Kabar Damai I Senin, 13 Desember 2021
Jakarta I kabardamai.id I Pandemi Covid-19 tidak lantas menghentikan praktik-praktik intoleransi, diskriminasi dan kekerasan atas nama agama. Penentangan dan penyegelan rumah ibadah, pelarangan beribadah, sampai perusakan rumah ibadah terus bergulir. Terkini, masjid Ahmadiyah Sintang, Kalimantan Barat, dihancurkan dan bangunan di belakangnya dibakar. Kemudian juga jenazah nonmuslim dilarang dimakamkan di lingkungan yang mayoritas Islam.
Sayangnya banyak media yang enggan memberikan fakta-fakta peminggiran hak dan penindasan kebebasan kelompok minoritas. Media mengangkatnya jika telah terjadi konflik dan kekerasan.
Celakanya, pemberitaan-pemberitaan media cenderung mengejar clickbait atau rating. Berita dibuat bombastis dan sensasional, tanpa menimbang dampak bagi korban atau kelompok minoritas, bahkan kerap mengeksploitasinya, sehingga situasi mereka menjadi semakin rentan.
“Media masih banyak yang enggan memberitakan fakta-fakta peminggiran hak dan penindasan kebebasan terhadap kelompok minoritas. Media baru mengangkatnya jika telah terjadi konflik dan kekerasan,” demikian kata Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Ahmad ‘Alex’ Junaidi dalam siaran persnya, Minggu (12/12/2021).
Berangkat dari hal tersebut, SEJUK menganugerahkan penghargaan untuk karya-karya jurnalistik terbaik media di Indonesia terkait peliputan isu-isu keberagaman.Penganugerahan yang bertajuk Diversity Award 2021 itu berlangsung pada Minggu (12/12/2021).
Baca Juga: Alternatif Pendidikan Keberagaman Bersama PKBM Cerlang
Penghargaan itu diberikan untuk kategori tulisan (cetak dan online), audio (radio dan podcast), audio visual (televisi dan produk audio visual), foto jurnalistik, dan satu kategori tambahan yang baru media sosial (influencer).
“Di era digital di mana media-media tidak ramah terhadap keberagaman, SEJUK melihat kerja-kerja jurnalistik selalu menghadirkan optimisme dengan bersetia pada peran edukasi dan watchdog yang mengabarkan keberagaman, memihak kelompok yang dipinggirkan,” tegas Alex Junaidi memberikan alasan pentingnya untuk menggelar Diversity Award yang kali ini bertema “Pergulatan Minoritas di tengah Pandemi.”
Daftar penerima penghargaan Diversity Award 2021
SEJUK dengan dukungan Norwegian Embassy for Jakarta kembali memberikan penghargaan terhadap karya-karya jurnalistik terbaik media-media di Indonesia. Dalam ajang dua tahunan ini, dewan juri Diversity Award 2021 memilih karya-karya jurnalistik dan influencer berikut:
1. Tulisan (cetak dan online): Abdullah Fikri Ashri– Wartawan Harian Kompas, “Toleransi Tetap Bersemi Meski Pandemi Mendera Kota Wali”
2. Audio visual (televisi dan produk audio visual): Berkas Kompas (Maryo Anugerah Sarong) – Kompas TV, “Memupuk Toleransi Merawat Keberagaman”
3. Audio (radio dan podcast): Dara Hanafi dan Laila Achmad – Kejar Paket Pintar, “Mama-Mama Tambora”
4. Foto jurnalistik: Irwan Abdul Latif – Freelancer AFP dan Metro TV, “Potret Pilu Penderita Gangguan Jiwa Hidup Dipasung”
5. Media sosial: Kalis Mardiasih – Aktivis perempuan, penulis buku, pengelola Kelas Kalis
Kelompok Marginal Tetap Positif berjuang
Kalis Mardiasih, pemenang influencer media sosial dalam sambutannya turut mengajak kelompok marginal tetap positif untuk terus berjuang, meskipun tantangannya tidak mudah.
Menurut Kalis, jika perjuangan perempuan saja membutuhkan 40 tahun (di Indonesia dimulai dari tahun 1980-an), maka bagaimana dengan kelompok minoritas gender dan seksualitas.
“Jadi jawaban saya atas pertanyaan dan keluhan dari kelompok minoritas gender yang kerap ditujukan kepada saya, ‘Masih banyak yang harus kita lakukan untuk memperjuangkan hak-hak kesetaraan gender dan seksualitas apalagi menyatukan gerakan. Maka produksi pengetahuan yang harus terus dilakukan, termasuk dengan memanfaatkan media sosial,” pungkas Kalis.
Media Entitas Penting Bagi Komunitas LGBTIQ
Dédé Oetomo, Aktivis keberagaman senior dalam orasi kebudayaan yang disampaikannya. Mengungkapkan, media adalah entitas yang sangat penting bagi komunitas LGBTIQ untuk menyuarakan aspirasinya.
“Kemitraan strategis dengan media dan lembaga ilmu pengetahuan yang menghargai dan menjunjung tinggi keberagaman itu sangat penting,” ujar pendiri dan pembina Yayasan GAYa NUSANTARA ini.
Sebagai gay yang beretnis Tionghoa di Indonesia tidak lantas membuat Dédé Oetomo meluapkan kemarahannya dengan hanya mengutuk diskriminasi, bahkan persekusi yang dialami komunitasnya.
Ia tetap mendorong dan mengajak agar lebih banyak pihak yang tidak berhenti pada sikap dan tindak toleran terhadap kalangan yang berbeda dan rentan, tetapi juga sampai pada penerimaan atas manusia, apapun ekspresi dan identitasnya.
Penulis: Ai Siti Rahayu