Indahnya Toleransi di Kampung Adat Cireundeu dan Cimahi

Kabar Utama4131 Views

Kabar Damai I Sabtu, 19 Juni 2021

Cimahi I kabardamai.id I Suasana sejuk dan teduh sudah terasa saat menginjakan kaki di Kampung Adat Cireundeu, RW 10, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.

Kampung itu masih terlihat asri dengan berbagai pepohonan. Tanpa gedung bertingkat, warga di sana nampak damai menikmati hidup.

Kesejukan dan kedamaian, dirangkum dari ayobandung.com (18/4),  semakin terasa ketika melihat toleransi antarkeyakinan dan antaragama di Kampung Adat Cireundeu.

Tanpa sekat, mereka selalu seirama dan satu tujuan untuk memupuk dan menjaga toleransi.

Di tengah mayoritas umat Muslim, di Kampung Adat Cireundeu, RW 10 terdapat sekitar 60 Kepala Keluarga (KK), dengan 240 jiwa yang menganut aliran kepercayaan Sunda Wiwitan.

Baca Juga: Potret Toleransi, Rumah Adat Tionghoa Akan Dibangun di Kubu Raya

“Memang sudah turun-temurun dari para sesepuh sudah Sunda Wiwitan,” ujar Abah Widi, salah seorang sesepuh Kampung Adat Cireundeu, kepada Suara.com, jaringan Ayobandung.com, Sabtu, 17 April 2021 lalu.

Saat ditemui, pria 58 tahun itu tengah asyik dengan kegiatannya membakar sampah di pekarangan rumahnya. Dengan semangat, Abah Widi menceritakan indahnya toleransi di kampungnya yang sudah terjaga sejak dulu.

Kampung Adat Cireundeu diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16 atau sekitar 500 tahun yang lalu. Keberadaan kampung adat tersebut dikuatkan dengan penelitian adanya batu penyanggah rumah saat itu.

Para sesepuh atau karuhun yang ada di dalamnya di antaranya Eyang Nursalam, Eyang Ama, hingga Aki Madrais yang disebut membuat ‘lembur’ atau kampung saat itu.

“Saat itu Cireundeu sudah ada,” katanya.

Sejak saat itu Abah Widi meyakini kepercayaan Sunda Wiwitan sudah ada, dan diteruskan oleh para anak, cucu hingga cicitnya. Kepercayaan itu terus dipupuk ratusan warga di tengah sebagian pemeluk Islam.

Saling Menghormati Meski Beda Keyakinan

Kini mereka hidup berdampingan. Tanpa sekat, mereka selalu mengedepankan sikap saling menghormati meski berbeda keyakinan. Bahkan di setiap acara kepercayaan dan agama, mereka saling berbaur dan membantu.

“Kita saling menjaga, tidak pernah membedakan. Kalau ada acara adat, atau acara keagamaan Islam, pasti saling dilibatkan,” ujar Abah Widi.

Termasuk saat umat Muslim menjalani ibadah puasa bulan Ramadan ini. Sebagai penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, warga sangat mengerti dan menghargai kebiasaan mereka dalam menjalankan ibadahnya.

Seperti waktu berbuka puasa hingga salat tarawih yang selalu dilakukan selama bulan ramadan. Sementara tradisi kumpulan setiap malam Jumat pun selalu dilakukan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan.

“Dan yang paling penting juga etika yang selalu terjaga di kita. Jadi apapun kebiasaan, kegiatan baik bagi warga adat maupun muslim selalu berjalan beriringan dan menyejukan,” tukasnya.

Toleransi di Komplek Basis Cimahi

Potret toleransi juga dapat kita rasakan di permukiman Kompleks Basis, Kelurahan Baros, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi.

Seperti wilayah pemukiman padat pada umumnya, suasana di kawasan Basis disesaki rumah yang saling berdempetan yang mengapit jalan berukuran sekitar 1-2 meter lebarnya.

Namun ada salah satu yang mencolok dan patut ditiru dari wilayah tersebut. Adalah kisah toleransinya yang sudah turun temurun dipupuk dan dijaga hingga kini.

Dilansir dari ayobandung.com, kondisi itu membuat Basis selalu diselimuti kesejukan. Meski mayoritas Muslim, namun ada juga yang beragama Kristen dan sebagainya. Selain itu, warganya berasal dari berbagai suku dan budaya yang berbeda-beda.

Ada Sunda, Batak, Ambon, Jawa, Manado. Meski begitu, warga yang berjumlah sekitar 790 jiwa lebih dari 300 Kepala Keluarga (KK) tetap rukun dan akur. Setiap hari kebesaran suku dan agama masing-masing, mereka selalu saling mengunjungi satu sama lainnya.

Contohnya, saat umat Islam merayakan Idulfitri, maka umat lainnya dipastikan akan berkunjung dan mencicipi hidangan khas. Begitupun jika umat Kristen sedang merayakan Natal.

“Di sini campur, dari berbagai daerah dan agama. Tapi tetap sejuk dan saling menghormati dan membantu,” kata Ketua RW 14, Kelurahan Baros, Johny George Laurenz Muaya kepada Suara.com, jaringan Ayobandung.com, Minggu 4 April 2021 lalu.

Dulunya sekitar 1960-an Basis merupakan asrama TNI di bawah pengawasan Kodim. Penduduk yang ada di sana pun adalah para TNI yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.

“Dulunya kandang kuda, kemudian diubah jadi pemukiman buat tentara,” terangnya.

Seiring berjalannya waktu, para TNI yang ada di kawasan Basis memasuki usia pensiun sehingga diteruskan oleh anak cucunya.

Selain itu, ada pula yang dijual ke masyarakat sipil sehingga mulai berubah menjadi permukiman untuk masyarakat umum.

Bukan lagi khusus asrama TNI, dulunya listrik hingga air ditanggung oleh Kodim. Namun setelah digunakan warga sipil, kewajiban pembayaran itupun otomatis menjadi tanggungjawab pemilik rumah.

“Akhirnya setelah dilepas Kodim, bayar listrik, pasang listrik, bayar air dan pajak sendiri,” ujar Johny.

Kini, penduduk di kawasan Basis hidup tenang, rukun dan saling menghormati perbedaan masing-masing. Bahkan kawasan Basis dijadikan contoh sebagai daerah yang kondusif di perkotaan.

“Saya bertekad menjada kekondusifan ini. Warga akan selalu saling bantu, saling menghormati dan sebagainya,” ujarnya.

Setelah ada kejadian ledakan di Gereja Katedral, Makasar, Sulawesi Selatan, Johny menyampaikan pesan yang cukup menyentuh dan menyejukan. Ia meyakini semua agama mengajarkan kebaikan, baik Islam, Kristen, dan lainnya.

Sebagai umat Kristiani, Johny sama sekali tidak berpikir negatif atas kejadian ini. Menurutnya, kejadian peledakan itu hanya dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.

“Islam ajarannya sama, tidak brutal. Dan Kristen juga sudah paham. Kita Gak nyalahin, karena agama mengajarkan yang baik,” ujarnya. [ayobandung.com]

 

Editor: Fira Nursyabani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *