Oleh Amatul Noor
Hirarki ilmu pengetahuan tidak hanya mengemukakan tatanan yang logis tetapi juga secara historis. Ilmu sosial merupakan ilmu sekuler yang belum banyak dikaji melalui perspektif islam kecuali dalam bagian tertentu. Gagasan mengenai dimensi masyarakat islam telah dimulai oleh Ibn Khaldun, Ai Syariati, Ismail Raja Al-Faruqi dan ilmuan sosial lainnya.
Ibn Khaldun

Khaldun adalah seorang ahli pikir Islam abad pertengahan yang jenius dan termasyhur di kalangan intelektual modern. Ibn Khaldun adalah pemikir dan ilmuwan muslim yang pemikirannya dianggap murni dan baru pada zamannya. Dalam karya-karya Ibn Khaldun dapat dilihat penguasaannya terhadap berbagai disiplin Ilmu Pengetahuan, seperti sejarah, sosiologi, dan politik sehingga tidak mengherankan apabila Ibn Khaldun dikategorikan menjadi ahli sejarah, sosiologi, dan politik (Zainuddin and Brata 1992, 55).
Ibn Khaldun lahir di Tunis, Afrika utaraa, pada 27 mei 1338 dengan nama lengkap Abdurrahman Abu Zaid, lahir dalam keluarga terdidik, di zamannya ia dikenal sebagai ilmuan pioner yang memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta memberikan alasan-alasan untuk mendukung fakta-fakta yang terjadi. Semasa hidupnya dia melayani bemacam-macam sultan di Tunisia, Maroko, Spanyol dan Algeria sebagai duta, bendahara raja, dan anggota dewan sarjana.
Dalam berbagai penjelasan Ibn Khaldun tentang masyarakat, istilah nomaden dan menetap menjadi dua konsep yang selalu muncul. Konsep yang pertama identik dengan keterbelakangan, primitif dan yang kedua identik dengan kota, berperadaban, maju (kota).
Baca juga : Bung Hatta dan 5 Nilai yang Perlu Diteladani
Dua model konsep tersebut kemudian diklasifikasikan oleh Khaldun dari sudut pandang kontrol sosial menjadi dua tipe yakni; badawah dan hadarah. Badawah adalah konsep masyarakat dengan ashabiyah yang kuat, cenderung primitif, desa dan nomaden. Isltilah badawah sesungguhnya dikembangkan oleh khaldun dari pengamatannya terhadap masyarakat Badui yang bersifat nomade, primitif tetapi sangat kuat solidaritasnya.
Sedangkan konsep hadarah merupakan manisfestasi dari suatu peradaban masyarakat yang lebih kompleks, menetap, bersifat kota, solidaritas lemah tetapi berperadaban. Di kalangan masyarakat badawah menurut Khaldul, hubungan darah lebih diutamakan sehingga kontrol sosialnya masih cukup tinggi. Sebaliknya, dalam masyarakat hadarah yang berperadaban, kontrol sosial jauh lebih rendah (Baali 1989).
Pengklasifikasian masyarakat badawah dan hadarah ini secara sosiologis di dasarkan pada ashabiyah yang berkembang dalam masyarakat dengan asumsi bahwa pada masyarakat badawah, ashabiyah masih sangat kuat sedangkan pada masyarakat hadarah, ashabiyah sudah cenderung melemah. Konsep badawah dan hadarah ini dalam teori sosiologi modern dapat kita temukan dalam pemikiran Emile Durkheim dengan istilah solidaritas mekanis (sama dengan badawah) dan solidaritas organis (sama dengan hadarah).
Ali Syariati

Ali Shariati seorang sosiolog Iran. Lahir pada tanggal 24 November 1933. Pemikirannya terpengaruh oleh ayahnya sendiri, Muhammad Taqi. Muhammad Taqi adalah seorang Mulla/ulama modernis. Ayahnya yang pertama mengajarkan tentang seni berpikir dan seni hidup manusia.
Tahun 1941, Shariati masuk sekolah tingkat pertama di sekolah swasta Ibn Yamin. Di sekolahnya, Shariati bersifat “mendua” jika sudah berada di kelas ia ingin keluar, tetapi ketika sudah berada di luar ia ingin masuk kelas. Ia seorang pendiam, tak mau diatur, namun rajin. Ia pun jarang mengerjakan PR, meskipun demikian di rumah ia adalah seorang kutu buku. Bersama ayahnya, Shariati banyak menghabiskan waktu membaca di perpustakaan ayahnya, yang mempunyai 2000 koleksi buku. Karya Vickor Hugo, Les Miserables, dalam terjemahan Persianya, telah ia lahap sejak di sekolah dasar.
Mistisme dan Filsafat dikenal shariati ketika menginjak bangku sekolah menengah atas. Saat itu, sebenarnya shariati lebih meminati sastra, filsafat dan kemanusiaan ketimbang ilmu sosial dan ilmu keagamaan. Shariati mengaku bahwa ketertarikannya pada filsafat dipicu oleh sebaris kalimat Maeterlinck yang berbunyi, “Bila kita meniup mati lilin, kemanakah perginya nyala lilin itu?” Gagasan utama Ali Syariarti “ pentingnya umat muslim memiliki sains sosial yang ideologis”
Kuntowijaya
Istilah Ilmu Sosial Profetik (disingkat ISP), digagas oleh Kuntowijoyo. Ia adalah guru besar di bidang sejarah di Universitas Gadjah Mada (UGM). Di kalangan masyarakat umum, ia dikenal bukan sebagai sejarawan, tetapi sastrawan, budayawan, cendekiawan Muslim dan bahkan seorang aktivis Muhammadiyah. Tujuan dari ilmu ini adalah rekayasa untuk perubahan sosial atau transformasi sosial. Jelas bidang kajiannya tidak merambah aspek-aspek normatif seperti teologi. Namun pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal (Kuntowijoyo, 2006: 85). Ilmu ini, menginginkan adanya transformasi sosial yang berbasis pada cita-cita humanisasi, liberasi dan transendensi. Disari dari nilai dan ibrah sejarah yang bersumber pada kitab suci.
Mengenai persoalan ini, Kuntowijoyo memikirkan secara mendalam Alquran, surat Ali Imran ayat 110, “Engkau adalah umat terbaik, yang diturunkan di tengah umat manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah.” Berdasarkan refleksi kritis dalam ayat tersebut, menurut Kuntowijoyo, terdapat empat konsep utama yang harus dielaborasi lebih jauh. Yaitu: umat terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran dan etika profetik (Kuntowijoyo, 2001: 357).
Pertama, umat manusia akan menjadi umat terbaik, ketika bekerja untuk kemanusiaan (civil society); Kedua, mengemban misi kemanusiaan. Berarti berbuat untuk manusia dalam bentuk aktivisme sosial dan membangun sejarah; Ketiga, kesadaran dimaksud adalah kesadaran ilahiah. Ini adalah bentuk “keterpanggilan etis” untuk kemanusiaan, yang dilandasi oleh spirit teologis; Keempat, etika profetik ini berlaku umum, yaitu menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah (transendensi). (Kuntowijoyo, 2001).
Dikutip dari berbagai sumber.