Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Menurut Islam

Kabar Utama1490 Views

Kabar Damai I Minggu, 28 November 2021

Jakarta I kabardamai.id I Kebebasan seorang individu dalam memilih keyakinannya tanpa paksaan apapun menjadi salah satu nilai yang sangat dijaga dan dipelihara di dalam Islam.

Seorang pakar ilmu ushul, Syaikh al-Thahir ibn Asyur, berpandangan bahwa salah satu dasar syariat (ushûl al-syarî’ah) adalah kebebasan berkeyakinan dengan melarang berbagai sarana pemaksaan.

Selain itu, syariat juga mengharuskan kepada setiap penganut agama agar menjaga keyakinannya dengan menegakkan kebenaran, serta menghindari fitnah (kekacauan) dengan tidak mencela keyakinan orang lain yang berbeda.

Dan salah satu tujuan jihad di dalam syariat sesungguhnya adalah menjaga kebebasan berkeyakinan serta pluralitas agama tanpa adanya paksaan.

Menurut Roland Gunawan, Peneliti Public Virtue Reasearch Institute salah satu kaidah Islam terbesar dan juga merupakan salah satu rukun toleransi  adalah Islam tidak membolehkan siapapun memaksa seseorang untuk masuk ke dalam agama tertentu, dan tidak membolehkan siapapun memaksa seseorang untuk keluar dari agama tertentu.

Untuk menjamin tidak adanya paksaan, Islam memerintahkan umat Muslim untuk kukuh menjaga keyakinan mereka dari rongrongan orang lain serta melakukan dakwah dengan hikmah (kebijaksanaan), maw’izhah hasanah (nasihat yang baik), serta mujâdalah bi al-latîy hiya ahsan (berdebat dengan cara terbaik).

“ Allah ‘Azza wa Jalla tidak membangun perintah keimanan di atas paksaan dan kekerasan, tetapi di atas keteguhan dan pilihan. Paksaan dalam hal agama merupakan sebentuk kebatilan dan dapat menghilangkan esensi makna ujian Allah terhadap hamba-hamba-Nya” terang Roland Gunawan dalam Khutbah Salat Jumat virtual yang diselenggarakan oleh Public Virtue, Jumat (26/11/2021)

Kebebasab berkeyakinan dasar bagi kebebasan lainnya

Ayatullah Muhammad Hasan al-Thabathaba`i, pengarang kitab “Tafsîr al-Mîzân”, menganggap ayat “Tidak ada paksaan dalam agama,” [QS. al-Baqarah: 256] sebagai salah satu bukti bahwa Islam tidak disebarkan dengan pedang, paksaan, dan kekerasan.

Dengan demikian, tidak heran bila banyak pemikir Muslim yang berpendapat bahwa kebebasan berkeyakinan merupakan kebebasan paling dahulu, merupakan dasar bagi kebebasan-kebebasan yang lain, dan merupakan hak asasi pertama manusia.

Terkait prinsip kebebasan berkeyakinan di dalam masyarakat Muslim, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: Pertama, persamaan sebagai kaidah interaksi di dalam masyarakat Muslim.

“Di dalam al-Qur`an terdapat ayat yang memerintahkan umat Muslim untuk memerangi orang-orang non-Muslim, dan ada juga ayat lain yang berisi larangan paksaan dalam agama. Namun, bila dilihat konteksnya, ayat yang berisi perintah untuk memerangi orang-orang non-Muslim lebih bersifat khusus, misalnya kaum musyrikin Quraisy yang selalu mengganggu ketenangan umat Muslim dalam beribadah,” beber Roland.

Yang diperangi adalah prilaku buruk mereka yang gemar membuat keonaran, bukan keyakinan mereka. Karena Islam secara tegas melarang paksaan dalam hal beragama dan berkeyakinan.

Rasullulah dan Toleransi

Semasa hidupnya, Rasulullah Saw. tidak memerintahkan umat Muslim memerangi kaum non-Muslim karena keyakinan mereka, malah beliau sering menjalin hubunganhubungan perdamaian dengan kelompok-kelompok penganut dari agama-agama lain, seperti Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik dari penduduk Madinah yang bersahabat dengan umat Muslim di negara Madinah dalam satu kesatuan politik.

Mereka menikmati hak-hak kewarganegaraan yang disertai kewajiban-kewajibannya, seperti melindungi Madinah dari serangan musuh, juga menjaga keyakinan masing-masing tanpa saling mengganggu.

Selain itu, Rasulullah Saw. juga menjalin perjanjian-perjanjian antara negara Madinah dengan kelompok-kelompok kaum musyrik Arab secara menyeluruh. Tidak ada niat dari beliau untuk menyemai permusuhan dengan mereka.

Roland kemudian mengungkapkan bahwa para ahli fikih berpendapat sebutan ahl al-dzimmah (kaum yang memiliki kehormatan) diperuntukkan bagi kelompok-kelompok selain umat Muslim, seperti kaum Yahudi, Nasrani, Shabi’ah, Majusi, dan kaum penyembah berhala.

Baca Juga: Proyeksi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Lima Tahun Mendatang

“Mereka semua, di dalam lingkup negara Muslim, mendapat hak kewarganegaraan sama seperti yang didapatkan umat Muslim. Rasulullah Saw., selaku pimpinan negara, memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada mereka sebagai warga negara,” jelasnya.

Bagi beliau, persamaan adalah kaidah interaksi di dalam masyarakat Muslim. Sebenarnya, istilah ahl al-dzimmah bukanlah sesuatu yang lazim digunakan di dalam pemikiran politik Islam terkait pembauran antarwarga dan negara yang dibangun di atas asas kewarganegaraan.

Seluruh warga, tanpa memandang agama dan keyakinannya, mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dengan adanya nilai kebebasan berkeyakinan dan pluralitas keagamaan, dalam perjalanan sejarah, berbagai keyakinan dan agama tauhid, bahkan paganisme sekalipun, dapat hidup tenang, aman, nyaman, dan damai di tengah masyarakatmasyarakat Muslim.

Islam yang Toleran

Maka tidak mengherankan bila di negara-negara Muslim terdapat banyak sekali rumahrumah ibadah, seperti masjid, gereja, kuil, synagog, wihara, dan lain-lain. Bahkan ada di antaranya yang dibangun secara berdampingan.

Di bawah naungan syariat Islam yang toleran, para penganut agama bebas menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan masingmasing. Bila suatu saat umat Muslim memerangi kelompok-kelompok keyakinan lain, itu bukan karena alasan keyakinan yang berbeda, melainkan karena diganggu ketenangannya.

Kedua, kebebasan menegakkan syiar-syiar agama. Islam memberikan tanggung jawab kepada para penganut agama/keyakian untuk membangun rumah-rumah ibadah dan syiarsyiar agamanya sesuai dengan keyakinan masing-masing guna menjaga pendapat publik dan perasaan masyarakat secara umum berdasarkan prinsip kebebasan beragama dan tanpa paksaan.

“Hal ini, paling tidak, bisa kita lihat dari wasiat-wasiat tegas para khalifah kepada para komandan pasukan perang supaya membiarkan dan tidak mengganggu orang-orang yang sedang khusyuk beribadah di rumah-rumah ibadah. Para khalifah membiarkan umat Muslim hidup berdampingan dengan orang-orang non-Muslim secara rukun dan damai,” pungkas Roland.

 

Penulis: Ai Siti Rahayu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *