Oleh: Husnun Mufidah
Praktek kebebasan beragama dimaknai sebagai kemerdekaan jika perumusan dan mempunyai definisi yang jelas. Kebebasan beragama di Indonesia sudah mulai cukup membaik tetapi penguatan hak kebebasan beragama bukan berarti tidak diiringi pelanggaran. Kebebasan beragama merupakan hak dari semua warga negara tetapi terkadang para sebagaian oknum menolak adanya hak setiap orang untuk memilih hak keyakinan bergama.
Seperti halnya yang terjadi pada pekerja seksualitas yang mempunyai hak asasi untuk memilih setiap keyakinan. Pekerja seksualitas pada masa lalu dilakukan secara sembunyi-sembunyi tetapi untuk sekarang pekerjaan tersebut sudah terdengar lumrah dikalangan masyarakat
Pembicaraan tentang seksualitas sudah menarik dari dahulu, dan sebelumnya pembicaraan ini sudah dianggap tabu dilakukan secara lirih dan sembunyi-sembunyai, untuk saat ini hal tersebut sudah menjadi lumrah dan terbuka. Semakin maju zaman di era ini obrolan tersebut sudah menjadi perbincangan wajar dalam infotaiment maupun sekedar sesi obrolan.
Di setiap stasiun televisi, youtube atau media massa lainnya banyak konten yang mengandung unsur seksual hanya untuk mengundang penonton dan meramaikan sebuah acara tersebut. Maraknya hal tersebut membuat adegan dewasa, adegan berciuman, dan adegan yang tidak senonoh perlahan dianggap lumrah dalam masyarakat yang modern ini.
Baca Juga: Internalisasi Ragam Budaya dan Tradisi Lokal Khas Kalbar
Kehidupan para pekerja seksualitas dengan agama mempunyai ruang tersendiri bagi setiap personal, mereka juga bebas untuk memilih dan berhak meyakini agama apa yang mereka Imani. Di sisi lain para pekerja seksual mempunyai tantangan berat dalam hal dunia dan urusan agama-Nya.
Di dunia ini semua mahkluk sosial membutuhkan spiritualitas ketuhanan dalam setiap aspek kehidupannya, hanya saja Tuhan diwujudkan dalam bentuk agama atupun tidak. Akan tetapi, jika mengikuti hak asasi manusia maka kebutuhan berketuhanan adalah bagian dari dasar kebutuan manusia.
Meskipun para pekerja seksual sudah dipandang masyarakat buruk tetapi mereka mempunyai keyakinan yang perlu mereka imani, yang perlu mereka yakini, setiap orang mempunyai sisi baik dan buruk tersendiri dihadapan Tuhan-Nya. Seburuk-buruknya seorang manusia tetap kembali meminta ampun kepada Tuhan-Nya.
Mungkin itu yang ditunggu para masyarakat awam untuk menunggu pekerja seksual bertaubat. Di lain sisi, seorang pekerja seksual tidak sepenuhnya patut dicap sebagai sosial yang buruk dan menganggap mereka tidak melaksanakan ibadah atau tidak ingin dengan tuhan. Hal ini dibuktikan saat bulan suci ramadhan tiba mereka meninggalkan pekerjaan tersebut untuk menghargai bulan suci ramadhan, serta membawa hasil dan upah dari pekerjaan mereka di tanah perantauan untuk keluarga mereka di desa
Pekerja seksualitas memiliki kebutuhan rohani sama seperti kebutuhan fisik yang lainnya, tatkala dalam menghadapi persoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh akal. Sedangkan akal mempunyai batasan kemampuan. Ketika dalam posisi tersebut dunia kerohanian yang syarat dengan Tuhan menjadi jalan utama untuk menjadi petunjuk.
Namun bukan berarti Tuhan hanya hadir dalam masjid, lembaga pengajian, pura dan tempat ibadah yang lain. Bukan berarti Tuhan tidak hadir dalam dunia pekerja seksual hanya saja Tuhan dihadirkan dalam keadaan dan situasi dari personal pekerja seksualitas. Bagi para pekerja seksualitas tentunya, kebutuhan spiritual yang berhubungan dengan Tuhan masih ingin dihadirkan, tidak hanya membutuhkan hal-hal yang bersifat materi saja.
Husnun Mufidah, Mahasiswa Prodi Studi Agama-Agama UIN Sunan Ampel Surabaya