Idealisme dalam Beragama

Oleh: M.Rizki Yusrial

Selama matahari masih terbit dan terbenam di arah yang semestinya, selama suara gemuruh kendaraan yang lalu lalang masih terdengar di daerah perkotaan, selama ayam menyapa manusia dengan hangat di pagi hari dengan suara familiarnya dan selama tumbuhan masih berfotosintesis, selama itu juga kita akan dihadapkan dengan berbagai perbedaan. Mulai dari agama, suku, ideologi dan lain-lain.

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda”. Sebuah kalimat yang yang keluar dari seorang tokoh nasional yang kita kenal dengan Tan Malaka. Sebagai tafsiran pribadi, Tan Malaka menganjurkan para pemuda untuk memiliki idealisme agar ada sesuatu yang menjadi kemewahan. Sebab tak semua pemuda terlahir dari orang tua yang kaya raya.

Namun, kalimat dari Tan Malaka tentang idealisme ternyata tak serta merta berdampak positif terhadap perkembangan bangsa. Dalam dunia anime, pemuda yang memiliki ideliasme terkuat bagi saya masih dipegang oleh Uchiha Itachi, salah satu karakter dalam anime Naruto.

Baca Juga: Idealisme Pemuda Masa Kini

Dengan sikap nasionalismenya yang sangat idealis, Uchiha Itachi rela membantai seluruh anggota klannya sendiri dengan tujuan mempertahankan keutuhan negara. (Demi bangsa dan negara!). Tindakan itu didasarkan atas isu pemakzulan hokage dan rencana kudeta yang telah disiapkan oleh klannya. Tindakan sadis Uchiha Itachi rupanya juga terjadi dalam kehidupan nyata. Sebuah negara kepulauan (sebut saja Indonesia) sering terjadi pembantaian yang berlandaskan ideologi. Mulai dari sikap nasionalisme sampai ke pembelaan terhadap agama.

Yang sangat saya sayangkan adalah selalu ada orang atau kelompok yang menggunakan agama dan Tuhan sebagai pembenaran atas tindakan pembantaian. Padahal menurut hemat saya, agama hadir bukan untuk menciptakan perpecahan.

Pelanggaran hak asasi manusia yang berlandaskan ideologi agama sering kita kenal dengan aksi terorisme. Hal ini sering terjadi dan selalu warga sipil yang menjadi korban. Entah apa yang menjadi tujuan, yang jelas ada maksud tersembunyi dalam pembantaian orang tak bersalah itu.

Jika kita melihat kenangan-kenangan kelam yang terjadi di masa lalu, dimulai dari tahun 1967 terjadi penyerangan dan pembakaran gereja-gereja yang terjadi di Makassar. Kemudian di tahun 2002 terjadi lagi aksi pemboman di Bali sebanyak tiga kali. Ledakan pertama dan kedua terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club di Jalan Legian Kuta, Bali dan ledakan terakhir terjadi di dekat kantor konsulat Amerika serikat.

Hal yang menyeramkan itu terus menerus terjadi sampai bom gereja di Surabaya. Dalam waktu dekat ini terjadi lagi di Sulawesi Tengah. Setiap kejadian ending-nya selalu sama. Masyarakat akhirnya saling olok-mengolok terkait isu agama satu sama lain.

Padahal dalam cultural studies, para pemikir telah menciptakan sebuah terobosan untuk mengkritisi pemikiran modernisme. Sebab pikiran modernisme ini telah menciptakan peperangan ideologi yang berlanjut pada peperangan fisik. Sebagai bukti konkret atas perbedaan ideologi terjadi dua perang dunia yang menggugurkan banyak korban dalam waktu yang sangat singkat. Kemudian dunia dihadapkan dengan berbagai perang dingin yang memuluskan aksi terosisme negara dari dua kubu yang saling berperang. Terobosan tersebut kita kenal dengan postmodernisme.

Kedatangan postmodernisme ini sebenarnya sudah meredam berbagai bentuk peperangan ideologi. Namun, aksi terosisme ternyata memiliki umur yang panjang,  tetap saja perbedaan ideologi dan pemikiran masih memicu timbunya konflik yang melibatkan banyak nyawa. Sering kita membaca berita dan menonton televisi bagaimana pemerintah mengecam aksi terorisme dan sebagainya. Hal ini kelihatannya bagus, namun tak terlihat bagaimana keseriusan pemerintah dalam penanganan aksi semacam itu. Terlihat perkataan mengecam hanya sebatas ‘cuci tangan’ dan melegakan pikiran masyarakat secara temporer.

Mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam penanganan kasus semacam ini seharusnya gencar di perbincangkan. Sebab keselamatan dan ketenteraman masyarakat harus terus terjamin. Tidak menutup kemungkinan hal semacam itu terjadi lagi di masa yang akan datang.

Beragama dengan tenang haruslah menjadi hak setiap warga negara. Ketenangan dalam menyampaikan doa-doa harus didapatkan oleh setiap orang. Ketakukan dan kecemasan haruslah segera dihilangkan dengan mendapat perlindungan. Itulah yang kita harapkan agar segera terrealisasi di Indonesia. Berapapun yang menyangkal bahwa kekerasan yang terjadi di Sulawesi Tengah berkaitan dengan ideologi agama, tetap saja hal itu tidak akan ‘membunuh’ sang kebenaran.

M. Rizki Yusrial, Mahasiswa Filsafat Asal Jambi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *