Imlek dan Gus Dur

Kemeriahan  perayaan Imlek yang dirayakan warga Tionghoa Indonesia kini tak bisa lepas dari peran Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bahkan, berkat kampanye pluralismenya, presiden keempat RI ini ditasbihkan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia pada 2004 silam.

Pada masa Orde Baru masyarakat Tionghoa tidak diizinkan mengekspresikan budayanya secara terbuka. Dalam buku Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas (Gramedia, 2010), Aimee Dawis menulis rezim Presiden Soeharto menerapkan kebijakan asimilasi yang mewajibkan masyarakat Tionghoa melepas kebudayaan dan bahasa Mandarin.

Di bawah kepemimpiman Presiden Soeharto, masyarakat Tionghoa dilarang merayakan Imlek secara terbuka. Larangan itu tertuang pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Dalam aturan itu, Soeharto menginstruksikan etnis Tionghoa yang merayakan pesta agama atau adat istiadat agar tidak mencolok di depan umum, tetapi dilakukan dalam lingkungan keluarga.

Namun, keadaan orang Indonesia Tionghoa berubah 180 derajat setelah jatuhnya rezim Soeharto. Ketika Gus Dur berkuasa, upaya mengakhiri peraturan diskriminatif terhadap penduduk Indonesia Tionghoa segera diwujudkan. Langkah pertama dimulai dengan  menghapus Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 1967 ihwal larangan pelaksanaan adat dan agama Tionghoa di tempat umum. Berikutnya Gus Dur menandatangani Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang memberi ijin perayaan Tahun Baru Imlek secara terbuka.

Dalam buku Merawat Kebinekaan (Elex Media Komputindo, 2017),  Munawar Aziz menulis, tradisi, kepercayaan, dan pandangan hidup warga Tionghoa di Indonesia kembali terangkat. Dia menyebut, kebijakan Gus Dur menjadi bagian dari politik identitas untuk mencipta harmoni keindonesiaan.

Oleh karenanya, , atas peran penting Gus Dur, kelompok keturunan Tionghoa menasbihkan Gus Dur sebagai Bapak Tinghoa Indonesia di Klenteng Tay Kek Sie, Semarang, Jawa Tengah pada 10 Maret 2004.

Secara garis besar, alasan penobatan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yakni, perjuangan Gus Dur dari sisi kewarganegaraan kelompok keturunan Tionghoa, keteladanan Bapak Pluralisme ini  dalam memperlakukan kelompok keturunan Tionghoa, serta pengakuan salah satu pendiri ICRP ini sebagai keturunan Tionghoa dari marga Tan.

Penasbihan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa memang memantik perdebatan pada masa itu. Ada yang mendukung, tidak sedikit yang mencibir bahwa Gus Dur hanya mencari popularitas. Pendapat yang terakhir dapat dipatahkan.

Sebab, kenyataannya Gus Dur tak hanya memihak kelompok Tionghoa saja. Secara luas, Gus Dur berpihak pada kaum lemah (mustadh’afin) dan pihak yang selama ini mengalami perlakuan marginal, lintas budaya dan agama.

Gus Dur memang dikenal  satu diantara orang yang tidak setuju dengan aturan yang bersifat diskriminatif termasuk pada etnis Tionghoa. Dia pun meminta masyarakat Tionghoa untuk terus berani memperjuangkan hak-haknya.

“Di mana-mana di dunia, kalau orang lahir ya yang dipakai akta kelahiran, orang menikah ya surat kawin, tidak ada surat bukti kewarganegaraan. Karena itu, saya mengimbau kawan-kawan dari etnis Tionghoa agar berani membela haknya,” ujarnya suatu ketika.

Bagi kaum Tionghoa, Gus Dur dinilai telah menghapus kekangan,  tekanan dan prasangka.

Sebab, pada masa sebelum reformasi bergulir, masyarakat Tionghoa kerap mendapat stigma negatif baik dari pemerintah ataupun masyarakat dari etnis lainnya.

Gus Dur juga dinilai telah berjasa membawa kesetaraan pada masyarakat Indonesia. Perjuangan cucu pendiri Nahdlatul Ulama inilah yang mesti kita pertahankan demi Indonesia yang bermartabat, adil, damai dan beradab.

Selamat merayakan Imlek tahun 2572, Gong Xi Fa Cai…

Ahmad Nurcholish, pemimpin redaksi kabardamai.id, deputi direktur ICRP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *