya, yang masih tinggal di daerah tanah Batak atau di sekitaran Danau Toba, Sumatera Utara. Namun, berbeda cerita dengan sebagian masyarakat Batak yang merantau atau bahkan lahir dan menetap di luar daerah Sumatera Utara. Mereka kebanyakan tak mengenal budayanya sendiri bahkan menganggap budayanya itu sebagai suatu hal yang buruk dan salah jika dia lestarikan.
Mengenali Suku Batak dan Agama Lokal Parmalim
Parmalim dibentuk oleh seorang bernama Guru Somalaing Pardede. Dia adalah seorang keturunan Parbaringin (kelompok pendeta agama Batak yang berkiblat kepada Sisingamangaraja) dan juga berprofesi sebagai seorang Datu Bolon (Dukun Besar). Pada zamannya beliau merupakan tokoh intelektual di masyarakat Batak yang beragama campuran: kepercayaan kepada Tuhan Ompu Mulajadi Nabolon (kadang disebut dengan agama Parbaringin atau agama Batak), Animisme (kepercayaan kepada arwah orang mati atau Sipelebegu) dan Dinamisme (kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan alam seperti Boru Sanyang Naga, Naga Padoha, Boraspati ni tano, Homang dll).
Beliau adalah seorang tokoh perjuangan melawan penjajahan Belanda dan membantu Sisingamangaraja XII sebagai seorang Penasehat. Perjuangan Sisingamangaraja XII mengalami pasang surut setelah kalah dan terluka dalam perang di Laguboti, Balige dan Bakkara tahun 1883.
Kemudian Somalaing Pardede bertemu dengan Emilio Modigliani, seorang dokter forensik dari Italia, yang juga seorang ilmuwan topografi, yang sebelumnya pernah mengunjungi Nias dan Baccarat. Ketika Modigliani berada di Bakkara , dia mengatakan kepadanya bahwa dia berasal dari Roma. Setelah itu, Somalaing Pardede menerima banyak pendapat tentang doktrin Kristen selama interaksinya dengan Modigliani.
Kekristenan dan Agama Parmalim Saling Berdampingan
Pernyataan tentang pembedaan agama dan adat dalam konteks sekarang bisa dipatahkan melalui beberapa acara-acara besar seperti pernikahan, kematian, dan acara apapun yang dulunya merupakan bagian dari ritual agama pertama batak, yakni Parmalim. Banyak yang tak sadar akan hal ini, beberapa acara tersebut, dulunya diperingati dan dilaksanakan terlebih dahulu jauh sebelum kekristenan masuk ke Tanah Batak dengan cara ritual adat (Parmalim), yang sekarang diubah menjadi ke dalam bentuk liturgis kristen, atau dogma dan ajaran gerejanya masing-masing.
Dari seluruh uraian mengenai agama Parmalim di atas, kita sudah melihat bahwa agama Parmalim lah yang masih memegang teguh tradisi leluhur.Ajaran kemasyarakatan lisan mereka juga menuntun untuk hidup saling menghargai baik sesama ataupun berbeda agama. Seluruh ritual dan kegiatan mereka, masih dilakukan secara tradisional.
Baca Juga: Anjangsana ke Parmalim, Belajar Setia dengan Tulus
Kalau bukan karena mereka, mungkin kebudayaan asli leluhur batak sudah hilang. Jika Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) sebagai aliran kekristenan berlandaskan Budaya Suku Batak, menurut saya pribadi HKBP masih tetap menjalankan budaya Batak dengan baik, namun di sisi lain, adat yang dipergunakan di HKBP tidak sepenuhnya murni seperti yang dilakukan oleh Parmalim.
Contohnya dalam hal bahasa, alat musik yang sudah didesain sesuai dengan perkembangan zaman, serta ritual keagamaan yang sudah bercorak kekristenan. Dan bahkan, tak jarang juga beberapa orang Kristen Batak yang menolak adat di kehidupannya, seperti contoh penggunaan alat musik “Gondang” yang dianggap sebagai pemanggil roh leluhur atau “parbegu-beguon”.
Satu sisi saya juga bingung, banyaknya jemaat kristen yang beranggapan seperti ini, doktrin yang sudah melekat bahwa warisan budaya merupakan “hal mistis”, memandang dari sudut pandang itu dan tak mau merubah pemikiran dan pandangan mereka bahwa itu adalah “seni dan warisan leluhur”.
Cukup heran juga melihat jemaat kristen yang beranggapan seperti itu, mereka sudah melabeli diri mereka dengan “Kristen”, namun masih percaya jika mengikuti adat, kita dihinggapi setan dan akan sering kerasukan. Sungguh aneh, kristen namun tak memiliki iman, tiap hari mengaku membaca Alkitab dan suka mendengarkan Firman-Nya namun percaya akan dihinggapi setan.
Untuk itu, kedepannya tidak ada lagi pengucilan terhadap penganut penghayat lokal, hidup berdampingan dengan saling toleransi apabila terjadi akan sangat indah. Pandang mereka (parmalim) sebagai kunci pemegang warisan budaya asli leluhur yang masih terjaga, karena kita adalah satu. Perbedaan agama tak menjadi masalah, tetapi rasa kemanusiaan dan persaudaraan adalah kunci utama.
Penulis: Lodriko Geovandi Sinaga, Mahasiswa Filsafat Keilahian 2020, Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta
Editor: Ai Siti Rahayu