Fatmawati, Perempuan yang Menolak Dipoligami

Kabar Tokoh101 Views

Kabar Damai I Minggu, 27 Juni 2021

Jakarta I kabardamai.id I Fatmwati, sosok yang telah berjasa menjahit bendera Merah Putih yang dikibarkan pada Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tak hanya, ia merupakan istri ketiga dari Soekarno.

Dalam buku Catatan Kecil Bersama Soekarno dijelaskan bahwa Fatmawati dilahirkan pada 5 Februari 1923 di Bengkulu dengan bantuan seorang dukun. Ibunya bernama Siti Chadijah dan ayahnya bernama Hasan Din. Kedua orangtuanya sangat aktif dalam perjuangan membela tanah air melalui organisasi keagamaan, yakni Muhammadiyah.

Pada awalnya Hasan Din bekerja di perusahaan Belanda yakni Borsumij, namun diketahui Belanda dan akhirnya diberhentikan. Siti Chadijah selalu mendampingi suaminya, ikut berjuang bersama dalam organisasi Muhammadiyah.

Situasi Indonesia kala itu sedang dalam masa pergerakana nasional, setelah Hasan Din lebih memilih ikut berjuang melalui Muhammadiyah, dia sering dipanggil ke kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan.

Saat memasuki usia enam tahun, Fatmawati mulai belajar di sekolah formal di Angka II selama satu tahun, sekolah ini didirikan oleh Muhammadiyah. Pada tahun 1930 Fatmawati pindah ke Sekolah angka I yang bernama Holandsh Inlandsche School (HIS) di Jalan Peramuan. Hal ini dikarenakan Sekolah angka I lebih bermutu dibandingkan dengan Sekolah angka II.

Baca Juga: Djohan Effendi Peletak Dasar Jembatan Lintasiman Indonesia

Di Kebon Ros sudah ada HIS Muhammadiyah yang sudah cukup maju, selain pelajaran agama, bahasa Belanda , dan pengetahuan umum, olahraga dan rekreasi juga bagian dari program sekolah itu.

Dinukil dari buku Arif Nugroho berjudul Fatmawati Soekarno, kondisi ekonomi orangtua Fatmawati membuat Fatmawati pindah ke Palembang, kala itu Fatmawati duduk di kelas empat.

Fatmawati disekolahkan di HIS Muhammadiyah Bukit Kecil. Di sekolah baru Fatmawati menerima pelajaran tambahan selain pelajaran umum  diantaranya menjahit, mengatur meja makan, dan memasak.

Fatmawati dan orangtuanya tidak lama tinggal di Palembang, ketika duduk di kelas lima, mereka pindah ke Curup. Tempat tinggal Fatmawati kali ini sangat jauh dari kota dan sekolah, selain itu kondisi ekonomi keluarga Fatmawati kurang bagus sehingga sekolah Fatmawati tidak bisa dilanjutkan lagi.

Solichin Salam dalam bukuya yang berjudul Bung Karno Putera Fajar menyebutkan bahwa pada tangal 14 Februari 1938, Soekarno tiba di Bengkulu dalam rangka pengasingan bersama istri dan dua anak angkatnya. Kala itu ayah Fatmawati berkunjung  ke rumah Soekarno untuk bersilahturahmi, mereka saling bertukar cerita tentang perjuangan mereka masing-masing. Soekarno juga menwarkan Hasan Din untuk kembali berkunjung ke rumahnya di kemudian hari.

Pada kunjungannya yang kedua, Hasan Din ingin membicarakan tentang sekolah Fatmawati, salah satu anak angkat Soekarno menyarankan Fatmawati untuk bersekolah bersamanya di RK Vokschool Maria Purrisma. Awalnya Fatmawati masuk kelas mengikuti pelajaran hanya sebagai pendengar tanpa raport, Fatmawati mengikuti kelas percobaan kelas selama beberapa hari.

Di sekolah Fatmawati selalu ada acara pameran  setiap tahun, pada bulan Agustus 1939 acara pameran tersebut diadakan, Fatmawati mendapatkan tugas menjaga pameran jahit dan bordir, pada tahun itu juga dia menamatkan sekolahnya di RK Vakschool Maria Purrisimapada usia 17 tahun.

Tak Mau Dimadu

Dalam buku Memoir yang ditulis Muhammad Hatta dijelaskan bahwa terhitung dari Agustus 1938 Fatmawati tinggal bersama keluarga Soekarno di Bengkulu. Kedekatan Fatmawati dengan keluarga barunya semakin akrab terutama dengan Soekarno, yang dianggap Fatmawati layaknya seorang guru.

Keakraban antara Fatmawati dengan Soekarno membuat Inggit curiga, sikap Soekarno memperkuat kecurigaan Inggit bahwa ada cinta diantara hubungan guru dan murid. Inggit menyampaikan kekhawatirannya pada Soekarno tentang Fatmawati, tetapi Soekarno menjelaskan seperti kutipan bahwa hubungan antara dirinya dan Fatmawati hanya sebatas guru dan murid.

Oleh kekhawatiran itu, akhirnya Fatmawati memilih pindah ke rumah neneknya. Fatmawati masih sering bertemu di rumah nenek Fatmawati, karena Soekarno memberikan pelajaran tambahan bahasa Inggris kepada Fatmawati.

Fatmawati diminta menjadi menantu ketika ia berusia 17 tahun, Fatmawati meminta saran kepada Soekarno atas lamaran yang telah diajukan. Setelah mendengar penjelasan dan pertanyaan Fatmawati, Soekarno terdiam menunduk beberapa menit, perlahan Soekarno mengangkat kepalanya dan menatap Fatmawati, kemudian menyatakan cintanya yang selama ini terpendam.

Fatmawati mengambil keputusan akan menerima pinangan Soekarno dengan syarat, bahwa Soekarno harus menceraikan Inggit secara baik-baik, karena dia tidak dapat menerima poligami dan tidak mau dimadu.

Syarat yang diberikan oleh Fatmawati bukan masalah bagi Soekarno, karena Inggit lebih memilih diceraikan daripada dimadu. Perjalaanan cinta Fatmawati dan Soekarno penuh ketegangan, peniuh dengan romantika pada masa itu.

Pada bulan Juli 1943 Fatmawati menerima telegram, dikirim Soekarno dalam bahasa Jepang. Isinya tentang agar Fatmawati menikah dengan Soekarno diwakilkan oleh opseter Sarjono, setelah itu ia segera berangkat ke Jakarta.

Menginjak usia ke 20 tahun Fatmawati resmi menjadi istri Soekarno, setelah menikah diwakilkan, Fatmawati diantar keluarganya ke Jakarta.

Penulis: Rivani – Muslimah reformis

Sumber: https://muslimahreformis.org/beranda/post_perempuan/fatmawati-perempuan-yang-menolak-dipoligami/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *