ICRP Suarakan Kesetaraan Gender dan Kepemimpinan Inklusif

Kabar Utama45 Views

Kabar Damai | Rabu 10 Mei 2023

Jakarta I Kabardamai.id I Linda Koswara, manajer program Indonesian Confrence of Religion and Peace (ICRP) ikut memberikan materi soal kepempinan perempuan dalam Pre-Workshop Peace Train Indonesia yang digelar ICRP secara virtual, pada Rabu (3/5).

Ia membuka presentasinya dengan menyebutkan sejumlah pekerjaan seperti dokter, perawat, atau tugas sehari-hari seperti memasak dan mencari nafkah. Linda kemudian memancing para peserta untuk mengatribusikan pekerjaan-pekerjaan tadi dengan stereotip gender yang berlaku di masyarakat.

Menurutnya, kita cenderung memiliki pemahaman yang mengakar dalam kebudayaan di mana pekerjaan seperti dokter atau tugas mencari nafkah cenderung diasosiasikan dengan laki-laki, begitupula misalnya profesi perawat dan tugas mengurus keluarga cenderung dianggap sebagai pekerjaan bagi kaum perempuan. Hal ini hanyalah sebagian contoh kecil dari fenomena patriaki yang ada di masyarakat.

“Secara tidak sadar, kita mengatribusikan suatu peran sebagai milik perempuan, atau milik laki-laki,” ujarnya.

Kualifikasi untuk terlibat dalam suatu pekerjaaan, semestinya tak hanya dipertimbangkan secara diskriminatif melalui streotipe gender. Seseorang harus diukur secara objektif untuk dinilai kompetensinya.

Linda menegaskan bahwa perempuan memiliki hak untuk dilibatkan dalam tugas-tugas penting dalam pengambilan keputusan atau kebijakan pemerintah. Masalah “glass ceiling” yang menghambat partisipasi perempuan, menurutnya harus bisa dipecahkan. Baik diskriminasi gender yang terjadi secara halus dan dilakukan secara tak sadar, maupun diskriminasi lebih nyata yang dapat kita sadari.

Baca juga: Kedubes Finlandia dalam PTI: Perlu Peran Perempuan untuk Perdamaian Berkelanjutan

Tak Cuma itu, menurutnya terdapat perempuan yang mengalami kesulitan internal, yakni kondisi dimana perempuan kesulitan “melawan” kultur patriaki yang membuat diri mereka tak percaya pada diri mereka sendiri. Hal ini kata Linda, membuat mentorship bagi perempuan menjadi sesuatu yang penting.

“Kita butuh Allies, jadi nggak bisa berdiri sendiri,” katanya.

Ia kemudian menyinggung perihal gagasan-gagasan tradisional mengenai kepemimpinan yang cenderung bersifat militeristik, di mana bawahan dituntut untuk patuh pada pimpinan, dan hasil suatu pekerjaan dianggap lebih penting dibandingkan proses.

Kepemimpinan etis, menurutnya adalah suatu kepemimpinan yang lebih menciptakan relasi yang setara antara pimpinan dan bawahan, dan menghargai proses sebagai sesuatu hal yang sama pentingnya dengan hasil.

Ethical leader mengenali kekuatan dirinya dan kelemahan dirinya, jadi melihat proses itu sama pentingnya dengan hasilnya,” jelasnya.

Selanjutnya, Linda kemudian memberikan edukasi mengenai Transformational Feminist Leadership, yang merupakan gagasan kepemimpinan yang melibatkan lensa gender secara menyeluruh, sehingga inklusifitas dapat berjalan secara berkelanjutan.

Pola kepemimpinan ini juga menekankan pendeketan yang lebih luas atau melibatkan kelompok-kelompok lain seperti kelompok ras, agama atau etnis yang juga mengalami masalah diskriminasi sosial serupa.

“Kita libatkan mereka sehingga bisa jadi active agent, untuk mencapai inklusivitas,” terangnya.

Terakhir, ia memberikan pemahaman mengenai kepemimpinan adaptif, dimana seseorang dapat menjadi pempimpin meskipun tanpa jabatan yang tinggi. Caranya, setidaknya sesorang dapat menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri ataupun aktif berdiskusi dalam proses suatu pengambilan kebijakan.

“Kita punya peran untuk terlibat dalam keputusan, Regardless posisi kita,” pungkasnya.

 

Penulis: Arif Sanjaya dan Lita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *