Jadi Pelaku Reviktimisasi Kekerasan Seksual Tanpa Kita Sadari

Kabar Puan140 Views

Kabar Damai | Sabtu, 28 Agustus 2021

Jakarta | kabardamai.idSpill the tea atau usaha membongkar borok kekerasan seksual di linimasa, semakin lazim kita temui. Contohnya dalam kasus penyintas kekerasan seksual yang dilakukan pesohor Gofar Hilman beberapa waktu lalu. Masifnya respons positif terhadap penyintas turut membuka wawasan dan kesadaran masyarakat bahwa keberanian mengungkap kekerasan seksual memang sudah selayaknya diapresiasi.

Hal ini disampaikan Ajeng Ratna Komala dalam artikelnya berjudul “Tanpa Disadari, Kita Jadi Pelaku Reviktimisasi Kekerasan Seksual”, yang diunggah dalam laman Magdalene.co, Senin, 23 Agustus 2021.

“Selain menambah kekuatan kepada para penyintas kekerasan seksual, itu juga menjadi pengingat bersama, kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja. Pun mereka yang memilih untuk membuka semuanya di linimasa punya alasan khusus, mayoritas adalah karena hukum tumpul yang tak lagi bisa dipercaya,” tulisnya.

Peminat gerakan feminism ini memaparkan, meski di satu sisi mendatangkan manfaat, faktanya, spill the tea juga direspons nyinyir oleh publik. Alih-alih mendapatkan dukungan, para penyintas justru rentan mendapatkan tekanan dan balik disalahkan. Dalam kasus Gofar misalnya, dicontohkan Ajeng, karena ia didukung oleh basis massa yang lumayan, penyintas malah disembur oleh fans Gofar sebagai “perempuan pencari sensasi”, “mengundang duluan”, “kenapa tak melawan”, “pasti menikmati kan”, dan sejenisnya.

Cuitan-cuitan respons sejenis ini sebenarnya, menurut Ajeng,  adalah bentuk reviktimisasi penyintas kekerasan seksual, yang celakanya jarang disadari. Maksudnya, penyintas bisa mengalami trauma karena menjadi korban dua kali: Dilecehkan dan masih juga disalahkan.

Ini, imbuh Ajeng,  senada dengan data riset Classen dkk bertajuk “Trauma, Violence, and Abuse” (2005) yang menyebutkan, sekitar dua dari tiga individu yang menjadi korban kekerasan seksual akan direviktimisasi atau menjadi korban kembali.

“Buat saya sendiri, daripada sibuk memberi komentar menyalahkan penyintas, yang perlu dilakukan lebih awal adalah mendukung mereka. Lepas dari kebenaran yang nantinya terkuak, kita harus menyepakati, tak mudah buat penyintas untuk berbicara, menceritakan tragedi yang mereka alami. Posisikan diri dalam sudut pandang penyintas kekerasan seksual. Pikirkan kembali apakah pertanyaan-pertanyaan atau tanggapan yang kita berikan dapat berpengaruh baik buat penyintas? Jika memiliki keraguan apakah yang ia ceritakan itu benar atau tidak, yang perlu dilakukan pertama kali adalah tetap memberikan dukungan terlebih dahulu,” terang Ajeng.

Lantas bagaimana jika ternyata apa yang diceritakan mereka itu bohong dan kita sudah terlanjur mendukung hal tersebut? Menurut Ajeng, tak masalah karena setidaknya kita sudah berempati terhadap cerita penyintas kekerasan seksual.

“Ini jauh lebih baik ketimbang merundung penyintas hingga membuat mereka berkali-kali jadi korban,” pungkasnya.

Kekerasan Seksual Online Meningkat

Diketahui, kasus kekerasan seksual memang semakin subur di Indonesia. Polda Metro Jaya mengungkap jaringan prostitusi online yang memanfaatkan hotel-hotel di Jakarta Barat dalam dua kali penggerebekan, Rabu, 19 Mei dan Jumat, 21 Mei 2021. Dari penggerebekan ini, ada 75 orang yang ditangkap. Dari kejahatan ini, 18 pekerja seks tercatat berusia di bawah umur.

Melansir Tempo.co, kejahatan seksual yang melibatkan anak-anak ini berada di pusaran jaringan prostitusi online yang besar. Dari kedua kasus itu, Kepala Subdirektorat V Direktorat Kriminal Umum Ajun Komisaris Besar Pujiyarto mengatakan timnya sudah mengungkap 15 kasus prostitusi online lain dengan total 141 anak di bawah umur yang terjebak dalam jaringan ini.

Komnas Perempuan mencatat ada delapan jenis kekerasan seksual yang difasilitasi oleh kehadiran teknologi, mulai dari pelecehan di ruang-ruang maya, peretasan, penyebaran konten intim tanpa persetujuan, hingga ancaman penyebaran foto dan video intim. Ada pula sextortion, atau pemerasan lewat video intim. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, ada 940 kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan sepanjang tahun lalu, meningkat dari tahun sebelumnya, 2019, sebanyak 241 kasus.

Baca Juga: Selama Pandemi Kasus KDRT dan Kekerasan dalam Pacaran Kian Meningkat

Laporan dari lembaga layanan yang dihimpun Komnas Perempuan pun tak kalah meroket. Pada 2020 tercatat ada 510 kasus yang dilaporkan, naik hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya yang berada di angka 126 kasus.

Fenomena ini juga terjadi di banyak negara. Tempo berkolaborasi dengan media di Hong Kong, Filipina, dan Korea Selatan untuk mengungkap cerita di balik kekerasan seksual online yang tumbuh pesat di negara masing-masing.

Di Filipina, misalnya, penegak hukum bersama beberapa organisasi sipil setempat melaporkan adanya peningkatan kasus eksploitasi seksual online yang mengincar anak-anak. Sejak 2011 hingga Mei 2021, ada 793 anak-anak di Filipina yang menjadi korban perdagangan seks online yang berhasil diselamatkan.

Di Hong Kong, asosiasi advokat yang khusus menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan melaporkan sepanjang 2020 telah menangani 133 kasus kekerasan seksual yang berbasis konten intim. Jumlah ini diklaim meningkat tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Fenomena ini membuat pemerintah Hong Kong akhirnya meloloskan rancangan undang-undang tentang “voyeurism”, perekaman bagian intim tanpa konsesual dan pelanggaran publikasi konten-konten tersebut.

Pengalaman masyarakat Hong Kong serupa dengan masyarakat di Korea Selatan. Dua tahun lalu, warga Korsel dikejutkan dengan skandal “nth room” yang menjerat banyak perempuan muda. Beberapa di antara korbannya diduga berasal dari kalangan selebritis. Pelakunya yang dikenal dengan julukan “the doctor” mengandalkan konten intim korban untuk menjalankan kejahatannya. Skandal ini kemudian melahirkan undang-undang untuk mencegah kejahatan atau kekerasan seksual, yang di kemudian hari dikenal dengan istlah ‘Nth Room Prevention Act’.

Menurut Maria Ulfa yang dikutip Tempo, salah satu kelemahan dalam penanganan kasus-kasus ini di Indonesia adalah belum adanya payung hukum yang secara spesifik melindungi korban. Hingga saat ini, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang digadang-gadang mampu memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap korban, belum juga disahkan.

Kemen PPPA Catat Kekerasan Seksual Tertinggi di Tahun 2020

Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi pada tahun 2020 yakni sekitar 7.191 kasus. Sementara pada 2020, jumlah kasus kekerasan pada anak dan perempuan mencapai 11.637 kasus.

Sedangkan di tahun 2021, dihimpun dari sistem informasi daring perlindungan perempuan dan anak hingga 3 Juni, terdapat 1.902 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

Kemudian jumlah total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terkini di tahun 2021 telah mencapai angka 3.122 kasus.

Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA Nahar menyebut Kemen PPPA mengupayakan lima langkah prioritas agar dalam penanganan kasus tersebut tidak ada masalah lainnya yang mengikuti.

Salah satunya selain turun langsung menangani masalahnya, juga memperbaiki sistem aduan kekerasan dan menjadikan data yang akurat dan realtime untuk para stakeholder.

Selain itu, Kemen PPPA juga mengupayakan pendampingan bantuan hukum kepada para korban agar proses penegakan hukum dapat membuat pelaku kekerasan jera, misalnya mendampingi korban atas pelaku kekerasan seksual agar pelaku dapat menjalani hukuman kebiri. [ ]

 

Editor: Ahmad Nurcholish

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *