Islam dan Kebebasan Berpikir Menuju Masyarakat Madani

Kabar Utama1869 Views

Kabar Damai I Minggu, 12 September 2021

Jakarta I kabardamai.id I Jika kita mengkaji materi kata Islam, ia berasal dari kata “salima” yang artinya menurut pengertian etimologi adalah “selamat, damai, tunduk, patuh, pasrah, berserah diri, sejahtera dan tidak cacat”.

Pengertian Islam secara terminologis adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sebagai petunjuk bagi umat manusia agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Ditinjau dari segi ajaran dasarnya, Islam dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: aqidat, syariat, dan akhlak. Akidah menurut pengertian bahasa berarti ikatan, sangkutan atau simpul, sedangkan menurut pengertian yang sebenarnya adalah kepercayaan dan keyakinan yang menyatakan bahwa Allah itu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan serta tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya.

Baca Juga: Childfree dalam Perspektif Islam

Mohammad Khoiron M.Hum, Pegiat Ilmu Sosial dan Perbandingan Agama sekaligus Pengurus LBM PWNU DKI Jakarta menerangkan mengenai Esensi Tuhan dalam pandangan Islam, tidak mungkin dipersonifikasikan dengan segala macam benda, dengan kayu atau batu, dengan ukiran atau lukisan, bahkan tidak mungkin dapat dibayangkan dalam akal pikiran manusia.

“Dia Maha Esa, Maha Sempurna, Maha Mutlak dan jauh dari sifat-sifat kekurangan,” terang Khoiron dalam Salat Jumat Virtual yang diselenggarakan Public Virtue, Jumat (10/09/2021).

Syariat Merupakan The Way of Life

Syariat, pengertiannya menurut Bahasa atau lughah adalah jalan, sumber air, petunjuk menuju sumber air atau jalan yang harus ditempuh setiap orang. Pengertiannya secara terminologis adalah peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah sebagai pedoman hidup dan kehidupan manusia.

Syariat merupakan the way of life bagi setiap pribadi muslim. Pengertian lebih lengkapnya, syariat adalah peraturan-peraturan yang bersumber pada wahyu Allah dan kesimpulan-kesimpulan yang dapat dianalisa dari wahyu itu mengenai tingkah laku manusia.

Pengertian akhlak menurut bahasa adalah perbuatan, adat, perangai, tingkah laku secara umum, baik terpuji ataupun tercela. Pengertiannya secara sosiologis di Indonesia, akhlak berarti perbuatan atau tingkah laku yang terpuji. Dengan demikian, apabila dikatakan si A berakhlak, maksudnya ia memiliki akhlak yang terpuji

Khoiron menambahlan bahwa Akhlak terhadap makhluk dibagi menjadi dua bagian yaitu manusia dan selain manusia. Akhlak terhadap selain manusia dibagi tiga bagian yaitu, terhadap alam jamadi (benda mati), alam nabati (flora) dan alam hewani (fauna).

“Akhlak terhadap manusia dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu terhadap Nabi/Rasul, akhlak terhadap diri sendiri, terhadap keluarga, masyarakat, akhlak terhadap bangsa dan hubungan antar bangsa,” terang Khoiron.

Akidah, syariat dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak bisa diceraipisahkan, satu sama lain saling terkait dan berkelindan. Namun demikian, akidah tetap lebih diutamakan karena ia merupakan pondasi dari keduanya.

Seorang mukmin yang diridhai oleh Allah adalah ia yang senantiasa menjaga keseimbangan (balance) antara beribadah dan berpikir. Setiap orang yang senantiasa menjaga keseimbangan antara berpikir, beribadah (mahdhah), dan beraktivitas, ia akan menjumpai bahwa kegiatan-kegiatan yang rutin dilakukannya itu ada yang bersifat taʼabbudîy (ritual) dan taʼaqqulîy (rasional).

“Apabila seorang manusia tidak beriman kepada Allah dan selalu berbuat kerusakan di muka bumi, maka ia akan menjadi ʻmonsterʼ yang paling berbahaya disbanding dengan makhluk apapun di muka bumi ini. Kerusakan dan kejahatan yang ditimbulkan oleh orang seperti ini akan menjadi bumerang bagi keberlangsungan tatanan kehidupan yang sudah tertanam beradab-abad lamanya,” beber Khoiron dalam khutbahnya.

Asumsi tersebut diperkuat oleh adanya bukti-bukti yang terjadi di masa sekarang ataupun di masa-masa yang telah lampau. Oleh karena itu, kita tidak merasa heran jika tindakan mereka brutal, tanpa perikemanusiaan, dan membabi buta untuk melampiaskan nafsu duniawi sesaat, tanpa berpikir atau memikirkan dampak yang timbul dari perilakunya.

 

Islam Mengapresiasi Kebebasan Berpikir

Berangkat dari pernyataan bahwa Islam mengapresiasi kebebasan berpikir, maka implikasinya adalah lahirnya masyarakat madani. Masyarakat madani yang dimaksud di sini adalah masyarakat yang berperadaban dengan etika yang agung, serta menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.

Khoirn mendefinisikan  toleransi untuk  dipahami secara sederhana berarti bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri.

“Secara realitas, manusia diciptakan dalam berbagai ras, bangsa, suku, golongan, bahasa, warna kulit, adat, kebudayaan, dan agama yang berbeda. Menghadapi kenyataan ini setiap diri manusia harus  bersikap toleran atau tasamuh, sebagai salah satu bukti dari perwujudan akhlak dan budi pekerti,” tambah Khoiron

Setiap diri manusia harus berlapang dada dan memahami secara baik segala perbedaan yang dijumpai. Dengan demikian setiap orang meyakini agama, falsafah hidup, adat istiadatnya sendiri dan tidak merasa keberatan sedikitpun terhadap agama, adat istiadat, dan falsafah hidup orang lain.

Masing-masing anggota masyarakat hendaknya saling memahami, mengenal, dan bertenggang rasa terhadap agama, keyakinan, dan falsafah hidup orang lain.

 

Dengan sikap toleransi dan tasamuh yang luas dan terbuka, maka akan terbentuk suatu masyarakat yang saling menghargai, saling menghormati, dan terjalinlah kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat, bangsa, negara, maupun dalam kehidupan secara umum. Kehidupan yang harmonis yang dapat ditumbuhkembangkan dalam kehidupan suatu masyarakat, bangsa, atau dalam kehidupan secara umum akan mewujudkan kemampuan dan kemajuan yang luar biasa.

Muslim sebagai Ummatan Wasathan

Sebagai umat yang ditunjuk menjadi generasi terbaik (khayra ummah), umat Muslim memiliki karakteristik sebagai umat pertengahan (ummatan wasathan). Umat pertengahan berarti umat yang menyeimbangkan antara dua kubu ekstrem yang saling berlawanan, antara menolak dan menerima, antara permanen dan fleksibel, antara keras dan lemah lembut, dan lain sebagainya yang sesuai dengan sikap tersebut.

“Hidup yang damai dan rukun adalah pilar masyarakat yang beradab. Sebaliknya, mengobarkan peperangan dan menebarkan kekacauan menggambarkan pilar masyarakat yang biadab. Apabila manusia aman, damai, dan rukun, maka segala program yang mengacu pada kesejahteraan dan kemajuan masyarakat akan terwujud,” beber Khoiron.

Namun, apabila segala program yang dijalankan ketika situasi masyarakat dalam  keadaan perang atau tidak aman, maka laju pembangunan pun akan terhambat.

“Menurut Khoiron, toleransi antar umat beragama sebagai bagian  dari masyarakat madani, merupakan sebuah keniscayaan. Saling menghargai dan menghormati satu sama lain merupakan refleksi nilai-nilai luhur dari agama yang mereka anut. Wallâhu Aʼlam,” pungkas Khoiron.

Penulis: Ai Siti Rahayu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *