Jihad dan Posisi Non-Muslim dalam Islam

Kabar Utama603 Views

Oleh Ahmad Nurcholish

 

Jihad, perang, dan posisi non-Muslim masih menjadi perbincangan menarik dalam ranah akademik maupun di kalangan akar rumput. Oleh sebagian umat Islam, jihad dimaknai dan diaplikasikan dengan cara memerangi mereka yang dianggap kafir maupun musyrik. Dan kafir maupun musyrik ini kerap disematkan kepada mereka yang tak sepaham dengannya, termasuk umat non-Muslim.

“Jihad” memang  bukan kata asing dalam Islam. Kata ini banyak disebut, baik dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Al-Qur’an menyebut “jihad” dengan segala derivasinya 41 kali. Hadits pun menyebutnya berkali-kali. Ini menandaskan bahwa jihad merupakan sesuatu yang fundamental dalam Islam meskipun para ulama tak memasukkannya dalam rukun Islam. (Moqsith, 2009: 376)

Jihad berasal dari kata juhd  yang berarti kemampuan (al-thaqat) atau jahd yang berarti letih (al-masyaqqat). Ada yang berpendapat bahwa jahd dan juhd bermakna tunggal, yaitu kemampuan. Dari kata ini Sa’id al-‘Asymawi menyatakan, jihad adalah berupaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuan (badzl al-juhd) untuk mencapai tujuan tertentu. Atau, bersabar dalam keletihan (tahammul al-jahd) ketika menjalankan satu perbuatan atau merealisasikan sebuah misi. (Sa’id ‘Asymawi, 1992: 103)

Dari situlah, maka ketika jihad fi sabilillah disebutkan, maka itu berarti upaya bersungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuan agar selalu berada di jalan Allah. Dengan demikian, secara etimologi,  jihad sejatinya tidak mengandung makna kekerasan apa pun. Namun secara terminologi ulama banyak yang mengidentikan jihad dengan tindakan memerangi orang kafir.

Oleh karena itu, sejatinya jihad tak bersangkut paut dengan peerangan fisik-militeristik (qital). Jihad lebih merupakan upaya seseorang untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Orang Islam yang berjuang agar dirinya terus menaati Allah dan RasulNya disebut sebagai mujahid. Bahkan seseorang yang membacakan dan menjelaskan esensi ayat-ayat al-Qur’an, menurut Thabathaba’I juga bisa disebut sebagai mujahid.

Baca Juga: Meluruskan Kembali Konsep Jihad

Dengan demikian sangatlah keliru jika jihad dimaknai dengan cara melakukan kekerasan terhadap orang atau kelompok lain yang dianggapnya sesat atau menyimpang. Berdakwah, ber-amar ma’ruf (menyeru kebajikan) dan ber-nahy munkar (membasmi kebatilan) tidak harus dilakukan dengan cara kekerasan, melainkan harus dengan cara buijaksana (bi al-hikmah) dan dengan nasehat yang baik (mauidzah khasanah).

Bagaimana dengan posisi umat non-Muslim dalam Islam?

Islam mengakui eksistensi agama-agama yang ada dan menerima beberapa prinsip dasar ajarannya. Namun, ini bukan berarti bahwa semua agama sama sebagaimana MUI memahami makna pluralisme, yang kemudian mengharamkannya. Sebab, setiap agama memiliki kekhasan, keunikan, dan karakteristik yang membedakan satu dengan yang lain. Dalam persepektif sufistik, dijelaskan bahwa dari aspek eksoterik setiap agama memiliki perbedaan, misalnya  dalam hal tata cara ibadah atau syariah/manhaj(jalan)-nya. Tetapi dari aspek esoterik (esensi moral agama) terdapat sejumlah persamaan.

Selain itu, agama yang satu tak membatalkan agama yang lain, karena setiap agama lahir dalam konteks historis dan tantangannya sendiri. Meskipun begitu, semua agama, terutama yang berada dalam rumpun tradisi abrahamik, mengarah pada tujuan yang sama, yakni kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat. Dengan mencermati kesamaan tujuan inilaj, perbedaan eksoterik agama-agama seyogyanya tak perlu dipermasalahkan.

Kesatuan tujuan ini pula yang menyebabkan Islam, di samping melakukan afirmasi terhadap prinsip-prinsip ajaran agama sebelumnya, juga memberi pengakuan teologis mengenai keselamatan para pengikut agama lain itu (Moqsith, h. 241)

Bahkan, al-Qur’an secara eksplisit menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi, Nashrani, Shabi’in, dan lain-lain – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya pada Hari Akhir, dan mengerjalan amal kebajikan, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan amal perbuatannya itu. Firman Allah menjelaskan:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi’in, dan orang-orang Nashrani, sispa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta melakukan amal kebaikan, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”. (QS. Al-Maidah [5]: 69).

Dalam redaksi serupa di ayat lain:

“Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Al-Baqarah [2]: 62)

Jika kita perhatikan secara seksama, jelas bahwa dalam kedua ayat tersebut tidak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan demikian, meskipun mereka tidak mengikuti ajaran Muhammad, mereka akan tetap memperoleh balasan atau pahala dari Allah.

Pernyataan agar orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad adalah berasal dari para mufassir (ahli tafsir) dan bukan ungkapan al-Qur’an. Dalam hal ini Muhammad Rasyid Ridha menegaskan, “Tidak ada kesangsian tentang tidak disyaratkannya beriman kepada Nabi Muhammad Saw. ini karena komunikasi Allah dengan setiap kelompok atau beragam umat beriman (selalu dengan menghadirkan) seorang nabi dan wahyu yang khusus”.  (Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Juz I, h. 275)

Selain itu, al-Qur’an juga membolehkan umat Islam berteman dengan umat agama lain, sepanjang umat agama lain itu tidak memusuhi dan tak mengusir umat Islam dari tempat tinggalnya. Akan tetapi jika sekikranya mereka umat non-Muslim itu melakukan permusuhan dan pengusiran, barulah umat Islam diperintahkan melakukan pertahanan dan pembelaan diri (QS. Al-Mumtahanah [60]: 7-9).

Oleh karena itu sudah saatnya kita memaknai jihad sebagai upaya yang  sungguh-sungguh dalam mewujudkan hidup harmoni, berdampingan dengan umat yang berbeda, saling menghormati, dan saling menghargai  menuju masyarakat Indonesia yang beradab dan bermartabat dalam konteks kebhinekaan. Wallahu a’lam.

 

Ahmad Nurcholish, Pemimpin Redaksi Kabar Damai, Deputy Direktur ICRP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *