Oleh Ahmad Nurcholish
Saat melewati sebuah gua yang menyimpan air jernih di dalamnya, terbersit dalam pikiran seorang laki-laki untuk tinggal di sana selamanya hingga ajal menjemput. Ia akan tinggalkan hiruk pikuk dunia. Untuk hidup, ia bisa minum air yang ada dan makan dari tetumbuhan yang hidup subur di sekitar gua.
Laki-laki itu lantas terpikir akan menanyakan rencananya itu kepada Nabi Muhammad jika kelak bertemu. “Kalau beliau izinkan, aku akan lakukan, kalau tidak, tidak,” begitu pikirnya. Akhirnya, laki-laki itu berhasil menemui Nabi yang saat itu tengah menempuh sebuah perjalanan. Ia lalu bercerita mengenai keinginannya tersebut. Mendengar ini, Nabi menjawab, “Aku tidak diutus dengan keyahudian, juga tidak dengan kekristenan. Akan tetapi aku diutus dengan kehanifan yang lapang (al-hanifiyat al-samhah). Demi Dia yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, pergi pagi dan pulang petang di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya. Pastilah berdiri tegaknya seseorang di antara kamu (dalam barisan perjuangan) adalah lebih baik daripada sembahyangnya selama enam puluh tahun.”
Kisah laki-laki ini diangkat dalam hadis riwayat Imam Ahmad dari kisah sahabat Nabi Abu Umamah.
Al-hanifiyat al-samhah, arti literalnya “semangat kebenaran yang toleran”. Terma ini muncul dalam beberapa hadis, di antaranya: Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa Nabi Saw., ditanya, “Agama mana yang paling dicintai Allah?” Nabi menjawab, “Semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyat al-samhah).” (HR. Imam Ahmad)
‘Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku ini diutus dengan semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyat al-samhah).” (HR. Imam Ahmad)
Dalam Islam, sikap hanif bagian dalam prinsip ketauhidan. Ajaran lain menyangkut titik persamaan tersebut – setelah tauhid – misalnya tercantum dalam al-Qur’an seperti berikut ini:
“Katakanlah: Mari kubacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun; dan berbuatlah baik kepada ibu-bapakmu; janganlah membunuh anak-anakmu karena dalih kemiskinan. Kami member rezeki kepadamu dan kepada mereka. Janganlah lakukan perbuatan keji yang terbuka ataupun yang tersembunyi; janganlah hilangkan nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan adil dan menurut hukum. Demikian Dia memerintahkan kamu supaya kamu mengerti”. (QS. Al-An’am [6]: 151-152)
“Janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali untuk memperbaikinya dengan cara yang lebih baik, sampai ia mencapai usa dewasa. Penuhilah takaran dan neraca dengan adil; kami tidak membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya; dan bila kamu berbicara berbicaralah sejujurnya, sekalipun mengenai kerabat; dan penuhilah janji dengan Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kamu supaya kamu ingat”. (QS. Al-An’am [6]: 153)
Dalam Islam Pluralis, Budhy Munawar-Rachman berpandangan merujuk ayat-ayat di atas, menjadi penguat argumen mengapa ketauhidan berada di urutan pertama. Artinya, sesuatu yang amat menentukan masa depoan agama itu sendiri, di hadapan ancaman mitologis; disusul berbagai ketentuan kehidupan bermoral lain.
Dasar Islam adalah Inklusif
Dalam QS . al-An’am [6]: 151, kata intelektual muslim murid Nurcholish Madjid ini, termuat penegasan larangan bagi umat manusia: memperserikatkan Tuhan dengan sesuatu. Selanjutnya, berdasarkan tauhid tersebut ditetapkanlah apa yang diperintahkan, dibolehkan, dan dilarang. Misalnya berbuat baik kepada kedua orang tua yang ditaruh setelah prinsip tauhid itu –dengan mengutip tafsir Abdullah Yusuf ‘Ali—mengandung arti bahwa: pertama, cinta Tuhan kepada manusia itu adalah cinta yang murni layaknya cinta orang tua kepada kita yang tidak mementingkan diri sendiri; kedua, kewajiban sosial yang tertuju kepada orang tua, adalah karena cinta mereka telah membimbing kita ke arah penghayata cinta Tuhan.
Di sini, kecintaan sejati dari orang tua kepada kita itu telah mewajibkan kita (juga) untuk mencintaianak-anak kita. Sehingga hubungan baik dengan orang tua, dan dilajutkan cinta kepada anak keturunan dapat menjadi “persambungan cinta kasih” (shilat al-rahm), “silaturrahmi”) sebagai dasar integrasi sosial.
Dalam ayat di atas, pesan itu diteruskan dengan peringatan agar kita tak terjerat pada berbagai bentuk kekejian dan kekotoran – baik yang nyata maupun yang tidak nyata -. Pesan moral ayat ini, bermakna pentingnya mawas diri yang menyeluruh. Bagian terakhir ayat ini diakhiri dengan peringatan: jangan sekali-kali membunuh sesama manusia. Allah telah memuliakan manusia (QS. al-Isra’ [17]: 70) dan menciptakannya sebagai puncak makhluk-Nya (QS. al-Tin [95]: 4). Membunuh seorang manusia, bukan hanya dosa individual, tapi adalah dosa social atas kemanusiaan, karena sama dengan membunuh seluruh umat manusia (QS. al-Maidah [5]: 32). Pembunuhan, hanya dibolehkan dengan alasan haqq.
Baca Juga : Pesan Taqwa dan Implikasi Sosial Tauhid Ust. Asep Saepullah
Dengan membaca penjelasan dan penegasan di atas, maka sangat jelas pesan dasar Islam sesungguhnya inklusif dan memiliki titik temu dengan prinsip dasar agama lain. Dari segi iklusifnya, penafsiran terhadap ayat-ayat di atas tadi menegaskan, pertama, bahwa para penganut agama lain, dalam hal ini Yahudi dan Kristiani, harus pula menjalankan kebenaran yang diberikan Allah pada mereka, melalui Kitab-kitab mereka itu – dan kalau mereka tidak melakukan hal tersebut, maka mereka adalah kafir dan zalim. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an, s. al-Maidah [5]: 44 dan 47:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab taurat, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya, yang dengan Kitab itu nabi-nabi yang islam (pasrah kepada Allah) menetapkan hukum bagi orang-orang Yahudi, begitu juga parapendeta dan ulama mengikuti Kitab yang mereka diperintahkan untuk menjaganya, dan mereka sendiri dahulu adalah saksi atas hal itu. Oleh itu – wahai kaum Yahudi – janganlah kamu takut kepada manusia, melainkan takutlah kepada-Ku, dan janganlah kamu menjual ajaran-ajaran-Ku dengan harga murah. Barangsiapa yang tidak menjalankan hukum dengan apa yang telah aku turunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”.
“Dan hendaklah para pengikut Injil menjalankan hukum (ajaran) dengan apa yang telah diurunkan oleh Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.
Juga al-Qur’an, s. al-Maidah [5]: 66, “Dan kalau mereka bersungguh-sungguh menegakkan Taurat dan Injil serta apa yang diturunkan kepada mereka dari Tuhan mereka, niscaya mereka akan makan – mendapat kemakmuran – dari atas mereka – langit, dan dari bawah kaki mereka – bumi. Di antara mereka ada umat yang lurus, dan banyak dari mereka buruk apa yang mereka perbuat”.
Dari ayat-ayat di atas, maka, yang Kedua, al-Qur’an jelas mendukung kebenaran dasar Kitab Suci itu, tetapi al-Qur’an juga akan mengujinya dari kemungkinan penyimpangan, termasuk kepada kaum Muslim sendiri atas ajaran-ajaran keislamannya. Karena itulah bagi kaum Muslim, al-Qur’an mengajarkan kontiunitas, dan sekaligus perkembangan dari agama-agama sebelum Islam.
“Islam, Agama Manusia Sepanjang Masa” di buku Pintu-pintu Menuju Tuhan (1994), Nurcholish Madjid mengatakan: “Suatu agama, seperti agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad – yang memang secara sadar dari semula disebut [Islam] agama sikap pasrah sempurna kepada Allah – ….adalah tidak unik (dalam arti, tidak berdiri sendiri dan terpisah). Dia berada dalam garis kelanjutan dengan agama-agama lain. Hanya saja, seperti halnya dengan semua yang hidup dan tumbuh, agama itu pun, dalam perjalanan sejarahnya, juga berkembang dan tumbuh, sehingga kahirnya mencapai kesempurnaan dalam agama Nabi Muhammad, Rasul Allah yang penghabisan, yang tiada lagi Rasul sesudah beliau (h. 3).
Aspek kebenaran yang didukung dan dilindungi al-Qur’an ini adalah kebenaran asasi yang menjadi inti semua agama Allah. Al-Qur’an memberi istilah al-din (ketundukan, kepatuhan, ketaatan) yang mengandung makna tidak hanya hukum agama tertentu, tetapi juga kebenaran-kebenaran spiritual asasi yang tidak berubah-ubah – yang merupakan hakikat primordial manusia. [ ]
Ahmad Nurcholish, Pengajar Religious Studies Universitas Prasetya Mulya Tangerang, Deputy Direktur ICRP