Oleh: Rio Pratama
Lahirnya organisasi Gerakan Non-Blok dilatarbelakangi oleh kekhawatiran para pemimpin negara-negara dunia ketiga terutama dari Asia dan Afrika terhadap munculnya ketegangan dunia waktu itu karena adanya persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur. Dengan dipelopori oleh lima pemimpin Negara Indonesia, India, Pakistan, Burma dan Srilangka, terselenggaralah pertemuan pertama di Kolombo (Srilangka) pada tanggal 28 April – 2 Mei 1952, dilanjutkan dengan pertemuan di Istana Bogor pada tanggal 29 Desember 1954. Dua konferensi diatas merupakan cikal bakal dari terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada tanggal 18 April – 25 April 1955 yang dihadiri oleh wakil dari 29 negara Asia dan Afrika.
Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung merupakan proses awal lahirnya Gerakan Non Blok (GNB). Tujuan Konferensi Asia Afrika adalah untuk mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia waktu itu dan berusaha memformulasikan kebijakan bersama Negara-negara yang baru merdeka tersebut pada tataran hubungan internasional. Sejak itu, proses pendirian GNB semakin mendekati kenyataan, dan pada proses ini tokoh-tokoh yang memegang peran kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Ghamal Abdul Nasser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawalharlal Nehru, Presiden Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito. Kelima tokoh ini kemudian dikenal sebagai para pendiri Gerakan Non Blok.
Adanya ketegangan dunia yang semakin meningkat akibat persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur, yang dimulai dari pecahnya perang Vietnam, perang Korea, dan puncaknya krisis teluk Babi di Kuba, hampir saja memicu Perang Dunia III. Hal itu mendorong para pemimpin Negara-negara Dunia Ketiga untuk membentuk organisasi yang diharapkan bisa berperan mengurangi ketegangan politik dunia internasional. Pembentukan organisasi Gerakan Non Blok dicanangkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I di Beogard, Yugoslavia 16 September 1961 yang dihadiri oleh 25 negara dari Asia dan Afrika.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi I tersebut, Negara-negara pendiri Gerakan Non Blok berketepatan untuk mendirikan suatu gerakan dan bukan suatu organisasi untuk menghindarkan diri dari implikasi birokratik dalam membangun upaya kerjasama diantara mereka. Pada Konferensi Tingkat Tinggi I ini, juga ditegaskan bahwa Gerakan Non Blok tidak diarahkan pada suatu peran pasif dalam politik internasional, tetapi untuk memformulasikan posisi sendiri secara independen yang merefleksikan kepentingan Negara-negara anggotanya.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia pada saat itu baru saja merdeka dan diakui oleh negara negara lain. Setelah berhasil memerdekakan diri dan meraih pengakuan dunia, Indonesia menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA). KAA digelar di Bandung pada April 1955 dan dihadiri 29 pemimpin dari Asia dan Afrika. Konferensi itu membahas masalah-masalah yang dihadapi negara-negara bekas koloni Barat yang baru berkembang. Dalam KAA juga disepakati prinsip dasar hubungan internasional yang dikenal sebagai Dasasila Bandung. Namun KAA tak cukup. Sebab, ada negara berkembang yang baru merdeka juga, yakni Yugoslavia yang berada di luar Asia dan Afrika. Maka setelah KAA Bandung, pada tahun 1956 ada pula Deklarasi Brijuni yang digelar di Pulau Brijuni, Yugoslavia.
Deklarasi itu ditandatangani Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, dan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser. Jawaharlal Nehru dan para pemimpin negara berkembang tak ingin terseret pertarungan politik AS dengan Uni Soviet. Usai Perang Dunia II, AS dan Uni Soviet terlibat dalam Perang Dingin. Perang Dingin adalah ketegangan politik yang terjadi antara Barat (Amerika Serikat dan sekutu NATO) dengan Uni Soviet dan negara-negara satelitnya. Keduanya berebut ideologi. AS dengan demokrasinya melawan Uni Soviet dan komunismenya. Yang jadi sasarannya, negara-negara berkembang yang baru merdeka seperti Indonesia dan India.
Baca Juga: Ragam Kebudayaan Masyarakat Kapuas Hulu
Kondisi ini membuat Jawaharlal Nehru dan pemimpin dunia lainnya menginisiasi Gerakan Non-Blok. GNB terbentuk lewat Konferensi Beograd yang digelar pada 1961. Sebanyak 25 negara yang turut serta yakni Afghanistan, Algeria, Yaman, Myanmar, Kamboja, dan Sri Lanka. Kemudian Kongo, Kuba, Cyprus, Mesir, Ethiopia, Ghana, dan Guinea. Lalu India, Indonesia, Irak, Lebanon, Mali, Maroko, Nepal, Arab Saudi, Somalia, Sudan, Suriah, Tunisia, dan Yugoslavia. Lima tokoh penting yang jadi penggagas yakni Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, PM India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia Soekarno, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, dan PM sekaligus Presiden Ghana Kwame Nkrumah.
Pembentukan Gerakan Non-Blok ini diharapkan dapat menciptakan persatuan negara negara berkembang dalam menjaga perdamaian dunia dan menetapkan posisi anggtanya sebagai pihak netral. Kenetralan ini dapat mengurangi ketergantungan terhadap sekutu maupun uni soviet. Ketergantungan terhadap negara-negara besar tadi dapat mempengaruhi pemerintahan negara-negara kecil untuk berubah sesuai kepentingan negara besar. Selain itu, partisipasi Indonesia dalam pembentukan GNB merupakan bentuk perwujudan tujuan negara yang tercantum di pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4 yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Sebelum GNB terbentuk, gagasannya sudah ada terlebih dahulu lima tahun sebelumnya. Kala itu, Presiden Soekarno mengadakan pertemuan dan mengundang pemimpin negara di Asia dan Afrika yang baru merdeka itu ke Bandung. Pertemuan itu melahirkan sebuah gagasan yang disebut dasasila. Gagasan ini yang kemudian menjadi cikal bakal terlahirnya gagasan GNB. Pertemuan ini dikenal sebagai Konferensi Asia-Afrika (KAA). Konferensi tersebut menghasilkan Dasasila Bandung yang menjadi prinsip dasar hubungan internasional yang telah disepakati.
Melalui gagasan itu, terciptalah Gerakan Non-Blok yang dirintis oleh beberapa pemimpin negara. Para pemimpin negara yang terlibat di antaranya, Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, PM India Jawaharlal Nehru, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, PM sekaligus Presiden Ghana Kwame Nkrumah, dan Presiden Indonesia Soekarno. Peran Indonesia dalam gerakan ini, selain menjadi pemrakarsa juga sempat memimpin pada tahun 1992 sampai 1995. Dimana, Presiden Soeharto menjabat sebagai ketua gerakan serta Indonesia menjadi tuan rumah bagi Konfrensi Tingkat Tinggi X gerakan Non-Blok pada 1-6 September 1992.
Selaku ketua gerakan Non-Blok saat itu, Indonesia juga menghidupkan kembali dialog konstruktif Utara-Selatan berdasarkan saling ketergantungan yang setara, kesamaan kepentingan dan manfaat, serta tanggung jawab bersama. Selain itu, Indonesia juga mengupayakan penyelesaian masalah utang luar negeri negara-negara berkembang miskin yang terpadu, berkesinambungan dan komprehensif. Selain mengatasi permasalahan perdamaian dunia, perhatian gerakan Non-Blok juga menyasar pada masalah-masalah terkait pembangunan ekonomi negara berkembang, yang di dalamnya menyangkut tentang pengentasan kemiskinan dan lingkungan hidup.
Sedangkan dalam bidang politik Indonesia selalu berperan dalam upaya peningkatan peranan gerakan Non-Blok untuk menyerukan perdamaian dan keamanan internasional, proses dialog dan kerjasama dalam upaya penyelesaian damai konflik-konflik intra dan antar negara, dan upaya penanganan isu-isu dan ancaman keamanan global baru. Gerakan Non-Blok tidak memiliki struktur organisasi seperti PBB melainkan berupa prinsip yang diikuti oleh anggota-anggotanya. Satu-satunya pengurus dalam GNB adalah Ketua GNB yang dijabat oleh kepala pemerintahan negara yang menjadi tuan rumah Konferensi Tigkat Tinggi (KTT). Seperti yang telah dijabarkan sebelunya, Indonesia pernah menjadi tuan rumah KTT X pada 1-6 September 1992.
Secara umum, setiap anggota bertugas untuk menjaga perdamaian dunia dan membahas permasalahan-permasalahan internasional yang berhubungan dengan sosial-ekonomi. Konferensi GNB digelar setiap tiga tahun sekali. Sekarang ada 120 anggota, 17 negara pengamat, dan 10 organisasi internasional yang tergabung dalam GNB. GNB adalah pengelompokan negara-negara terbesar setelah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Dalam KTT GNB mencari perdamaian yang berkelanjutan melalui pemerintah global dan mewujudkan adanya rasa optimisme bahwa GNB dapat memainkan peran yang sangat penting dalam mempromosikan perdamaian dan stabilitas. Pentingnya GNB terletak pada kenyataan bahwa GNB merupakan gerakan Internasional terbesar kedua, setelah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
Ada tiga aspek yang dapat diperhatikan, yaitu kehidupan sosial, ekonomi, dan politik negara. Pada aspek sosial, GNB dapat mewujudkan eratnya hubungan kerjasama antara negara satu dengan negara yang lain. GNB juga berupaya untuk melestarikan lingkungan hidup, yaitu mengurangi pencemaran terhadap air, udara dan tanah dan perusakan hutan. Sehingga meningkatkan kesejahteraan bagi negara berkembang.
Pada aspek ekonomi, Kerjasama antara anggota-anggota GNB dapat memiliki dampak positif pada situasi ekonomi dunia. Dengan menciptakan tata hubungan ekonomi Internasional yang masih seimbang, dan memperluas partisipasi negara-negara berkembang dalam proses pengambilan keputusan mengenai masalah-masalah ekonomi dunia. GNB membuat negara-negara anggota Non-Blok berjalan lancar tanpa hambatan. Jadi GNB ini meningkatkan program kearah tata ekonomi dunia. Terakhir, pada aspek politik, KTT GNB I mencetuskan prinsip politik bersama, yaitu bahwa politik berdasarkan koeksistensi damai, bebas blok, tidak menjadi anggota pasukan militer dan bercita-cita melenyapkan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasi. GNB juga membantu Afrika Selatan dalam menghapus politik Apartheid.
Gerakan Non-Blok (GNB) adalah merupakan suatu organisasi internasional yang terdiri dari lebih dari 100 negara-negara yang tidak menganggap dirinya beraliansi dengan atau terhadap blok kekuatan besar apapun. Tujuan Gerakan Non-Blok semula adalah meredakan ketegangan dunia sebagai akibat pertentangan antara Blok Barat dan Blok Timur. Dalam perkembangannya tidak hanya terbatas pada usaha perdamaian saja, tetapi juga berkaitan dengan hak asasi manusia, ekonomi dan hubungan antarbangsa. negara-negara yang terabung kedalam Gerakan Non-Blok (GNB) bahu membahu menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, apartheid, zionisme, rasisme dan segala bentuk agresi militer, pendudukan, dominasi, interferensi atau hegemoni dan menentang segala bentuk blok politik. Mereka merepresentasikan 55 persen penduduk dunia dan hampir 2/3 keangotaan PBB.
Peran Indonesia di GNB membuktikan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif benar-benar diterapkan. Prinsip bebas-aktif membuat Indonesia dapat bekerja sama dengan banyak negara yang akan memudahkan Indonesia nantinya. Peran Indonesia di GNB juga telah menaikkan pandangan negara lain terhadap Indonesia. Oleh karena itu, partisipasi Indonesia di GNB harus dipertahankan atau ditingkatkan demi mencapai ketentraman dan kesejahteraan internasional.
Penulis: Rio Pratama