Kabar Damai I Sabtu, 04 September 2021
Jakarta I kabardamai.id I Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia mengacu pada Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang ditetapkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948 melalui Resolusi 217 A (III).
DUHAM merupakan standar umum mengajarkan dan melindungi harkat martabat manusia di seluruh dunia. Isinya kesetaraan semua manusia, tanpa terkecuali, dalam hak asasi, yang termasuk di dalamnya hak individu untuk hidup bebas dari perbudakan dan hukuman yang tidak manusiawi, setara di hadapan hukum, mengutarakan pendapat, berkumpul, mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak, beristirahat, berkeyakinan dan berpikir, dan lain sebagainya.
DUHAM yang melindungi HAM itu kemudian diturunkan lebih lanjut dalam bentuk kovenan, terutama Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Kovenan SIPOL) dan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan EKOSOB).
Menurut : KH. Zainul Maarif, Lc., M.Hum, Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) dan Pengajar di Pondok Pesantren Ciganjur Dua kovenan tersebut ditetapkan oleh PBB pada tanggal yang sama melalui resolusi yang sama, yaitu tanggal 16 Desember 1966 dan Resolusi Mejelis Umum PBB 2200 A (XXI).
“Sesuai namanya, Kovenan SIPOL berisi perlindungan hak asasi manusia di bidang politik dan sipil, sedangkan Kovenan EKOSOB mengaksentuasikan sisi ekonomi, sosial dan budaya yang telah tercatat di DUHAM,” terang Zainul, dalam Khutbah Shalat Jumaat Virtual, Jumat (3/9/2021).
Resistensi terhadap HAM
DUHAM berikut Kovenan SIPOL dan Kovenan EKOSOB merupakan manifestasi upaya umat manusia sedunia untuk menjaga dan memajukan harkat martabat manusia. Tapi tak semua manusia setuju pada tiga standar umum HAM internasional itu. Sebagian orang/kelompok menunjukkan resistensi terhadap HAM, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi.
Resistensi terhadap HAM kerap muncul dari kalangan yang pernah/sedang bekerja di sector pertahanan-keamanan yang potensial/bahkan telah actual melakukan pelanggaran HAM. Mereka kerap menuduh HAM sebagai agenda internasional yang bertolak belakang dengan “kepentingan nasioanal”.
Zainul menambahkan bahwa kata “kepentingan nasional” sengaja diletakkan di antara tanda kurung, karena kerap kali yang dimaksud dengan “kepentingan nasional” adalah kepentingan segelintir elit suatu negara, yang tak segan-segan untuk melanggar HAM demi menggapai kepentingannya.
Baca Juga: Pemikiran Muhammed Arkoun Tentang Dekonstruksi “Kritik Nalar Islam”
“Mereka menuduh aktivis HAM sebagai antek-antek kepentingan asing, yang kemudian secara diam-diam mereka bungkam dan hilangkan. Dengan dalih negara bangsa, mereka menganggap HAM produk asing yang tak selaras dengan jati diri bangsa,” beber Zainul.
Selain pihak “nasionalis-militeristik”, pihak yang kerap menolak HAM adalah kalangan agamis. Sebagian umat Islam konservatif, misalnya, menganggap HAM tidak berasal dari Islam sehingga harus ditolak. Kolaborasi antara umat Islam konservatif dan elit-elit nasioalis-militeristik mudah untuk mencapai kesepakatan untuk menuduh Kovenan SIPOL merupakan produk pemikiran Individualis-Kapitalis, sementara Kovenan EKOSOB merupakan produk pemikiran Sosialis-Komunis.
Pihak Islam konservatif menyatakan bahwa Islam bukan Kapitalis atau pun Sosialis, tak setuju dengan keduanya Pihak “nasioanalis-militeristik” juga berpendapat senada. Misalnya, di Indoneisa, pihak “nasionalis-militeristik” itu potensial berpendapat Indonesia bukan negara Kapitalis atau Komunis, sehingga produk pemikiran Kapitalis atau Komunis ditolak di Indonesia.
DUHAM berikut dua konvenannya yang dituduh sedemikian rupa pun ditolak, minimal secara sembunyi-sembunyi, oleh kaum nasionalis-militeristik dan kaum Islam konservatif. Yang jadi pertanyaan, apakah HAM, minimal di ranah Indonesia, bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Indonesia? Apakah HAM juga bertolak belakang dengan agama, khususnya Islam, yang notabene dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia?
Pancasila tidak bertentangan denga HAM
Pertanyaan pertama dijawab negatif. Sebab, prinsip dasar negara Republik Indonesia adalah Pancasila. Sila Kedua Pancasila secara jelas berbunyi: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Kemanusiaan dengan begitu merupakan hal yang fundamental di Indonesia. Indonesia didirikan antara lain untuk memastikan manusia di Indonesia terlindungi dan maju harkat martabat kemanusiaannya, secara adil dan beradab.
Zainul kemudian mempertanyakan, apakah saat ini cita-cita tersebut telah terwujud ataukah tidak, bukan faktor yang menafikan keberadaan Sila Kedua Pancasila tersebut. Sisi kemanusiaan yang adil dan beradab di Indonesia mungkin belum sempurna. Tetapi, minimal niat ke arah sempurna. Tetapi, minimal niat ke arah pemanusiaan yang adil dan beradab sudah ada di Indonesia.
Proses riil untuk bertindak adil dan beradab kepada manusia juga sedang diupayakan. Dengan demikian, Indonesia yang memiliki sila kedua Pancasila itu tidak bertentangan dengan HAM. Justru sebaliknya, Indonesia telah memiliki prinsip yang selaras dengan HAM, dan akan lebih kuat sekiranya pasal-pasal dalam DUHAM, Kovenan SIPOL dan Kovenan EKOSOB dilaksanakan secara penuh di Indonesia.
Pertanyaan kedua terkait ketidakselarasan HAM dan ISLAM, juga dijawab dengan kata “tidak!”.
“DUHAM dan dua kovenannya, justru sebaliknya, selaras dengan ajaran Islam, karena Islam mengandung hal-hal yang tercatat dalam ketentuan-ketentuan HAM internasional itu. Al-Qur`an secara tegas menetapkan,” ungkap Zainul kembali mengeaskan keselrasan DUHAM dan islam.
“Barangsiapa membunuh satu jiwa, bukan karena [orang itu membunuh] jiwa orang orang lain, atau [bukan] karena membuat kerusakan di bumi, maka seolah-olah ia telah membunuh semua manusia. Dan barangsiapa memelihara [kehidupan seorang manusia], maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan semua manusia,” [QS. al-Ma`idah: 32].
Islam dan larangan membunuh
Ayat itu berisi larangan untuk membunuh manusia dan anjuran untuk menghidupinya. Membunuh seorang manusia sama dengan membunuh semua manusia.
Sebab, pembunuhan seorang manusia memberi inspirasi bagi pembunuhan berikutnya, yang mengesampingkan harkat martabat manusia. Contohnya, pembunuhan yang dilakukan Qabil (Cain) terhadap adiknya sesama putera Adam, yaitu Habil (Abel).
Hingga sekarang dan masa depan, pembunuhan pertama itu menjadi inspirasi langsung ataupun tidak langsung bagi pembunuhan berikutnya hingga masa depan.
Contoh lainnya, Riyan, seorang lelaki penyuka sesama jenis yang membunuh pacarnya yang
mengecewakannya. Riyan dari Jombang itu memutilasi korban-korban. Pembunuh setelahnya melakukan hal serupa. Karena memberi inspirasi bagi pembunuhan berikutnya dan merendahkan harkat martabat manusia, maka membunuh seorang manusia sama dengan membunuh semua manusia.
“Sebaliknya, menghidupi seorang manusia sama dengan menghidupi semua manusia. Seorang manusia mempunyai banyak potensi. Di masa depan, seorang manusia bisa menjadi apa saja. Orang tersebut pun bisa menghidupi orang lain, bahkan bisa berkontribusi besar di masyarakat bahkan seluruh dunia,” jelasnya.
Misalnya Abu Thalib, yang sejatinya, miskin berkenan mengasuh Muhammad kecil, yang yatim piatu,
kehilangan ayah, ibu dan kakek. Abu Thalib, paman Nabi Muhammad Saw. dan ayah Sayyidina Ali ra. itu memang menghidupi seorang Muhammad kecil. Tetapi, di masa berikutnya, Nabi Muhammad Saw. merupakan tokoh dunia hingga akhir masa. Maka dari itu, menghidupi satu orang saja sama dengan menghidupi seluruh manusia
Pesan al-Qur`an tentang larangan membunuh dan anjuran menghidupi manusia itu selaras dengan DUHAM yang melindungi dan menjamin hak negatif dan hak positif tiap individu.
Hak negative adalah hak invididu untuk tidak diperlakukan buruk (antara lain untuk ditidak dibunuh dan dihukum secara semena-mena), sementara hak positif adalah hak individu untuk mendapatkan perlakukan baik (misalnya mendapat kehidupan layak).
Pesan ayat al-Qur`an itu juga senafas dengan hak SIPOL di Kovenan SIPOL yang seharusnya dibiarkan dengan jaminan bebas (seperti hak hidup dan bebas berpikir), dan hak EKOSOB di Kovenan EKOSOB yang seharusnya dipenuhi dengan sebaik mungkin (misalnya hak untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan layak).
Rasulullah, dengan kata lain, menyatakan keterlindungan nyawa dan harta siapapun. Tak seorang pun diperkenankan membunuh orang lain. Tak seorang pun diizinkan merampas harta orang lain. Dalam bahasa HAM kontemporer, Rasulullah saw. menyatakan eksistensi hak hidup (right to live) dan hak milik (property right) pada setiap orang yang seharusnya dijamin tanpa diganggu oleh siapapun.
Islam Selaras dengan HAM
Selain di ranah al-Qur`an dan hadits, ajaran Islam yang selaras dengan HAM internasional juga terdapat di bidang hukum Islam (fiqh), khususnya teori hukum Islam (ushul fiqh). Di dalam buku al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarîʼah, Abu Ishaq al-Syathibi mengatakan tujuan syariat Islam adalah untuk
kemaslahatan manusia di masa kini dan masa depan.
Syariat Islam ditetapkan untuk menjaga tujuan syariat itu pada umat manusia. Tujuan syariat Islam terbagi tiga: tujuan yang niscaya/tujuan primer (dharûriyyah), tujuan yang dibutuhkan/tujuan sekunder (hâjiyyah), dan tujuan yang untuk kepantasan/tujuan tersier (tahsîniyyah).
Dua tujuan yang terakhir menginduk pada tujuan yang pertama. Jadi yang terpenting adalah tujuan yang niscaya (al-maqâshid al-dharûriyyah).
Zainul kembali mengukuh pandangannya dimana ajaran Islam selaras bahkan mendukung HAM. Dasar negara Indonesia juga selaras dan mendukung HAM. DUHAM dan kovenan-kovenannya tidak sekadar selaras dengan agama Islam dan negara Indonesia, tapi juga berupaya menjaga dan memajukan harkat martabat manusia.
“Maka dari itu, seyogianya manusia, siapapun itu, mendukung HAM yang parameternya tercatat dengan baik dalam ketentuan HAM internasional tersebut. Jika ada manusia yang membenci HAM, maka perlu dipertanyakan kemanusiaannya,”pungkasnya.
Penulis: Ai Siti Rahayu