dr. Soedarso dan Peranannya Bagi Kalimantan Barat

Kabar Utama322 Views

Oleh : Virgita Fidya Salindri

Dokter Soedarso adalah salah satu tokoh pejuang di Kalimantan Barat pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Lahir di Pacitan, Jawa Timur pada tanggal 29 November 1906, dr. Soedarso merupakan anak dari asisten wedana bernama Atmoseobroto. Beliau adalah anak keenam dari sebelas bersaudara.  Pada masa kecilnya, dr. Soedarso menempuh pendidikan dasar di Europesche Legere School (ELS) di kota Madiun. Kemudian ia mendaftar ke School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) perguruan tinggi yang berada di Jakarta.

Beliau juga aktif mengikuti gerakan pemuda nasional yang disebut Jong Java. Setelah tamat dari STOVIA pada 1931, dr. Soedarso diangkat sebagai dokter pemerintah kolonial di Centrale Burgerlijke Ziekem Inrichtng (CBZ) atau Rumah Sakit Umum Pemerintah di Semarang. Beliau kemuadian berpindah tugas pada tahun 1932, dari Semarang ke Bentang. Setelah 4 tahun bertugas di Bentang, dr. Soedarso ia berpindah tugas lagi ke CBZ Surabaya. Dua tahun kemudian atau tepatnya pada bulan Februari 1938, dokter Soedarso dipindahkan tugasnya dari Surabaya ke Kalimantan Barat.

Tahun 1942, Jepang memasuki kawasan Kalimantan Barat. Saat itu, dr. Soedarso sedang sedang bertugas di Sanggau. Jepang kemudian melakukan penyerbuan terhadap pasukan Belanda. Setelah penyerbuan tersebut, Jepang melakukan penangkapan serta pembunuhan terhadap dokter-dokter yang ada di Kalimantan Barat. Walaupun Jepang melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap para dokter, dr. Soedarso tetap melakukan pengobatan terhadap tentara Belanda yang terluka. Alasan Jepang melakukan pembunuhan dan penangkapan ini adalah karena dokter-dokter tersebut telah menyebarkan wabah penyakit.

Baca Juga: Woment In Tech, Upaya Tingkatkan Inklusifitas Gender Sektor TIK

Pada saat Jepang melakukan penangkapan, dr. Seodarso berhasil lolos karena saat itu ia sedang bertugas di pedalaman. Namun, Jepang berhasil menangkap beberapa dokter lain, diantaranya dr. Sunaryo dan dr. Diponegoro. Mereka kemudian dibunuh oleh tentara Jepang. Setelah kejadian itu, tepatnya 2 tahun kemudian, dr. Soedarso pindah ke Singkawang. dr. Soedarso kemudian pindah lagi ke Pontianak pada 1945 dan kemudian menjabat menjadi Direktur Rumah Sakit Umum Sungai Jawi Pontianak.

Setelah masa penjajahan Jepang berakhir, Indonesia masih harus menghadapi tentara Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Kemudian, orang belanda yang tergabung dalam kelompok NICA (Nederlands Indie Civil Administration). Saat itu, Soedarso bertugas di Rumah Sakit Umum Sungai Jawi Pontianak, sekaligus bekerja sebagai dokter pemerintah di Balai Pengobatan Umum Kampung Bali dan dokter di Rumah Sakit Jiwa Pontianak.

Tanggal 29 September 1945, perwakilan sekutu yakni Australia, mendarat di Pontianak. Kemudian, pada bulan Oktober 1945 Soedarso memimpin rapat umum untuk menyampaikan resolusi kepada Australia. Resolusi tersebut berisi penolakan kedatangan orang-orang Belanda yang tergabung dalam NICA. Soedarso berharap agar Residen Pontianak pada saat itu Asikin Nur tidak menyerahkan kekuasaan pada NICA. Usulan tersebut ditolak oleh Asikin Nur sendiri. Asikin Nur lalu menyerahkan kekuasaannya kepada NICA.

Karena para warga tidak menyukai keputusan ini, mereka melakukan mogok kerja massal. Aksi tersebut menyebabkan tentara Belanda melakukan penangkapan terhadap beberapa tokoh politik, termasuk dr. Soedarso. Namun, dr. Soedarso dan warga lainnya akhirnya dibebaskan tanpa syarat. Kemudian, Belanda mengangkat Sultan Hamid II sebagai Sultan Pontianak.

Sultan Hamid II mengeluarkan kebijakan akan menjadikan Kalimantan Barat sebagai negara. Karena banyak yang menentang hal tersebut, dibentuklah GAPI (Gabungan Persatuan Indonesia) pada 16 Desember 1946, yang diketuai Soedarso. Belanda yang khawatir terhadap pembentukan GAPI menangkap Soedarso dan menahannya di Jakarta. M. A. Rani kemudian diutus oleh GAPI untuk mengurus persoalan Soedarso. Tetapi, pengutusan M. A. Rani tidak membuahkan hasil. Di akhir tahun 1949, dr. Soedarso dibebaskan setelah adanya perjanjian Roem Royen.

Setelah bebas, Soedarso terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) mewakili daerah Kalimantan Barat. Selain sebagai politisi, Soedarso juga aktif dalam kegiatan sosial kemanusiaan. 1955, dr. Soedarso mendirikan Sekolah Pendidikan Bidan di Pontianak. Selain Sekolah Pendidikan Bidan, Soedarso juga perintis sekolah kejuruan di Pontianak, diantaranya SMEA Negeri, Kursus Guru Taman Kanak-kanak dan SKKA Negeri Pontianak. Karena partisipasinya dalam bidang kesehatan, di tahun 1971, Pangdam XII Tanjung Pura Soemadi, memberikan anugerah Tanda Penghargaan ”Satya Lanjtana Dharma Pala” kepada dr. Soedarso.

  1. Soedarso meninggal karena sakit yang dideritanya di usia 69 tahun. Soedarso meninggal pada 8 Maret 1976 di Rumah Sakit Sei Jawi Pontianak. dr. Soedarso dimakamkan di pemakaman Muslim di Kampung Bangka Pontianak. Untuk mengenang jasa-jasa dr. Soedarso maka dibangunlah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Soedarso yang terletak di l. DR. Soedarso No.1, Bangka Belitung Laut, Kec. Pontianak Tenggara, Kota Pontianak.

 

Penulis: Virgita Fidya Salindri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *