Ideologi Radikalisme dan Terorisme Kini Menyasar Kaum Millenial dan Generasi Z

Kabar Damai | Sabtu, 10 April 2021

 

Pontianak I kabardamai.id I Aksi ekstimisme hingga berujung pada puncaknya teror yang terjadi di Indonesia dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang status sosial dalam masyarakat. Namun, kini semakin meningkat dan mengkhawatirkan karena keterlibatan keluarga, perempuan hingga anak. Junaidi Simun, peneliti Center for the Study Of Religon and Culture State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta turut menanggapi fenomena tersebut.

Sehubungan dengan pernyataan tentang semakin berkembangnya jaringan teroris hingga menyasar pada berbagai kalangan. Junet, biasa ia disapa membenarkan hal tersebut.

Baca Juga : BPIP: Generasi Millenial Corong Peradaban

“Saya melihat bahwa radikalisme, ektrimisme sampai pada puncaknya aksi teror itu dapat menyasar siapa saja. Bisa kalangan tua, kalangan muda dan millennial, ataupun kalangan anak-anak. Beberapa tahun terakhir, aksi bom tidak hanya dilakukan oleh laki-laki tapi juga perempuan dan anak-anak,”terangnya.

“Dari kasus yang dapat ditunjukkan adalah pengancaman anggota Brimob pada Mei 2018 yang heboh pasca pemberontakan di Mako Brimob dan merembet ke Surabaya, pasca itu juga dilakukan oleh perempuan. Jadi spektrum ekstrimisme ini sudah menyasar berbagai kalangan dan usia . Secara usia tidak lagi orang-orang yang berumur 40 tahun keatas dan punya pengalaman dalam melakukan amaliah tapi juga menyasar anak muda,” tandasnya.

Ia juga menambahkan, bahwa tidak hanya menyasar generasi milenial. Paham ekstimisme hingga terorisme kini salah satunya menjurus pada generasi yang lebih muda, yaitu generasi Z.

“Dari banyaknya penelitian yang dapat dirujuk saya mengambil kesimpulan bahwa saat ini sudah menyasar kaum muda milenial. Dalam percakapan dunia akademik yang namanya anak-anak millennial lahir pada tahun 1880-1881. Tapi jika dilihat dari beberapa kasus terakhir, mereka bukan lagi hanya millennial tapi sudah generasi Z karena lahir tahun 90-an,” ungkapnya.

Anak muda milenial serta generasi Z menjadi sasaran empuk karena dalam fase mencari identitas, khususnya identitas keagamaan.

“Hal menarik kenapa rekrutmen dilakukan kepada mereka yang milennial karena lebih karena disatu sisi kita melihat bahwa anak muda sedang dalam proses menjadi, dalam istilah gaulnya dalam posisi galau. Karena posisi galau itu, apalagi yang sedang mencari identitas keagamaan itu posisinya masih mencari untuk menjadi to be being human untuk menjadi manusia memahami sisi keagamaan yang lebih komprehensif dan holistik. Maka ada istilah yang dinamakan hibridasi identitas. Maka dalam posisi yang tidak ajeg, tidak stabil, sedang mencari identitas,” ujarnya.

Lebih lanjut, Junet memberikan contoh keragu-raguan dalam menentukan identitas hingga mudah terpapar pada paham ekstrimis dan terorisme.

“Orang yang secara kultural adalah Muhammadiyah, dalam proses mencari jati diri belum tentu dia akan menjadi Muhammadiyah apalagi yang bukan Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama. Ia bisa saja menjadi apa saja, dalam kegalauan mencari identitas itu narasi ekstrimis dan radikal bisa secara cepat, secara langsung atau tidak langsung masuk dan itu bisa melalui banyak kanal. Kanal-kanal itu yang menjadi medium untuk lebih melebar, salah satu kanal yang paling efektif adalah media sosial,” jelasnya.

Ia berpesan kepada generasi muda agar bergaul pada kelompok yang moderat agar terhindar dari paham-paham yang tidak dibenarkan.

“Saya menyarankan dalam konteks itu, terutama teman-teman milenial yang terutama sedang dalam proses mencari jati diri yang identitasnya hibrid, carilah identitas yang sesuai dengan rahmatan lil alamin, yang moderat. Tapi juga harus dilakukan secara konsekuen dan terus menerus agar tidak terinfiltrasi dengan radikal, ekstimis apalagi yang teroris yang sudah melakukan kekerasan tapi juga melakukan amaliah. Amaliah dalam bahasa teroris adalah bukan bunuh diri, menghancurkan thaqut, pancasila bukan ideologi negara dan lain sebagainya,” paparnya.

 

Faktor Tergabung dalam Organisasi Ekstrim

Di masa pandemi seperti saat ini, media sosial menjadi salah satu sarana ampuh dalam proses penyebaran paham-paham ekstrim, hal ini karena sulit adanya ruang jumpa dan belajar secara langsung sehingga informasi-informasi dari media sosial menjadi santapan sehari-hari tanpa dinalar baik dan buruknya.

Selain media sosial, Junet turut menjelaskan faktor yang dapat menyebabkan seseorang tertatik dan tergabung dalam organisasi ekstrim.

“Dari kajian yang didapatkan dari para ahli, orang terlibat dalam ekstimisme dan kekerasan ataupun tidak itu bisa karena ada faktor pendorong atau faktor penarik. Biasanya faktor pendorong berasal dari dirinya dan faktor penarik itu dari lingkungan. Ada tiga lingkungan yang dapat diidentifikasi, pertama, faktor micro (dalam diri), kedua faktor mezzo (lingkungan sosial diluar diri yang dapat jangkau, ketiga macro (sosial politik secara nasional maupun internasioal),”

Junet menjelaskan, faktor micro itu bisa jadi faktor pendorong dalam dirinya, contohnya ketidakpuasan atas apa yang sudah didapatkan sekarang dalam konteks gairah keagamaan, mencari jati diri sudah beriman atau belum dan sebagainya. Pola ini muncul tidak hanya bagi anak muda tapi semua orang yang mencari jati diri.

Tapi, kata Junet, jika berbicara dalam anak muda biasanya akan muncul seperti itu, ditambah lagi dengan mezzo dan macro yang salurannya banyak. Sedangkan penariknya lebih kepada mezzo dan macro, saat dalam kegalauan keagamaan lalu menemukan cantelan ada yang mengajak, baik yang individu yang setara sepeti teman sepermainan atau individu yang dihormati serta didukung oleh kanal yang mempertemukan, yaitu media sosial itu tadi salah satunya.

 

Membangun Nalar Kritis

Banyak berkembang dalam masyarakat dan juga generasi muda tentang keutamaan berteman dengan satu golongan (agama, ras, dan suku) dan mengabaikan polarisasi kehidupan sosial hingga dapat menyebabkan konflik. Junet menekankan untuk pentingnya membangun nalar kritis bagi pemuda.

“Yang dibutuhkan adalah nalar kritis, nalar kritis harus dibangun. Bagi mahasiswa khususnya dan generasi muda harus membangun nalar kritis, caranya sederhana saja, apa yang bisa kita pertanyakan kita pertanyakan, yang tidak sesuai dengan pemikiran kita dipertanyakan,”

Sehubungan dengan pola yang kaku pada penganut ekstrimis, Junet menanggapinya dengan santai. Menurutnya, kelompok kaku harus dilawan dengan cara yang santai.

“Dilakukan dengan cara santai dengan ngopi, teman-teman yang insklusif ini bisa jadi kurang rileks dalam bergaul, maka harus sering diajak ngobrol diskusi, tapi bukan debat,” ungkapnya sembari bercanda.

Perihal keterlibatan agama dalam terorisme, Junet tidak menampik hal tersebut. Hal itu jelas digunakan dalam aksi terorisme yang terjadi di Indonesia.

“Wajar saja jika terorisme dianggap lekat dengan agama islam, karena memang kebanyakan aksinya menggunakan dalil agama. Contoh mulai dari bom bali 1 dan 2, narasi yang dibangun adalah narasi-narasi keagamaan. Hanya saja, agamanya kebetulan islam,” ungkapnya lagi.

Terorisme masih menjadi polemik, oleh karenanya Junet melihat bahwa terorisme harus dilihat dari dua aspek, yaitu pelaku dan korban.

“Orang yang terlibat dalam terorisme bisa dianggap sebagai pelaku dan juga sebagai korban. Sebagai pelaku karena telah menyebabkan ketakutan dan menjatuhkan fisik dan mental orang lain sedang sebagai korban karena mereka korban dari paparan ideologi ekstrimis. Kalau orang sudah dicuci otak, ia akan susah untuk keluar, tapi bukan tidak mungkin untuk tidak bisa,” terangnya.

Terakhir, ia berpesan agar melakukan deteksi dini agar kasus ekstrimis berujung pada aksi terorisme tidak berkembang dan kembali terjadi di Indonesia.

“Kita jaga diri, kelurga, teman dan kolega. Bila kita menemukan gejala yang mengarah pada proses radkalisais dan ektrimis, yang pertama adalah melakukan deteksi dini. Jangan sampai itu berada dalam lingkup terdekat kita. Proses deteksi dini ini punya tahapan-tahapan saya rasa kita punya cara untuk itu, kala bisa kita sebarluaskan. Kita berharap kasus ekstrimisme dan terorisme tidak menguat di Indonesia,” pungkasnya.

 

Penulis: Rio Pratama

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *