Oleh Rafi Akbar Setiawan
Banyak pemuda yang mungkin sudah tidak peduli lagi terhadap eksistensi agama, karena mereka pikir agama adalah produk yang sudah usang dan tak relevan lagi dengan semua yang mereka lakukan sekarang.
“Kalau terus agama dijadikan sebagai alasan untuk berbagai keburukan, mungkin agama bakal “punah” paling tidak 20 tahun dari sekarang, ya karena ga mungkin lagi orang-orang nemuin kedamaian dalam agama. Jika tidak, kemungkinan mereka akan membuat sebuah reformasi dalam agama seperti yang Martin Luther lakukan waktu itu.”
Begitulah kira-kira prediksi dari Sumit Paul-Choudhury ketika ditanyakan tentang eksistensi agama dan kemungkinan gerakan keagamaan baru yang akan muncul di masa depan.
Baca juga : Sedikit cerita culture shock ketika di Aceh
Ketika itu di Instagram, Rafi melihat kekerasan dengan dalih agama yang terjadi Afghanistan. Banyak warga sipil, perempuan, dan anak-anak yang menjadi korban dari gerakan “Reformasi politik” yang dilakukan oleh Taliban. Pada saat itu Rafi langsung terpikirkan banyak pertanyaan tentang keberadaan cinta dalam agama.
“Memangnya cinta dalam agama itu masih ada? Kok orang-orang banyak sih yang ngebunuh tapi alasannya karena memperjuangkan agama. Di agama bukannya dilarang membunuh? Bukannya dalam Islam kalau membunuh satu orang, sama saja dengan membunuh semua orang di muka bumi? Tapi mereka kok bisa ngebunuh orang dengan seenaknya, ya?”
Begitulah pertanyaan yang ada dalam benak Rafi saat itu.
Agama yang Menyenangkan
Ketika awal tahun 2023, Rafi masih mencari jawaban atas pertanyaannya tentang cinta dalam agama. Ia ikut berbagai kajian untuk mencari jawabannya satu persatu. Mulai dari kajian tentang Islam modern, sampai tentang Agama untuk kaum milenial. Dari semua kajian itu, ada banyak jawaban yang bisa menjawab pertanyaan Rafi, tapi jawaban tersebut tidak menjawab secara lengkap. Seperti pertanyaan yang dasar “Memangnya boleh membunuh dalam Islam?” lalu dijawab dengan “Ada dua jawaban, tidak boleh dan boleh . Tidak boleh karena orang tersebut tidak bersalah, dan boleh jika orang tersebut bersalah.” Di situlah jawaban tersebut berakhir, lalu orang yang bersalah memangnya harus dibunuh? Bukankah Islam adalah agama keselamatan? Kenapa orang yang bersalah itu tidak dibimbing agar menuju keselamatan tersebut? Alih-alih mereka justru dibunuh?
Lalu Rafi menemukan sebuah lembaga yang bernama Gerakan Islam Cinta atau dikenal dengan GIC. Langsunglah Rafi menelusurinya, ketika Rafi membaca seketika langsung berkata dengan semangat “Ini yang diperlukan anak muda buat mahamin agama!” Dalam GIC, Rafi menemukan banyak jawaban atas pertanyaannya yang sudah lama mengganjal. Banyak buku-buku tentang kedamaian Islam yang sudah dikeluarkannya, seperti “Gimana sih pandangan Islam tentang kekerasan dalam Islam?” Lalu langsung dijawab dengan kalimat yang simple “Ya kita sebagai umat Islam harus berfikir dengan logika jika ingin melakukan sesuatu, bukan langsung terpaut pada dalil-dalil, jadi untuk kekerasan dengan dalih agama ya sangat dilarang.” GIC mengajak kaum milenial agar beragama dengan damai melalui pendekatan kaum milenial tentunya. GIC “berdakwah” melalui buku-buku yang disajikan dengan gaya milenial, dan siniar yang sangat santai tapi kajiannya berbobot. Jadi GIC berusaha mengembalikan Islam sebagai agama yang indah dan kaya akan cinta.
Penulis : Rafi Akbar Setiawan